“Ara, soal permintaan
aku kemaren, lupakan saja”. Ara mengernyitkan dahinya. Short message yang ia terima dari Prisma mengusik tanyanya.
“Soal
apa mas? Apa yang mesti Ara lupakan?,” Ara mulai mencecar.
“Soal pernikahan
kemaren,” jawab prisma. Ara mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Syukurlah, apa
yang membuat kamu berubah pikiran mas?,” tanyanya lagi.
“Karena aku sadar aku
nggak bisa maksain kehendakku. Terlebih ini masalah pernikahan. Tentunya bukan
hal yang mudah mengingat usiamu masih terlalu muda dan kamu masih punya banyak
mimpi,” Prisma sedikit menjelaskan. Ara terus membaca pesan singkat di hp nya.
“Aku nggak mau kamu terbebani dengan keputusanku yang tergesa itu. Aku pikir itu
satu-satunya cara untuk aku memperkenalkan kamu ke ayah dan ibu. Tapi mungkin
salah. Aku minta maaf Ra,” Prisma masih melanjutkan. “Kedepannya, lupakan
masalah pernikahan ini. Lupakan soal 40 hari yang aku minta. Kita nikmati masa
kebersamaan kita yang seperti ini. Mungkin memang jarak memisahkan kita, namun
ketika kita bisa saling menjaga hati aku yakin perlahan kita akan sampai ke
sana. Aku sayang kamu Ra,”.
Ara menutup layar hp nya. Menatap sekitar. Suasana kampus cukup lengang. Hanya ada
beberapa mahasiswa yang masih sibuk beraktifitas. Ara menuntun langkahnya
menuju ruang yang tengah kosong. Dia terduduk diantara kursi-kursi yang masih
berantakan usai perkuliahan. Pandangannya tertuju pada papan putih di
hadapannya. Sebuah papan yang masih terlihat baru dan nyaris tak bernoda.
‘sepertinya baru,’ gumam Ara pelan. Ara meraih kembali hp di dalam sakunya. Dia
kembali membaca pesan Prisma yang baru di terimanya. ‘Apa karena perjodohan itu
mas? Apa kamu mencoba menghindar?,’ pikirnya. ‘aku bahkan belum bisa melupakan
pembicaraan kita waktu itu. Tentang keseriusanmu, kata-katamu dan pengakuanmu.
Semuanya sangat jelas terekam di sini. Dan seolah terus bermain dan berputar-putar
di kepalaku’. Ara melirik ke arah jendela ruang yang tertutup peluh debu. ‘Aku akan
turuti kehendakmu Mas. Terima kasih atas keputusan ini. Kenyataannya memang ini
yang aku harapkan’. Ara tersenyum simpul.
“Terima kasih untuk pengertiannya
Mas. Aku juga sayang kamu,” Ara menyandarkan tubuhnya lega setelah membalas
pesan Prisma. Matanya kembali tertuju pada papan putih di hadapannya. ‘Belajar
dari papan itu, perasaan yang terlahir di hati kita masing-masing adalah fitrah
Tuhan yang suci. Rasa yang indah bernama cinta. Mulai hari ini mari kita ukir
perasaan ini dengan tinta kebahagiaan dan doa. Biar tangan Tuhan menuntun kita
untuk menyelesaikan gambaran tujuan kita. Kita ukir dengan langkah yang pasti
hingga indah pada waktunya. Mas, di sini Ara sangat menyesalkan ketika perasaan
ini nantinya berakhir sebelum kita selesaikan gambar yang kita ukir. Jadi,
ulurkan tanganmu. Mari kita sama-sama membuat pola dan menyelesaikan
gambarannya. Kita selesaikan perjuangan ini hingga akhir. Terkecuali tangan
Tuhan memilih untuk berhenti. Kita harus berhenti.” Ara menuliskan rentetan
kata yang tak lagi bisa ia ucapkan. Ia melipat kertas di tangannya dan
menyimpannya diantara lembaran buku agenda di dalam tasnya. Hari mulai sore,
Ara menatap tegak pada papan yang kini berada tepat satu jengkal dihadapannya.
Tangannya mengenggam erat spidol merah yang ia bawa dari rumah. Ara mulai
menggambar sketsa. Seorang pria dengan pakaian rapi dan seorang wanita di
sebelahnya. Mereka seolah berikrar dan berjanji untuk sehidup semati. Ara
tersenyum geli menyadari kekacauan pikirannya. Ia menghapus kembali gambarannya
sebelum kembali menyusuri lorong kampus dan beranjak pulang.
0 komentar:
Posting Komentar