Cerpen (part 7): Diary Prisma

Ada kamu. Itu yang aku rasakan saat ini. Meskipun jarak menjadi batas, aku benar-benar menikmati rasa ini. Dimana aku bisa merindukanmu, mengingatmu, dan kita saling memikirkan satu sama lain. Tidakkah kau disana merasakan? Masihkah kau meragukan? Ara, aku menyayangimu.

Aku terbiasa diam, sedang kau terlalu gaduh. Aku terbiasa acuh, sedang kau terlalu bersahabat. Tapi kau begitu pelupa, gengsi dan yah, itu yang membuatku selalu mengingatmu. Tidakkah kau sadar, aku bahkan mencintai kekuranganmu?
Aku sangat paham dengan perbedaan kita. Bukan hanya fisik namun juga kebiasaan. Tapi itu yang membuat aku begitu nyaman di dekatmu. Mungkinkah kau memang tulang rusukku yang menghilang? Aku harap begitu. Perbedaan ini menjadi warna dalam hubungan kita. Apakah kau juga meng-iyakannya?

Kau berbeda. Aku tak mengenal sosok sepertimu sebelumnya. Bukan berarti aku membandingkan mu dengan orang lain atau wanita sebelumnya, tapi aku tau kamu istimewa. Seringkali aku iri terhadap mu. Terlalu banyak yang menyayangimu. Bahkan rekan kerjaku dan teman-teman di sekelilingmu menunjukkan perhatiannya kepadamu persis di depan aku. Aku pikir memang aku terlalu beruntung. Bagaimana dengan kamu? Tapi bukan itu yang aku cari. Aku mencari pendamping hidup. Dan itu aku temukan dalam diri kamu. Jangan pergi Ra.

Saat aku diam, bukan berarti aku marah. Aku hanya sedang berpikir tentang kita kedepannya. Aku laki-laki, aku yang harus menopang masa depanmu nanti. Jadi aku persiapkan matang-matang keluarga kecil kita. Aku siap menjadi pendamping hidup kamu sekali seumur hidup kamu. Bersediakah kau menikah denganku?

Saat aku acuh dan cuek bukan berarti aku melupakanmu. Aku hanya ingin tak ingin waktuku luang sedang ketika saat itu terjadi kau selalu ada di pikiranku. Kenyataannya kamu nggak bisa aku temui setiap waktu. Aku hanya memilih Ra. Memilih untuk setia dengan cara ku sendiri. Merindukanmu dalam diam dan doaku. Aku mencintaimu dan aku yakin kamu bisa mengerti itu.

Orang bilang kamu wanita multi talenta. Kamu pandai memendam masalah dan kamu wanita yang tegar dalam menghadapi masalah. Tapi sejauh aku mengenalmu, kamu tetap wanita lemah, kamu butuh orang untuk menguatkan dan aku siap menjadi bahu untuk kamu bersandar. Aku siap menjadi penopang hidupmu, menguatkanmu dan menjadi teman berbagi suka dukamu.



Percayalah, aku serius Ra. Aku ingin kamu menjadi yang halal untukku. Menjadi teman kini dan nanti. Ara, would you merry me?

Job Seeker #Part XI

Aku mulai bekerja. Merasakan kenikmatan mencari sesuap nasi dan hidup di atas telapak kaki sendiri. Yap. Aku telah bekerja.

Sudah hampir satu bulan aku menekuni kegiatanku sehari-hari. Belajar banyak tentang apa yang harus aku lakukan untuk pekerjaanku dan mendapat banyak dukungan dari rekan-rekan kerjaku. Namun, tetap saja masih mencoba beradaptasi dengan pekerjaanku saat ini.

Jika dilansir kebelakang, pekerjaan ini sudah cukup membuatku nyaman. Lingkungan kerja yang kondusif, tempat kerja yang cukup lengang untuk berfikir, rekan kerja yang selalu care, dan tentu aku merasa semakin dekat dengan calon pendamping hidupku. Lantas apalagi? Entahlah. Di dalam sini masih ada beban yang tak bisa aku lukiskan lewat kata.

Sangat berharap ini pencarian terakhirku. Meski hati kecil ini mengatakan “ini hanya persinggahan!”.

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.


*Tobe Continue

_Mrs. Dy

Cerpen (part 6): Arti sebuah Papan

“Ara, soal permintaan aku kemaren, lupakan saja”. Ara mengernyitkan dahinya. Short message yang ia terima dari Prisma mengusik tanyanya. 

