Cerpen: "Dialog di Musim KKN"

“Ara, aku sudah di tempat nih? Kamu yang kaya apa sih?,”
“Aku pakai jilbab hijau dan tas warna hijau dengan motif bunga. Kamu dimana? Pakai baju warna apa?”
“Aku di bawah tangga pintu keluar sebelah timur, aku pakai baju batik warna coklat. Aku bareng temenku cewek pakai kerudung ungu muda.”
“oke deh, aku samperin kesana ya...”
“sipp..”
---

Kira-kira begitulah percakapan yang terjadi selama masa awal KKN. Saling mencari, saling mengenal dan saling mengisi. Itu semua karena sebelumnya memang kita belum saling mengenal satu sama lain. Hanya nama yang terpampang di papan pengumuman yang menjadi awal perkenalan. Penasaran? Tentu, semua pasti merasa penasaran ketika hanya mengenal nama bukan raga yang nyata. Kita pasti bertanya-tanya, “seperti apa orangnya? Apakah orang itu mampu menjadi Tim kita yang solid? Apakah orang itu pandai bergaul? Bagaimanakah sifatnya? Apa aku bisa berteman dengannya?,” Berbagai pertanyaan pasti muncul di benak kita. Kita pasti berharap mendapat teman yang asyik, kocak dan kompak. Tapi inilah kehidupan. Penuh misteri. kita hanya bisa menebak, meminta dan berdoa agar mendapat teman seperti keinginan kita. Tanpa tau kenyataan di depan akan berjalan seperti apa.

Sobat, ini adalah kisah yang aku buat selama aku mengikuti kegiatan KKN di sebuah Universitas Negeri di kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pendidikan. Yogyakarta.
---
Denyit Handphone mengusik kosentrasiku yang sedang asyik menulis. “Ra, ke kampus yuk ambil buku panduan KKN sekalian lihat lokasi penempatan KKN kita..” Ku lirik jam yang menunjukkan pukul 08.45. “Jam berapa wiek? Ayok, mumpung hari ini Ara free..” Balas ku meng-iya-kan. “Jam 10.00 ya, nanti Tiwik jemput deh,” “Siap Wiek, habis ini Ara mandi terus siap-siap ya. Ara masih harus slesein tulisan nih,” “Okke Ra, Tiwik juga mau siap-siap dulu, sampai nanti”. Aku bergegas mandi setelah menyelesaikan artikel yang akan aku kirim ke media. Aku berdandan secukupnya dan mulai menyiapkan berkas KKN yang harus aku bawa. Waktu berjalan cepat, Tiwik sudah menungguku di depan rumah.

“Ra kamu dapat tempat KKN dimana?,” ujar Tiwik setelah mendapatkan namanya tertulis di lokasi KKN kota Sleman. “Belum tau Wiek, Ara sudah cari sampai muter tiga kali tapi nggak ada nama Ara disana, Ara kok jadi khawatir ya Wiek? Masa nama Ara sampai nggak tercatat?!,” keluhku dengan mimik cemberut. Tiwik pun ikut membantu mencarikan namaku di setiap carik kertas yang tertempel di papan pengumuman. “Ternyata di Desa Maju Makmur (bukan nama yang sebenarnya) Wiek!!,” jeritku sambil terlonjak bahagia. “Mana?,”ujar Tiwik merapat kearahku. “Nggak ada nama kamu kok Ra, yang mana?,” tambahnya setelah lama mencari. Aku yang masih sibuk dengan Handphone di tanganku, menoleh kearahnya. “Bukan Ara Wik, tapi dia.” Ujarku tersipu sambil mengarahkan telunjukku kearah nama orang yang dulu lama mengisi ruang hidupku. ‘huffffffff, sorry Wik’ desahku panjang. Tiwik tersenyum dan menepuk bahuku. “Sudahlah Ra, mau sampai kapan kamu begini? Ayo Ra, fokus sama kuliah kamu. Terutama KKN yang sudah di depan mata kita,” ”Tapi Wik.....” “Sssstt. Udah Ra, kamu belum dapat nama kamu lho, ayo kita cari sekali lagi.” Tiwik melanjutkan mencari namaku. Akupun mengikutinya.

