Sebuah harap di penghujung Tahun



Aku mencarimu diujung waktuku,,
Saat terjaga, terbuai dalam mimpi dan termenung dalam doa,,
Aku masih menunggumu dalam kebisuan hati,,
Siapa? Dimana? Bagaimana? Apakah ada?
Hanya bertanya dan terus bertanya akan adamu,,

Dulu, saat aku mengira orang itu adalah kamu, hanya bisa tersenyum, karna itu hanya hayalku,,
Saat aku mengucap janji bersamanya menari bersama masa depan dalam bayang,, dia juga bukan kamu,,
Saat aku merangkai mimpi bersamanya, meyakini dalam hati bahkan berharap terlalu tinggi, orang itu juga bukan kamu,,
Siapa kamu? Dimana kau berada? Bagaimana aku bisa mengenalmu? Dengan cara apa?

Jodohku...
Aku masih disini menunggu adamu,,
Kau yang ditakdirkan sebagai kidung cintaku,, menjadi imam yang akan membawaku pada masa depan yang nyata, bukan angan belaka!!
Seperti apa sosokmu?

Jodohku,,
aku lelah menantimu disini,,
Aku tak ingin lebih banyak menyakiti hati hati yang mencoba mendekat,,
Mencoba meyakini bahwa aku separuh dari jiwanya,,
Datanglah,, bawa aku pergi untuk ku jaga kesucian hati dan cinta ini,,
Tanpa kusakiti lagi hati hati yang berhati,,
Tanpa kusentuh cinta semu yang hanya mengantarkanku pada mimpi belaka,,
Datanglah,, yakinkan aku bahwa kau akan mengubah mimpi tak hanya menjadi mimpi,,
Karena aku,, aku separuh jiwa yang akan menjadi sejarah dalam hidupmu,,
Hanya dalam satu waktu!!

Pendidikan yang Aksesibel Bagi Difabel


28 Mei...
Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak pendidikan setiap warga negaranya. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak tanpa diskriminasi dari pihak manapun. Begitu juga dengan orang-orang berkebutuhan khusus (difabel). Dalam sektor pendidikan formal seharusnya tidak ada lagi sekat sosial yang membedakan mereka dengan masyarakat umum. Dengan begitu, orang tua bisa mendaftarkan anaknya yang berkebutuhan khusus ke sekolah umum.

Hak pendidikan bagi difabel adalah sama dengan hak pendidikan orang kebanyakan. Mereka berhak untuk bersekolah di sekolah unggulan, mengembangkan minat dan bakat yang mereka miliki. Penyediaan sarana belajar yang ramah terhadap penyandang difabilitas adalah usaha pertama yang perlu dioptimalkan realisasinya. Perguruan tinggi perlu lebih awas terhadap kebutuhan mahasiswa difabel, sehingga mereka bisa mengakses materi-materi pembelajaran dengan baik.

Aksesibilitas sistem pendidikan dapat dilihat dari dua aspek yaitu material dan non-material. Aspek material yaitu aspek yang berbentuk fisik meliputi bangunan-bangunan dan fasilitas lainnya. Sedangkan aspek non-material dapat berupa penumbuhan lingkungan yang mengerti serta mendukung aksesibilitas sistem pendidikan untuk difabel. Hal ini bisa diwujudkan melalui pengadaan Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD). Pusat studi semacam ini telah ada di beberapa kampus, salah satunya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Menurut Handayani, wakil direktur PSLD UIN Sunan Kalijaga, di antara kampus lain di Indonesia, UIN Sunan Kalijaga termasuk salah satu kampus yang sudah peduli meskipun sistem pendidikannya sendiri masih belum ideal. “Sekarang ini UIN Suka masih mencoba sistem pendidikan yang aksesibel untuk mereka. Paling tidak dengan berdirinya PSLD ini ada satu unit di kampus yang mengawal terlaksananya pendidikan yang aksesibel untuk difabel,” ungkapnya.

Aksesibilitas                                                                                

Selain fasilitas, masalah lain yang perlu segera ditangani adalah perlakuan terhadap mahasiswa difabel. Penerimaan terhadap mereka bermacam-macam. ”Ada yang positif, negatif, menolak, bahkan merendahkan,” kata M. Joni Yulianto, mahasiswa difabel yang kini sekolah di National University of Singapore. “Disinilah pentingnya sebuah motivasi yang luar biasa bagi kami (difabel) untuk bertahan dalam lingkungan yang demikian. Kita harus merubah mindset negatif masyarakat yang beranggapan difabel itu lemah,” tambahnya.

