Cerpen: Antara Kau, Cinta dan Egoku..

Aku tersandar pada sebuah kursi rotan yang mulai rapuh termakan waktu. Memandang dari jauh bintang yang terus berkedip tanpa jeda. Cahaya lampu yang sedaritadi menerangiku dengan berani, mulai mengantuk nampaknya. Sinarnya meredup seia dengan perasaanku. Entahlah, malam selalu membuatku ingin tetap terjaga. Jika ku hitung mundur, seharian ini aku habiskan waktuku dengan kesibukan kampus yang begitu padat. Bukan dalam bidang akademis, namun karena terlalu banyak organisasi yang aku ikuti. ‘Seorang aktivis kampus’, begitu yang selalu teman-teman katakan tentang aku. 

“huuffff,” desahku pelan. Ada beban yang teramat berat mengganjal didinding hati ini. Butir yang semula hanya serupa kabut tipis disudut mataku, perlahan mengalir dengan emosi, menjebol hingga keluar dengan paksa. Aku menangis sejadi-jadinya. Entah, aku tak pernah berpikir akan malu dilihat siapa pun. Toh, siapa yang masih terbangun di malam yang hampir menunjukan pukul dua belas. Beban dihati ini sedikit terbayar dengan isakanku. Malam semakin membuatku terbuai dalam kisah klasik masa laluku. 

 “Aku nggak suka kamu terlalu sibuk dengan kegiatanmu dan mulai mengabaikanku ra!,” Bentaknya dengan penuh emosi. 

 “Ah, kamu selalu saja membahas masalah ini. Aku hanya tak ingin waktu yang aku miliki terbuang sia-sia. Apa salah? Aku ingin belajar bersosialisasi dengan lingkungan mulai dari hal kecil. Aku menemukanya disini dy,” jelasku dengan mimik wajah menahan emosi. 

 “Aku tau ra, tapi bukan berarti semua waktu yang kamu punya hanya kamu habiskan untuk kegiatan kampus yang kamu geluti itu. Kamu bahkan nggak ada waktu lagi untuk kita. Please ra, aku ingin kamu kembali menjadi sosok ara yang aku kenal dulu, sosok ara yang selalu ada saat aku butuh, ara yang bisa membuatku semangat hidup seperti dulu. Bukan seperti ini! Kamu jelas-jelas menduakanku dengan kegiatan kampusmu itu. Aku begitu merindukan saat-saat indah kita dulu ra,” emosinya mulai mereda, suaranya melemah saat mengucapkan kalimat terakhir dengan tatapan mata mengarah tapat di depan bola mataku. Jemarinya menggenggam tanganku erat. 

 Lama aku terdiam membalas tatapannya. Mata itu, sorot mata yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan seorang lelaki. Tatapan yang begitu hangat dan mampu membuatku nyaman disampingnya. “ Maaf dy, aku nggak bisa meninggalkan kegiatanku sekarang. Aku sudah terlanjur masuk dan harus mempertahankan komitmenku. Hidupku ada dalam nadi organisasi itu. Aku sangat menyayangimu dan aku yakin kamu tau itu. Aku sama sekali nggak bermaksud menduakanmu dengan semua ini, tapi aku benar-benar tak bisa meninggalkan kegiatanku saat ini dy,” ujarku pada Ardy, seseorang yang hampir dua tahun ini menjadi bagian dari hidupku. 

 “Oke kalau kamu tetap pada keputusanmu! Lebih baik aku yang ngalah sekarang, aku yang akan mundur dan pergi dari kehidupanmu,” tukasnya sambil berlalu pergi. 

Aku terdiam mendengar ucapan yang meluncur dari bibirnya. Mulut ini terkunci untuk sekedar menahannya pergi. Sayup-sayup kudengar langkahnya yang memburu. Hanya berharap dia kembali, namun dia tetap melangkah dan menghilang. 

Aku menghela nafas panjang. Kejadian itu memang sudah sebulan yang lalu. Namun jejaknya masih terekam jelas di alam bawah sadarku. Aku yang tak mampu memilih dua hal yang sama-sama aku butuhkan. “Semua sudah terlambat,” gumamku menerawang jauh pada langit yang mulai berkabut. Lagi-lagi, air mata ini mengalir deras untuk kesekian kalinya. Namun, aku tetap tegar dalam sandaran. Angin tiada berhenti untuk berhembus. Entah, apakah ia ingin mengusik atau menghibur kegalauan ini. Sedangkan bintang di malam ini, tetap saja pada porosnya. Berkadap-kedip mencoba menggodaku dengan manja. 

Tiba-tiba, suara jangrik menghentikan tetesan air mataku. Krik…krik…,. Ah, aku tak tahu apa yang sedang terjadi pada hatiku, sakit sekali rasanya. Pertengkaran itukah? Atau kerinduanku yang mendalam pada lelaki itu? Entahlah,
aku hanya mencoba bertahan dengan serpihan masa lalu yang telah dia torehkan. Mencoba kembali menjalani hari dengan rentetan tugas yang telah terangkum didepan mata. Meski tertatih-tatih, aku akan tetap setegar batu karang. 

Tanpa sadar, butiran air mata yang sempat mengering kembali membasahi tanah pipi. Teringat sebuah kalimat yang selalu diucapkannya ketika aku mulai jenuh atas kehadirannya. “ Jangan pernah melihat keberadaanku, aku hanya lelaki yang ingin terus peduli padamu”. Air mata ini kembali tak terbendung. Dimana kau kini? Mengapa secepat itu kau memilih untuk pergi? Aku rindu padamu. Sangat rindu. Namun sepertinya mustahil kita berdua bisa bertemu dan kembali seperti dahulu. 

Bulan separuh malam mengintip dari balik awan. Disadarkannya aku dari sebuah kisah masa lalu. Ah, Antara kau, cinta dan ego yang kumiliki, mana yang harus ku utamakan? Apa aku salah dengan pilihanku ini? Entahlah, aku begitu mencintaimu, namun aku tak bisa semudah itu meninggalkan tanggung jawabku atas sejumlah kegiatan yang kini aku ikuti. Aku hanya berusaha mempertahankan egoku untuk tetap pada kesibukanku. Dan kau tak pernah mau mengerti. 

Malam semakin menelanku dalam pekatnya. Aku masih setia tersandar diatas kursi rotan yang masih kuat menopangku untuk duduk lebih lama. Angin masih saja mengusik ketenanganku. Langit malam yang semula bertabur bintang berganti dengan awan kelabu yang menggantung dengan senyumnya. Bibirku bergerak perlahan, mengucap salam terakhir yang sudah sejak lama kutahan. “Good bye dy, maafkan aku yang tak mampu menyempurnakan hidupmu dengan cintaku...”. Aku mendesah panjang. Kupejamkan mataku kuat-kuat. Perlahan rintik-rintik air langit mulai jatuh membasahi dedaunan yang memayungiku. Segera kulangkahkan kaki ini menuju buaian mimpi. Kesibukan telah menantiku di esok hari.  

Karya Asli (Drara Novia D.A)

0 komentar:

Posting Komentar


up