28 Mei...
Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi,
menghormati,
dan melindungi hak pendidikan setiap warga negaranya. Hak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak tanpa diskriminasi dari pihak manapun. Begitu juga dengan
orang-orang berkebutuhan
khusus (difabel). Dalam sektor pendidikan formal
seharusnya tidak ada lagi sekat sosial yang membedakan mereka dengan masyarakat umum. Dengan begitu, orang tua bisa
mendaftarkan anaknya
yang berkebutuhan khusus
ke sekolah umum.
Hak pendidikan bagi difabel adalah sama dengan hak
pendidikan orang kebanyakan.
Mereka
berhak untuk bersekolah di sekolah unggulan, mengembangkan minat dan bakat yang mereka miliki.
Penyediaan sarana
belajar yang ramah terhadap penyandang difabilitas adalah usaha pertama yang
perlu dioptimalkan realisasinya. Perguruan tinggi perlu lebih awas terhadap
kebutuhan mahasiswa difabel, sehingga mereka bisa mengakses materi-materi
pembelajaran dengan baik.
Aksesibilitas sistem pendidikan dapat dilihat dari
dua aspek yaitu material dan non-material.
Aspek material yaitu aspek yang berbentuk fisik meliputi bangunan-bangunan dan fasilitas lainnya. Sedangkan aspek non-material dapat berupa penumbuhan
lingkungan yang mengerti serta
mendukung aksesibilitas
sistem pendidikan untuk difabel. Hal ini bisa diwujudkan melalui
pengadaan Pusat
Studi
dan Layanan
Difabel
(PSLD). Pusat studi semacam ini telah ada di beberapa kampus, salah satunya di
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Menurut
Handayani, wakil direktur PSLD UIN Sunan Kalijaga, di
antara kampus lain di Indonesia, UIN Sunan Kalijaga termasuk salah satu kampus yang sudah
peduli meskipun sistem
pendidikannya
sendiri masih belum ideal. “Sekarang ini UIN Suka masih mencoba sistem pendidikan
yang aksesibel untuk mereka.
Paling tidak dengan berdirinya PSLD ini ada satu unit di kampus yang mengawal
terlaksananya pendidikan yang aksesibel untuk difabel,” ungkapnya.
Aksesibilitas
Selain fasilitas, masalah lain yang perlu segera ditangani adalah
perlakuan terhadap mahasiswa difabel. Penerimaan terhadap mereka bermacam-macam. ”Ada yang positif, negatif,
menolak, bahkan merendahkan,” kata M. Joni Yulianto, mahasiswa difabel yang
kini sekolah di National University of
Singapore. “Disinilah pentingnya sebuah motivasi yang luar biasa bagi kami (difabel) untuk
bertahan dalam lingkungan yang demikian. Kita harus merubah mindset negatif masyarakat yang beranggapan difabel itu lemah,”
tambahnya.
Sosialisasi terhadap seluruh dosen mengenai difabelitas juga perlu diadakan. Hal ini bisa
dilakukan melalui workshop serta pengadaan buku panduan cara
mengajar untuk
masing-masing dosen. “Perlu adanya motivasi serta perhatian
dari semua dosen, jadi bukan dosen-dosen tertentu saja yang mengerti (difabel),” tutur Ambar, Sarjana Pendidikan
Luar Biasa, Universitas Negeri Yogyakarta.
Setiap dari mereka ingin mendapatkan perlakuan yang adil, tidak membedakan kelasnya. Praktek pemisahan kelas ataupun lingkungan sosial
tidak
diperkenankan dalam sistem
pendidikan. Selain
kebutuhan untuk mendapatkan wawasan yang lebih luas, hal tersebut juga
dapat menghambat mereka untuk berkarya dan mengeksplorasi kemampuannya. “Mereka
harus bisa hidup di masyarakat yang riil yaitu masyarakat yang plural,” tambahnya. Oleh karena itu peran serta masyarakat juga sangat penting bagi perkembangan
skill mahasiswa difabel.
Kemampuan anak-anak difabel sebenarnya sama anak-anak normal lainnya. “Tinggal
bagaimana kita mengupas potensi-potensi yang mereka miliki sehingga mereka bisa
self eksperiment,
mengembangkan serta memaksimalkan potensi-potensi yang mereka miliki,”tutur Handayani. Seyogyanya, sistem pendidikan harus
bisa mengakomodir kebutuhan-kebutuhannya. “Saya berharap
Adanya kebijakan kampus yang lebih merespon kebutuhan mereka serta diterapkannya sistem akademik yang lebih
menghormati difabel,” pungkasnya.
Sistem Pendidikan Inklusif
Pendidikan yang inklusif (terbuka) sudah seharusnya
diterapkan dalam perguruan tinggi, terutama bagi perguruan tinggi yang
didalamnya terdapat mahasiswa difabel atau berkebutuhan khusus. Setiap warga
negara berhak memperoleh pendidikan yang layak dan tanpa diskriminasi. Demikian
diutarakan oleh Muhammad Joni Yulianto mahasiswa tuna netra yang sedang
melanjutkan studi S2-nya di National
University of Singapore.
Idealnya, menurut Joni, semua peserta
didik termasuk difabel memperoleh sistem pendidikan yang adil. Adil disini diartikan sebagai sebuah
sistem yang mampu mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik. “Meskipun
wacana untuk mengakomodasi difabel secara lebih baik melalui sistem pendidikan
tinggi yang lebih ramah telah ada, namun pada prakteknya saya belum melihat ini
sebagai sebuah upaya yang sistemik untuk betul-betul memberikan ruang yang adil
bagi difabel,” ungkap
mahasiswa yang kini aktif dalam Sasana Integrasi
dan Advokasi Difabel (SIGAB).
Menurut Alumni
University of Leeds, UK
ini, belum ada pelayanan yang mendukung dan sistematis dari
lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi terhadap mahasiswa difabel. Hal
ini terlihat dari lemahnya aksesibilitas difabel yang sebagian
orang memaknainya hanya sebatas ketersediaan teknologi seperti komputer bicara untuk tunanetra,
lingkungan fisik yang memudahkan, serta bentuk akomidasi fisik lainnya.
“Seharusnya aksesibilitas lebih dari itu, ia merupakan sebuah adaptasi yang
dihasilkan dari sebuah sistem yang mempertimbangkan keberadaan peserta didik
secara adil dengan keberbedaannya masing-masing, sehingga sistem itu bukan
hanya berpihak atau mengakomodasi kelompok mayoritas saja, melainkan bersifat
universal,” tegas joni.
Joni berharap,
pemerintah serta penyelenggara pendidikan segera membentuk sebuah wadah
pendidikan yang inklusif bagi semua
peserta didik. “Berbekal inisiatif-inisiatif yang sudah mulai dilakukan oleh
beberapa lembaga pendidikan tinggi, saya mengajak agar mulai dipikirkan sebuah
sistem yang inklusif yang benar-benar
berusaha memberikan layanan pendidikan yang adil, bukan hanya bagi difabel
melainkan bagi setiap warga negara yang berhak atas pendidikan,” pungkasnya.