Sosialisasi terhadap seluruh dosen mengenai difabelitas juga perlu diadakan. Hal ini bisa dilakukan melalui workshop serta pengadaan buku panduan cara mengajar untuk masing-masing dosen. “Perlu adanya motivasi serta perhatian dari semua dosen, jadi bukan dosen-dosen tertentu saja yang mengerti (difabel),” tutur Ambar, Sarjana Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Yogyakarta.

Setiap dari mereka ingin mendapatkan perlakuan yang adil, tidak membedakan kelasnya. Praktek pemisahan kelas ataupun lingkungan sosial tidak diperkenankan dalam sistem pendidikan.  Selain kebutuhan untuk mendapatkan wawasan yang lebih luas, hal tersebut juga dapat menghambat mereka untuk berkarya dan mengeksplorasi kemampuannya. “Mereka harus bisa hidup di masyarakat yang riil yaitu masyarakat yang plural,” tambahnya. Oleh karena itu peran serta masyarakat juga sangat penting bagi perkembangan skill mahasiswa difabel.

Kemampuan anak-anak difabel sebenarnya sama anak-anak normal lainnya. “Tinggal bagaimana kita mengupas potensi-potensi yang mereka miliki sehingga mereka bisa self eksperiment, mengembangkan serta memaksimalkan potensi-potensi yang mereka miliki,”tutur Handayani. Seyogyanya, sistem pendidikan harus bisa mengakomodir kebutuhan-kebutuhannya. “Saya berharap Adanya kebijakan kampus yang lebih merespon kebutuhan mereka serta diterapkannya sistem akademik yang lebih menghormati difabel,” pungkasnya.

Sistem Pendidikan Inklusif

Pendidikan yang inklusif (terbuka) sudah seharusnya diterapkan dalam perguruan tinggi, terutama bagi perguruan tinggi yang didalamnya terdapat mahasiswa difabel atau berkebutuhan khusus. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak dan tanpa diskriminasi. Demikian diutarakan oleh Muhammad Joni Yulianto mahasiswa tuna netra yang sedang melanjutkan studi S2-nya di National University of Singapore.

Idealnya, menurut Joni, semua peserta didik termasuk difabel memperoleh sistem pendidikan yang adil. Adil disini diartikan sebagai sebuah sistem yang mampu mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik. “Meskipun wacana untuk mengakomodasi difabel secara lebih baik melalui sistem pendidikan tinggi yang lebih ramah telah ada, namun pada prakteknya saya belum melihat ini sebagai sebuah upaya yang sistemik untuk betul-betul memberikan ruang yang adil bagi difabel,” ungkap mahasiswa yang kini aktif dalam Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB).

Menurut Alumni University of Leeds, UK ini, belum ada pelayanan yang mendukung dan sistematis dari lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi terhadap mahasiswa difabel. Hal ini terlihat dari lemahnya aksesibilitas difabel yang sebagian orang memaknainya hanya sebatas ketersediaan teknologi seperti komputer bicara untuk tunanetra, lingkungan fisik yang memudahkan, serta bentuk akomidasi fisik lainnya. “Seharusnya aksesibilitas lebih dari itu, ia merupakan sebuah adaptasi yang dihasilkan dari sebuah sistem yang mempertimbangkan keberadaan peserta didik secara adil dengan keberbedaannya masing-masing, sehingga sistem itu bukan hanya berpihak atau mengakomodasi kelompok mayoritas saja, melainkan bersifat universal,” tegas joni.

Joni berharap, pemerintah serta penyelenggara pendidikan segera membentuk sebuah wadah pendidikan yang inklusif bagi semua peserta didik. “Berbekal inisiatif-inisiatif yang sudah mulai dilakukan oleh beberapa lembaga pendidikan tinggi, saya mengajak agar mulai dipikirkan sebuah sistem yang inklusif yang benar-benar berusaha memberikan layanan pendidikan yang adil, bukan hanya bagi difabel melainkan bagi setiap warga negara yang berhak atas pendidikan,” pungkasnya.