“Wikk, disini ada namaku!!!,” Ujarku sambil melambaikan tangan ke arahnya. Tiwik mendekat, ikut memastikan namaku tercatat disana. “ya ampun Ra, ini benar-benar di desa, bahkan bisa dibilang ini di pelosok desa..Hahahahha.” tawa renyah Tiwik memecah keheningan ruang pengumuman itu. Aku pun ikut tertawa dibuatnya. “nggak papa Wik, untuk pengalaman ini. Toh, kemaren aku juga yang minta ditempatin di desa.” Tiwik masih terlihat menahan tawanya. Ruang pengumuman mulai ramai ketika aku dan Tiwik memutuskan untuk pulang.

Di tengah perjalanan, Tiwik berpamitan padaku untuk pulang duluan karena ada janji yang harus dia tepati. Aku meng-iya-kannya dan berjalan seorang diri. Dengan malas aku berjalan menuruni tangga untuk sampai kelantai dasar. Merenung untuk beberapa saat. Ku sandarkan tubuh ini pada sebuah tiang yang berdiri kokoh di sudut atas tangga. ‘Ternyata Tuhan memang tak mengizinkan kita bersama. Apakah memang sebaiknya berjalan seperti ini? Apa memang yang terbaik aku tak lagi berada di sampingmu? Tapi mengapa sampai detik ini aku tak mampu? Aku tak jua bisa menepis bayangmu dari kehidupanku. Tuhan, kuatkan aku, lindungi aku...’ ku ayunkan kaki ini melewati lorong-lorong sempit di kantor yang dulu merupakan gedung utama kampus ini. Berjalan sambil mendengarkan alunan musik lewat Headset yang aku sambungkan lewat Handphone ku.

“Araaaaa!!!kamu KKN dimana nih? Wahh,, thank’s ya udah BBM aku tempat dan kelompokku.” Teriakkan di depan sana membuatku bergegas melepas Headset di telinga. Meli dan dua sahabatnya memelukku. Aku tersenyum membalas pelukannya. Sebelum pulang tadi memang aku sempatkan mengirim pesan BBM kepada semua temanku tentang lokasi dan tempat KKN mereka. Termasuk Dia. Dia yang datang bersama dua temanku yang kebetulan satu kelas dengannya. Namun, dia hanya melihatku tanpa senyuman. Seolah aku adalah orang asing yang belum dia kenali.

Aku mendesah pelan dan berusaha membuka percakapan. “Ara KKN di desa Jaya Dipa (bukan nama sebenarnya), o ya selamat ya kalian dapat tempat yang sama di desa Maju Makmur, yaa walaupun nggak satu tempat tapi setidaknya kalian satu desa.” Ujarku menatap hangat mereka. Dia masih membisu ditengah keramaian yang mulai terasa memadat pagi ini. “kamu lihatnya dimana Ra?,” seru Tya penasaran. Matanya membelalak seolah memintaku untuk segera menjawabnya. “Di lantai atas jeng, kesana saja. Di pastikan lagi nama-nama yang aku kirim benar-benar nama kalian atau bukan,” Ujarku sambil menunjuk kearah atas. Tiba-tiba mataku tertuju pada mimiknya yang seolah ingin mengatakan ‘ayo kita pergi dari sini!!’. Akupun bersiap untuk meninggalkan mereka. Namun, di depan sana ada satu wanita yang memanggil hangat dirinya. “Mas, kamu dapat lokasi KKN dimana?” ujar wanita itu sambil melingkarkan tangan ke bahunya. Aku tak menyangka, dia menoleh ke arahnya, tersenyum dan berkata “Dihatimu beb.”JLEBBBB!!!’ seketika aku benar-benar terlempar oleh kata-kata itu. Aku benar-benar tak percaya kalimat itu yang akan meluncur dari mulutnya. ‘Orang yang sampai saat ini masih meraja di fikiranku, secepat itukah dia melupakan tentang aku?’. Aku berpamitan pulang dan terus mengayunkan kaki ini menjauh darinya.
---
Musim kemarau ini membuat seluruh peserta KKN terutama yang ditempatkan di desa sepertiku merasa cemas. Banyak yang mengeluh takut tak tersedia air bersih disana, sampai hal-hal kecil yang aku fikir sebenarnya mereka bisa mengatasinya. Hanya saja, mereka belum terjun langsung ke daerahnya. Tapi cukup seru!! terlebih disaat pembekalan hari pertama, kita selalu ditakut-takuti oleh pemateri tentang batu karang yang akan menghadang kita selama terjun di lokasi KKN. Mulai dari tak tersedia air bersih, WC pribadi, masyarakat yang rewel hingga kasus percintaan yang turut mewarnai seni dalam KKN. Well, sebuah pemateri yang cukup lucu. Terutama jika ia mulai memplesetkan makna KKN yang sebenarnya menjadi Kisah Kasih Nyata. Kalimat itu membuatku berdecak tak mengerti di buatnya. 