“Soal apa mas? Apa yang mesti Ara lupakan?,” Ara mulai mencecar. 

“Soal pernikahan kemaren,” jawab prisma. Ara mengangguk-anggukkan kepalanya. 

“Syukurlah, apa yang membuat kamu berubah pikiran mas?,” tanyanya lagi. 

“Karena aku sadar aku nggak bisa maksain kehendakku. Terlebih ini masalah pernikahan. Tentunya bukan hal yang mudah mengingat usiamu masih terlalu muda dan kamu masih punya banyak mimpi,” Prisma sedikit menjelaskan. Ara terus membaca pesan singkat di hp nya. “Aku nggak mau kamu terbebani dengan keputusanku yang tergesa itu. Aku pikir itu satu-satunya cara untuk aku memperkenalkan kamu ke ayah dan ibu. Tapi mungkin salah. Aku minta maaf Ra,” Prisma masih melanjutkan. “Kedepannya, lupakan masalah pernikahan ini. Lupakan soal 40 hari yang aku minta. Kita nikmati masa kebersamaan kita yang seperti ini. Mungkin memang jarak memisahkan kita, namun ketika kita bisa saling menjaga hati aku yakin perlahan kita akan sampai ke sana. Aku sayang kamu Ra,”. 

Ara menutup layar hp nya. Menatap sekitar.  Suasana kampus cukup lengang. Hanya ada beberapa mahasiswa yang masih sibuk beraktifitas. Ara menuntun langkahnya menuju ruang yang tengah kosong. Dia terduduk diantara kursi-kursi yang masih berantakan usai perkuliahan. Pandangannya tertuju pada papan putih di hadapannya. Sebuah papan yang masih terlihat baru dan nyaris tak bernoda. ‘sepertinya baru,’ gumam Ara pelan. Ara meraih kembali hp di dalam sakunya. Dia kembali membaca pesan Prisma yang baru di terimanya. ‘Apa karena perjodohan itu mas? Apa kamu mencoba menghindar?,’ pikirnya. ‘aku bahkan belum bisa melupakan pembicaraan kita waktu itu. Tentang keseriusanmu, kata-katamu dan pengakuanmu. Semuanya sangat jelas terekam di sini. Dan seolah terus bermain dan berputar-putar di kepalaku’. Ara melirik ke arah jendela ruang yang tertutup peluh debu. ‘Aku akan turuti kehendakmu Mas. Terima kasih atas keputusan ini. Kenyataannya memang ini yang aku harapkan’. Ara tersenyum simpul. 

“Terima kasih untuk pengertiannya Mas. Aku juga sayang kamu,” Ara menyandarkan tubuhnya lega setelah membalas pesan Prisma. Matanya kembali tertuju pada papan putih di hadapannya. ‘Belajar dari papan itu, perasaan yang terlahir di hati kita masing-masing adalah fitrah Tuhan yang suci. Rasa yang indah bernama cinta. Mulai hari ini mari kita ukir perasaan ini dengan tinta kebahagiaan dan doa. Biar tangan Tuhan menuntun kita untuk menyelesaikan gambaran tujuan kita. Kita ukir dengan langkah yang pasti hingga indah pada waktunya. Mas, di sini Ara sangat menyesalkan ketika perasaan ini nantinya berakhir sebelum kita selesaikan gambar yang kita ukir. Jadi, ulurkan tanganmu. Mari kita sama-sama membuat pola dan menyelesaikan gambarannya. Kita selesaikan perjuangan ini hingga akhir. Terkecuali tangan Tuhan memilih untuk berhenti. Kita harus berhenti.” Ara menuliskan rentetan kata yang tak lagi bisa ia ucapkan. Ia melipat kertas di tangannya dan menyimpannya diantara lembaran buku agenda di dalam tasnya. Hari mulai sore, Ara menatap tegak pada papan yang kini berada tepat satu jengkal dihadapannya. Tangannya mengenggam erat spidol merah yang ia bawa dari rumah. Ara mulai menggambar sketsa. Seorang pria dengan pakaian rapi dan seorang wanita di sebelahnya. Mereka seolah berikrar dan berjanji untuk sehidup semati. Ara tersenyum geli menyadari kekacauan pikirannya. Ia menghapus kembali gambarannya sebelum kembali menyusuri lorong kampus dan beranjak pulang. 

up