Cerita Inspiratif : "Nenekku Pahlawan Devisa Negara"


Pahlawan, seseorang yang patut mendapat penghargaan karena pengorbanan, perjuangan dan sumbangsihnya terhadap bangsa dan Negara. Seseorang yang memiliki keberanian utuh untuk memperbaiki hidup agar lebih baik dan berkualitas. Membantu dan mendorong suksesnya orang-orang yang ada di lingkungannya. Mereka yang kita kenal sebagai adik, kakak, paman, tante, kakek, nenek, sahabat dan satu nafas kekeluargaan. Tak terkecuali Pahlawan Devisa Negara.

Siapa dia? Dialah seseorang yang rela mencari penghidupan di Negeri tetangga. Mengadu nasib dan keberuntungan demi kelangsungan hidup keluarga dan lingkungannya. Seseorang yang patut kita hargai dengan tanda Jasa yang sudah semestinya melekat dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang menyandangnya. Lantas, mengapa mereka disebut “Pahlawan Devisa Negara?”. Apakah gelar yang di beri oleh Pemerintah itu benar-benar telah mendapat penghargaan, perlindungan dan perlakuan khusus layaknya pahlawan Negara (yang sebenarnya) ?. Atau gelar ‘pahlawan’ hanyalah sebuah alat bagi pemerintah untuk menutupi Aibnya karena telah gagal menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya? Mensejahterakan kehidupan dan penghidupan bangsanya?.

Entahlah!! Itu hanya sebuah persepsi. Aku hanya mencoba meraba dan meluruskan apa yang ada di dalam fikirku tentang keberadaan “Pahlawan Devisa Negara”. Harapanku kedepannya, seseorang yang dianggap “pahlawan” oleh Negara benar-benar mendapat tempat dan penghargaan yang selayaknya. (Just a Wish...)

Sobat, disini aku ingin berbagi cerita inspiratif tentang seorang wanita tangguh. Seorang wanita yang menghabiskan hampir seumur hidupnya menjadi Pahlawan Devisa Negara atau yang kerap di sebut Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Adalah Ani Sarmini, seorang wanita berumur 85-an yang kini tinggal disebuah rumah mungil di sudut kota Atlas. Wanita yang akrab ku panggil ‘Nenek’ ini tengah hijrah ke Negeri tetangga sejak berumur 14 tahun. Dia menghabiskan sisa remaja yang seharusnya Ia gunakan untuk belajar dan mengenal lingkungan hidupnya dengan menjadi Pembantu Rumah Tangga. Mengabdikan seluruh hidupnya di tengah-tengah keluarga ras India yang kerap dia sebut ‘Nyoya Besar’ (Majikan).

Nenek, seorang wanita yang terlahir di zaman penjajahan Jepang. Orang tuanya meninggal di medan perang saat usianya baru menginjak satu tahun. Begitu malang, namun tak membuat wanita ini gentar. Hingga akhirnya, nasib membawanya singgah di Negeri orang.

Saat itu Ia masih terlalu muda. Sebelum bekerja Nenek sempat menikah dengan seorang prajurit Negara. Namun pernikahan itu tidak berlangsung lama. Nenek memutuskan untuk bercerai. Disaat yang sama, Nenek bertemu dengan saudagar kain yang sedang singgah di kotanya. Ia berasal dari Negara yang terkenal dengan pusat perbelanjaannya. Akhirnya, Nenek pun mau untuk dibawa bekerja sebagai baby sister dan pembantu rumah tangga di tempatnya.

Nenek adalah wanita yang cerdas. Meski tak pernah mengenal tulisan dan tak bisa membaca huruf dan menghitung angka, namun dia mendalami banyak bahasa untuk berkomunikasi dengan sekitarnya. English Conversation dan beberapa bahasa daerah (sunda, jawa, melayu,...) yang Nenek kuasai, membuat ia mendapat tempat di hati Majikannya. Nenek kerap di ajak keliling kota saat sang Majikan  menemui Klien Bisnisnya. “Dulu, majikan selalu menganggap Nenek seperti keluarga sendiri,” ucap Nenek bersemangat sembari menerawang langit sore.

Ketangkasan dan kegesitannya dalam menyelesaikan pekerjaan, membuat majikannya merasa nyaman dan selalu meminta Nenek untuk terus tinggal membantu pekerjaan rumahnya. Waktu terus berganti. Tahun demi tahun dia habiskan untuk terus mengabdi pada keluarga barunya. Hingga akhirnya usia yang semakin renta memaksa raga Nenek untuk mengalah dan kembali ke Negeri sendiri.