Pembekalan hari pertama aku lalui tanpa semangat. Entahlah, mungkin karena aku terlalu takut dia mendapat kelompok KKN yang bisa memikat hatinya. ‘Heyyy!!!siapa lo...’ jerit hatiku selalu mencoba untuk lepas dari bayangnya. Tapi beginilah perasaan. Dia memiliki kehidupannya sendiri. Bahkan kita tak mampu untuk menghalanginya. Sejauh apapun aku mencoba untuk menyangkal pada diri sendiri, toh kenyataanya aku memang belum bisa melepas bayangnya yang kian membawaku pada sisi yang begitu terjal. Aku bahkan tak tau lagi apakah aku masih bisa mencintai lelaki seperti aku mencintainya!?

Pembekalan hari kedua, aku mulai mencari tau teman-teman KKN yang satu kelompok dengan ku. Setelah berhasil mengumpulkan nomor yang bisa aku hubungi, satu persatu dari mereka aku ajak untuk bertemu di selasar gedung tempat kami mendapat materi KKN.

“Pagi teman-teman, saya Ara, mahasiswa Ilmu Komunikasi yang KKN di desa Jaya Dipa. Nanti setelah pembekalan ini selesai kita kumpul ya di selasar gedung sebelah timur. Konfirmasi ya kalau sudah sampai di tempat. Ara sudah Standbye di sini. Tolong call Ara lagi ya kalau nggak ketemu. Terimakasih,” segera ku kirim pesan itu kebeberapa nomor yang sudah aku simpan di kontak Handphoneku. “Hupppfffhhhh... Akhirnya mereka menjawab.” gumamku lirih sambil membalas satu per satu pesan masuk mereka. 30 menit aku menunggu mereka muncul dihadapanku. Namun NIHIL. Nampaknya mereka terlalu kesusahan untuk menemukan keberadaanku. Maklum saja, karna memang hari ini seluruh mahasiswa di wajibkan mengenakan Jas Almamater. Untuk para mahasiswi, hanya kerudung yang bisa menjadi ciri yang paling menonjol untuk tanda pengenal. sama halnya denganku.

“Ara, aku sudah di tempat nih? Kamu yang kaya apa sih?,”
“Aku pakai jilbab hijau dan tas warna hijau dengan motif bunga. Kamu dimana? Pakai baju warna apa?”
“Aku di bawah tangga pintu keluar sebelah timur, aku pakai baju batik warna coklat. Aku bareng temenku cewek pakai kerudung ungu muda.”
“oke deh, aku samperin kesana ya...”
“sipp..”

Begitulah caraku menemukan 9 anggota kelompokku. Ketika semua berkumpul, aku begitu bersyukur mendapat kelompok se-rame ini. Bahkan saking ramenya, banyak kelompok lain yang melihat kearah kami. Malah ada yang meminta untuk bertukar tempat. Semoga kekompakan ini benar-benar akan berjalan seperti ini. Di pertemuan pertama kami, mula-mula kami menyusun pengurus harian yaitu Ketua, Sekretaris dan Bendahara. Dan betapa kagetnya aku ketika aku terpilih untuk menjadi Ketua dalam kelompok ini. “ini bukan pekerjaan yang mudah! Kenapa nggak yang cowok aja sih yang dipilih! Aduuuh,, mas nya aja deh yang jadi Ketua, masa cewek mimpin cowok!!” berbagai alasan aku lempar ke forum agar aku tidak jadi terpilih sebagai Ketua kelompok. Tapi tetap saja, dengan enteng mereka menjawab. “Cuma satu suara Ra yang nggak milih kamu. Dan itu kamu sendiri. Kan kita semua pilih kamu. Hahahaha,” ujar mereka, tertawa sembari meyakinkanku. “ Kamu pasti bisa Ra, tenang saja pasti kita bantu kok. Kamu nggak sendirian.” Ujar Susi, salah satu teman KKN ku.

