Cerpen (part 6): Arti sebuah Papan

“Ara, soal permintaan aku kemaren, lupakan saja”. Ara mengernyitkan dahinya. Short message yang ia terima dari Prisma mengusik tanyanya. 

“Soal apa mas? Apa yang mesti Ara lupakan?,” Ara mulai mencecar. 

“Soal pernikahan kemaren,” jawab prisma. Ara mengangguk-anggukkan kepalanya. 

“Syukurlah, apa yang membuat kamu berubah pikiran mas?,” tanyanya lagi. 

“Karena aku sadar aku nggak bisa maksain kehendakku. Terlebih ini masalah pernikahan. Tentunya bukan hal yang mudah mengingat usiamu masih terlalu muda dan kamu masih punya banyak mimpi,” Prisma sedikit menjelaskan. Ara terus membaca pesan singkat di hp nya. “Aku nggak mau kamu terbebani dengan keputusanku yang tergesa itu. Aku pikir itu satu-satunya cara untuk aku memperkenalkan kamu ke ayah dan ibu. Tapi mungkin salah. Aku minta maaf Ra,” Prisma masih melanjutkan. “Kedepannya, lupakan masalah pernikahan ini. Lupakan soal 40 hari yang aku minta. Kita nikmati masa kebersamaan kita yang seperti ini. Mungkin memang jarak memisahkan kita, namun ketika kita bisa saling menjaga hati aku yakin perlahan kita akan sampai ke sana. Aku sayang kamu Ra,”. 

Ara menutup layar hp nya. Menatap sekitar.  Suasana kampus cukup lengang. Hanya ada beberapa mahasiswa yang masih sibuk beraktifitas. Ara menuntun langkahnya menuju ruang yang tengah kosong. Dia terduduk diantara kursi-kursi yang masih berantakan usai perkuliahan. Pandangannya tertuju pada papan putih di hadapannya. Sebuah papan yang masih terlihat baru dan nyaris tak bernoda. ‘sepertinya baru,’ gumam Ara pelan. Ara meraih kembali hp di dalam sakunya. Dia kembali membaca pesan Prisma yang baru di terimanya. ‘Apa karena perjodohan itu mas? Apa kamu mencoba menghindar?,’ pikirnya. ‘aku bahkan belum bisa melupakan pembicaraan kita waktu itu. Tentang keseriusanmu, kata-katamu dan pengakuanmu. Semuanya sangat jelas terekam di sini. Dan seolah terus bermain dan berputar-putar di kepalaku’. Ara melirik ke arah jendela ruang yang tertutup peluh debu. ‘Aku akan turuti kehendakmu Mas. Terima kasih atas keputusan ini. Kenyataannya memang ini yang aku harapkan’. Ara tersenyum simpul. 

“Terima kasih untuk pengertiannya Mas. Aku juga sayang kamu,” Ara menyandarkan tubuhnya lega setelah membalas pesan Prisma. Matanya kembali tertuju pada papan putih di hadapannya. ‘Belajar dari papan itu, perasaan yang terlahir di hati kita masing-masing adalah fitrah Tuhan yang suci. Rasa yang indah bernama cinta. Mulai hari ini mari kita ukir perasaan ini dengan tinta kebahagiaan dan doa. Biar tangan Tuhan menuntun kita untuk menyelesaikan gambaran tujuan kita. Kita ukir dengan langkah yang pasti hingga indah pada waktunya. Mas, di sini Ara sangat menyesalkan ketika perasaan ini nantinya berakhir sebelum kita selesaikan gambar yang kita ukir. Jadi, ulurkan tanganmu. Mari kita sama-sama membuat pola dan menyelesaikan gambarannya. Kita selesaikan perjuangan ini hingga akhir. Terkecuali tangan Tuhan memilih untuk berhenti. Kita harus berhenti.” Ara menuliskan rentetan kata yang tak lagi bisa ia ucapkan. Ia melipat kertas di tangannya dan menyimpannya diantara lembaran buku agenda di dalam tasnya. Hari mulai sore, Ara menatap tegak pada papan yang kini berada tepat satu jengkal dihadapannya. Tangannya mengenggam erat spidol merah yang ia bawa dari rumah. Ara mulai menggambar sketsa. Seorang pria dengan pakaian rapi dan seorang wanita di sebelahnya. Mereka seolah berikrar dan berjanji untuk sehidup semati. Ara tersenyum geli menyadari kekacauan pikirannya. Ia menghapus kembali gambarannya sebelum kembali menyusuri lorong kampus dan beranjak pulang. 

0 komentar:

Posting Komentar


up