“Suatu hari nanti Nenek ingin kembali ke Negera itu, disana ada keluarga Nenek yang sebenarnya,” matanya yang sayu dibalik keriput wajah lelahnya merayuku untuk terus menyimak kisahnya. “Semoga kalian, cucu-cucu Nenek, dapat mengambil hikmah dari apa yang telah Nenek lakukan. Bahwasanya ketulusan, keikhlasan, dan pengabdian adalah harga mati dari kehidupan. Terus belajar Nak, selama kamu masih diberi nafas untuk hidup,” tambah Nenek. Aku tak dapat menyembunyikan rasa haruku. Ku peluk tubuh kecilnya. Ku kecup punggung tangannya. ‘Nenek, hari ini aku belajar banyak tentang kehidupan. Semoga aku bisa setegar Nenek dalam menjalani kerasnya kehidupan. Trimakasih Nek’, ku eratkan pelukanku. 

Tanpa sadar empat jam aku tertahan disamping Nenek. Akupun bergegas pulang. Nenek mengantarkanku hingga ke bibir rumahnya. Aku melambai terus melangkah maju. Hingga bayangan Nenek mengabur dan terus menghilang.....

Perjalanan Tanam Mangrove Tim Djarum di Mangkang-Semarang

Semarang- Djarum Fondation bekerjasama dengan Tim Indonesia International Work Camp (IIWC) dan Mahasiswa Universitas Diponegoro (UNDIP) melakukan penanaman bibit Mangrove di pinggir Laut Marina, Minggu 14/10. Acara ini diselenggarakan di kecamatan Mangkang-Semarang. (Ini dokumentasinya.....)
Lokasi Tambak di Sudut Kebun Bakau di Mangkang


Persiapan Perjalanan menuju lokasi penanaman


Beberapa Tim IIWC dan Mahasiswa di Lokasi penanaman

Potret Dekat Daun Bibit Mangrove

Bibit Mangrove di Lokasi Penanaman

Cara Penanaman Bibit Mangrove menggunakan bantuan 1 buah  bambu kecil dan tali rafia


Potret Pasca Penanaman (Kotornya bikin Seruuuu...!! )

Medan Lumpur di Lokasi Penanaman Mangrove


Beberapa mahasiswa terjun langsung menanam bibit Mangrove

Ihhh,, ternyata asyik juga menanam...:D

Wajah lelah di paksa foto.. Hahahahahahhaa

Artikel : Pendidikan Anti Korupsi


 18 Februari...
 
Salah satu fenomena besar yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah maraknya kasus korupsi yang terjadi di seluruh lapisan masyarakat. Dari mulai rakyat biasa hingga pejabat pemerintah bahkan kalangan akademis pun ada yang melakukan korupsi dengan berbagai bentuk dan cara. Demikian parahnya penyakit korupsi ini sampai-sampai Negara Indonesia dikelompokkan menjadi salah satu negara terkorup di dunia.
Korupsi dilihat dari sudut pandang apapun, baik agama maupun hukum adalah tindakan yang salah. Salah, karena merugikan Negara dan membuat orang lain sengsara. Hal tersebut sesuai dengan definisi korupsi yang tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001, tentang Tindak Pidana Korupsi adalah perbuatan setiap orang baik pemerintahan maupun swasta yang melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
Kerugian tersebut berdampak luas pada masyarakat yang menyebabkan terhambatnya pembangunan secara nasional. Penyebab terjadinya kasus korupsi bervariasi dan beraneka ragam. Secara umum faktor penyebabnya adalah dorongan dari dalam diri sendiri seperti kehendak atau keinginan untuk melakukan tindak korupsi dan faktor rangsangan dari luar seperti adanya kesempatan dan kurangnya etika moral para pelaku.
Sebagai mana yang dituturkan Hasan Ma’alie, ketua BEM-F Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tindakan korupsi terjadi karena rendahnya moral para pelaku korupsi. Namun, hal tersebut bisa dicegah dengan adanya pendidikan moral yang diterapkan kepada pelajar atau mahasiswa di instansi pendidikan. ”Jadi, ketika nanti menjadi pejabat tidak sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya,” ujar Hasan yang juga ketua Gerakan Pemuda Melawan Korupsi (GPMK).
Sependapat dengan Ika Ratna Sari, mahasiswi Jurusan Ekonomi Universitas Teknologi Yogyakarta, seseorang yang melakukan tindak korupsi jika ia memiliki tiga aspek, yaitu kesempatan, kekuasaan dan jabatan. Seseorang akan semakin mudah melakukan korupsi jika ia sadar bahwa ia mampu melakukannya, dalam hal ini dia mempunyai peluang yang besar untuk melakukan korupsi karena jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya. “Ketiga aspek tersebut sangat menunjang seseorang melakukan korupsi,” ujar Ika.
Namun demikian, kesempatan melakukan korupsi tidak hanya ketika seseorang  memiliki jabatan tertentu. Dalam dunia pendidikan juga kerap terjadi praktik korupsi seperti yang dikemukakan oleh Beny Susanto ketua Dewan Pengurus Forum LSM DIY. Ia berpendapat bahwa bibit dan bentuk korupsi yang terjadi di dunia pendidikan menjadi potensi yang laten jika mereka diberi kepercayaan mengelola Negara. “Contoh sederhananya jika ada dosen atau guru ngobyek di tempat lain dengan hanya meninggalkan tugas,” papar pengasuh Ponpes Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Lebih lanjut menurutnya dunia pendidikan perlu memperkenalkan paradigma anti korupsi. Karena posisi dan peran dunia pendidikan sangat strategis dalam upaya preventif dan penguatan gerakan anti korupsi, di saat upaya penindakan penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan KPK) belum memenuhi ekspetasi masyarakat. Mafia pendidikan menjadikan mutu pelayanan publik pendidikan lemah, mahal atau komersial dan tidak bisa terjangkau mereka yang papa. “Jika tidak mengharapkan kehancuran, dunia pendidikan harus berbenah diri secara lebih serius,” tuturnya.