O ia, biar lebih akrab aku kenalin temanku satu persatu ya... Yang paling dekat denganku adalah Lilis, gadis asal Pati ini memang sudah aku kenal akrab dari semester I dulu. Itupun karena aku masuk Vocal Group di kampusku. Dia aku tunjuk sebagai seksi konsumsi di kelompokku. Selanjutnya, Susi. Gadis asli Jogja yang baru pertama kali aku kenal ini, cukup energic dan cantik. Dia menjabat sebagai Bendahara. Kemudian ada Yosi sang KorLap, Toing pak sekretarisku, Viki, Ika, Ardi, Norma dan Risma. Aku harap kelompok ini akan terus hangat dibawah naunganku. Aku juga berharap, program kerja yang akan kita laksanakan dilokasi KKN nanti akan berjalan lancar dengan dukungan masyarakat setempat. Amien

To Be Continue....^_^

Goodbye

a Song to My Feeling...:((

I can see the pain living in your eyes
And I know how hard you try
You deserve to have so much more
I can feel your heart and I sympathize
And I'll never criticize all you've ever meant to my life

[Chorus:]
I don't want to let you down
I don't want to lead you on
I don't want to hold you back
From where you might belong

You would never ask me why
My heart is so disguised
I just can't live a lie anymore
I would rather hurt myself
Than to ever make you cry
There's nothing left to say but good-bye
You deserve the chance at the kind of love
I'm not sure I'm worthy of
Losing you is painful to me

[Chorus]

You would never ask me why
My heart is so disguised
I just can't live a lie anymore
I would rather hurt myself
Than to ever make you cry
There's nothing left to try
Though it's gonna hurt us both
There's no other way than to say good-bye

Cerpen: Antara Kau, Cinta dan Egoku..

Aku tersandar pada sebuah kursi rotan yang mulai rapuh termakan waktu. Memandang dari jauh bintang yang terus berkedip tanpa jeda. Cahaya lampu yang sedaritadi menerangiku dengan berani, mulai mengantuk nampaknya. Sinarnya meredup seia dengan perasaanku. Entahlah, malam selalu membuatku ingin tetap terjaga. Jika ku hitung mundur, seharian ini aku habiskan waktuku dengan kesibukan kampus yang begitu padat. Bukan dalam bidang akademis, namun karena terlalu banyak organisasi yang aku ikuti. ‘Seorang aktivis kampus’, begitu yang selalu teman-teman katakan tentang aku. 

“huuffff,” desahku pelan. Ada beban yang teramat berat mengganjal didinding hati ini. Butir yang semula hanya serupa kabut tipis disudut mataku, perlahan mengalir dengan emosi, menjebol hingga keluar dengan paksa. Aku menangis sejadi-jadinya. Entah, aku tak pernah berpikir akan malu dilihat siapa pun. Toh, siapa yang masih terbangun di malam yang hampir menunjukan pukul dua belas. Beban dihati ini sedikit terbayar dengan isakanku. Malam semakin membuatku terbuai dalam kisah klasik masa laluku. 

 “Aku nggak suka kamu terlalu sibuk dengan kegiatanmu dan mulai mengabaikanku ra!,” Bentaknya dengan penuh emosi. 

 “Ah, kamu selalu saja membahas masalah ini. Aku hanya tak ingin waktu yang aku miliki terbuang sia-sia. Apa salah? Aku ingin belajar bersosialisasi dengan lingkungan mulai dari hal kecil. Aku menemukanya disini dy,” jelasku dengan mimik wajah menahan emosi. 

 “Aku tau ra, tapi bukan berarti semua waktu yang kamu punya hanya kamu habiskan untuk kegiatan kampus yang kamu geluti itu. Kamu bahkan nggak ada waktu lagi untuk kita. Please ra, aku ingin kamu kembali menjadi sosok ara yang aku kenal dulu, sosok ara yang selalu ada saat aku butuh, ara yang bisa membuatku semangat hidup seperti dulu. Bukan seperti ini! Kamu jelas-jelas menduakanku dengan kegiatan kampusmu itu. Aku begitu merindukan saat-saat indah kita dulu ra,” emosinya mulai mereda, suaranya melemah saat mengucapkan kalimat terakhir dengan tatapan mata mengarah tapat di depan bola mataku. Jemarinya menggenggam tanganku erat. 