Pendidikan Karakter
Sebagaimana yang dipaparkan Agung Widodo S.Kom, Mch, Cht, bahwa harus ada upaya untuk mengantisipasi korupsi, salah satunya melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter antisipasi korupsi adalah membuat sistem pendidikan sebagai sarana bengkel perbaikan moral sebuah bangsa. “Harapannya pendidikan moral antisipasi korupsi ini dapat berintegerasi dengan kurikulum yang sudah ada serta bisa dimasukkan dalam program ekstra,” ujarnya. Dengan memasukan pendidikan karakter dalam kurikulum diharpakan nantinya dapat memupuk nilai-nilai kejujuran sejak dini. “Seperti jujur dalam mengerjakan ujian dan jujur dengan tidak titip absen,” tutur ketua Forum Kader Pengembang Moral Etika Pemuda Indonesia (FKPMEPI) Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY.
Selain dimasukan dalam kurikulum, teori tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti melalui pembinaan di lingkungan sekolah. “Misalnya saja seperti asistensi agama, yang mana setiap pekannya, siswa hadir dalam kajian kelompok disertai pembimbingnya,” ujarnya. Contoh lain adalah dengan penggunaan pakaian batik dan menerapkan bahasa Jawa sebagai bahasa lokal sehari-hari. “Lokalitas dan praktik secara langsung dapat menciptakan nilai-nilai yang positif. Hal ini akan membentuk sistem nilai dalam diri seseorang dari sisi intelektual, emosional, dan spiritual sehingga terbentuklah kecerdasan hati,” pungkasnya.
Sejalan dengan Agung, Suparno SH, MH alumni Pascasarjana Hukum Kebijakan Public Universitas Sebelas Maret (UNS). Ia mengungkapkan ada tiga macam institusi pendidikan yang berandil besar dalam membentuk karakter seseorang yaitu, keluarga, lingkungan dan institusi pendidikan formal (baca: sekolah). Lingkungan keluarga sebagai institusi pendidikan yang pertama di harapkan mampu membentuk perisai pertama kali dalam membentuk karakter tersebut, “Bagaimana orang tua memberi contoh dan tuntunan yang nantinya membuat anak akan terbiasa untuk melakukan seperti yang orang tua tuntunkan, pastinya tuntunan yang baik,” jelas dosen Kriminolog ini.
Diantara ketiga sumber institusi pendidikan ini harus saling bersinergi yang nantinya diharapkan dapat berintegrasi satu sama lain sehingga mampu mencetak pribadi-pribadi yang jujur, mengutamakan keadilan, dan rasa kemanusian yang tinggi. “Intinya, pendidikannya itu harus mencakup bagaimana cara mengintegrasikan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, sosial, psikomotorik, kognitif dan afektif,” tutupnya.

up