 Lama aku terdiam membalas tatapannya. Mata itu, sorot mata yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan seorang lelaki. Tatapan yang begitu hangat dan mampu membuatku nyaman disampingnya. “ Maaf dy, aku nggak bisa meninggalkan kegiatanku sekarang. Aku sudah terlanjur masuk dan harus mempertahankan komitmenku. Hidupku ada dalam nadi organisasi itu. Aku sangat menyayangimu dan aku yakin kamu tau itu. Aku sama sekali nggak bermaksud menduakanmu dengan semua ini, tapi aku benar-benar tak bisa meninggalkan kegiatanku saat ini dy,” ujarku pada Ardy, seseorang yang hampir dua tahun ini menjadi bagian dari hidupku. 

 “Oke kalau kamu tetap pada keputusanmu! Lebih baik aku yang ngalah sekarang, aku yang akan mundur dan pergi dari kehidupanmu,” tukasnya sambil berlalu pergi. 

Aku terdiam mendengar ucapan yang meluncur dari bibirnya. Mulut ini terkunci untuk sekedar menahannya pergi. Sayup-sayup kudengar langkahnya yang memburu. Hanya berharap dia kembali, namun dia tetap melangkah dan menghilang. 

Aku menghela nafas panjang. Kejadian itu memang sudah sebulan yang lalu. Namun jejaknya masih terekam jelas di alam bawah sadarku. Aku yang tak mampu memilih dua hal yang sama-sama aku butuhkan. “Semua sudah terlambat,” gumamku menerawang jauh pada langit yang mulai berkabut. Lagi-lagi, air mata ini mengalir deras untuk kesekian kalinya. Namun, aku tetap tegar dalam sandaran. Angin tiada berhenti untuk berhembus. Entah, apakah ia ingin mengusik atau menghibur kegalauan ini. Sedangkan bintang di malam ini, tetap saja pada porosnya. Berkadap-kedip mencoba menggodaku dengan manja. 

Tiba-tiba, suara jangrik menghentikan tetesan air mataku. Krik…krik…,. Ah, aku tak tahu apa yang sedang terjadi pada hatiku, sakit sekali rasanya. Pertengkaran itukah? Atau kerinduanku yang mendalam pada lelaki itu? Entahlah,
aku hanya mencoba bertahan dengan serpihan masa lalu yang telah dia torehkan. Mencoba kembali menjalani hari dengan rentetan tugas yang telah terangkum didepan mata. Meski tertatih-tatih, aku akan tetap setegar batu karang. 

Tanpa sadar, butiran air mata yang sempat mengering kembali membasahi tanah pipi. Teringat sebuah kalimat yang selalu diucapkannya ketika aku mulai jenuh atas kehadirannya. “ Jangan pernah melihat keberadaanku, aku hanya lelaki yang ingin terus peduli padamu”. Air mata ini kembali tak terbendung. Dimana kau kini? Mengapa secepat itu kau memilih untuk pergi? Aku rindu padamu. Sangat rindu. Namun sepertinya mustahil kita berdua bisa bertemu dan kembali seperti dahulu. 

Bulan separuh malam mengintip dari balik awan. Disadarkannya aku dari sebuah kisah masa lalu. Ah, Antara kau, cinta dan ego yang kumiliki, mana yang harus ku utamakan? Apa aku salah dengan pilihanku ini? Entahlah, aku begitu mencintaimu, namun aku tak bisa semudah itu meninggalkan tanggung jawabku atas sejumlah kegiatan yang kini aku ikuti. Aku hanya berusaha mempertahankan egoku untuk tetap pada kesibukanku. Dan kau tak pernah mau mengerti. 

Malam semakin menelanku dalam pekatnya. Aku masih setia tersandar diatas kursi rotan yang masih kuat menopangku untuk duduk lebih lama. Angin masih saja mengusik ketenanganku. Langit malam yang semula bertabur bintang berganti dengan awan kelabu yang menggantung dengan senyumnya. Bibirku bergerak perlahan, mengucap salam terakhir yang sudah sejak lama kutahan. “Good bye dy, maafkan aku yang tak mampu menyempurnakan hidupmu dengan cintaku...”. Aku mendesah panjang. Kupejamkan mataku kuat-kuat. Perlahan rintik-rintik air langit mulai jatuh membasahi dedaunan yang memayungiku. Segera kulangkahkan kaki ini menuju buaian mimpi. Kesibukan telah menantiku di esok hari.  

Karya Asli (Drara Novia D.A)

up