Artikel : Pendidikan Anti Korupsi


 18 Februari...
 
Salah satu fenomena besar yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah maraknya kasus korupsi yang terjadi di seluruh lapisan masyarakat. Dari mulai rakyat biasa hingga pejabat pemerintah bahkan kalangan akademis pun ada yang melakukan korupsi dengan berbagai bentuk dan cara. Demikian parahnya penyakit korupsi ini sampai-sampai Negara Indonesia dikelompokkan menjadi salah satu negara terkorup di dunia.
Korupsi dilihat dari sudut pandang apapun, baik agama maupun hukum adalah tindakan yang salah. Salah, karena merugikan Negara dan membuat orang lain sengsara. Hal tersebut sesuai dengan definisi korupsi yang tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001, tentang Tindak Pidana Korupsi adalah perbuatan setiap orang baik pemerintahan maupun swasta yang melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
Kerugian tersebut berdampak luas pada masyarakat yang menyebabkan terhambatnya pembangunan secara nasional. Penyebab terjadinya kasus korupsi bervariasi dan beraneka ragam. Secara umum faktor penyebabnya adalah dorongan dari dalam diri sendiri seperti kehendak atau keinginan untuk melakukan tindak korupsi dan faktor rangsangan dari luar seperti adanya kesempatan dan kurangnya etika moral para pelaku.
Sebagai mana yang dituturkan Hasan Ma’alie, ketua BEM-F Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tindakan korupsi terjadi karena rendahnya moral para pelaku korupsi. Namun, hal tersebut bisa dicegah dengan adanya pendidikan moral yang diterapkan kepada pelajar atau mahasiswa di instansi pendidikan. ”Jadi, ketika nanti menjadi pejabat tidak sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya,” ujar Hasan yang juga ketua Gerakan Pemuda Melawan Korupsi (GPMK).
Sependapat dengan Ika Ratna Sari, mahasiswi Jurusan Ekonomi Universitas Teknologi Yogyakarta, seseorang yang melakukan tindak korupsi jika ia memiliki tiga aspek, yaitu kesempatan, kekuasaan dan jabatan. Seseorang akan semakin mudah melakukan korupsi jika ia sadar bahwa ia mampu melakukannya, dalam hal ini dia mempunyai peluang yang besar untuk melakukan korupsi karena jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya. “Ketiga aspek tersebut sangat menunjang seseorang melakukan korupsi,” ujar Ika.
Namun demikian, kesempatan melakukan korupsi tidak hanya ketika seseorang  memiliki jabatan tertentu. Dalam dunia pendidikan juga kerap terjadi praktik korupsi seperti yang dikemukakan oleh Beny Susanto ketua Dewan Pengurus Forum LSM DIY. Ia berpendapat bahwa bibit dan bentuk korupsi yang terjadi di dunia pendidikan menjadi potensi yang laten jika mereka diberi kepercayaan mengelola Negara. “Contoh sederhananya jika ada dosen atau guru ngobyek di tempat lain dengan hanya meninggalkan tugas,” papar pengasuh Ponpes Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Lebih lanjut menurutnya dunia pendidikan perlu memperkenalkan paradigma anti korupsi. Karena posisi dan peran dunia pendidikan sangat strategis dalam upaya preventif dan penguatan gerakan anti korupsi, di saat upaya penindakan penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan KPK) belum memenuhi ekspetasi masyarakat. Mafia pendidikan menjadikan mutu pelayanan publik pendidikan lemah, mahal atau komersial dan tidak bisa terjangkau mereka yang papa. “Jika tidak mengharapkan kehancuran, dunia pendidikan harus berbenah diri secara lebih serius,” tuturnya.

Pendidikan Karakter
Sebagaimana yang dipaparkan Agung Widodo S.Kom, Mch, Cht, bahwa harus ada upaya untuk mengantisipasi korupsi, salah satunya melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter antisipasi korupsi adalah membuat sistem pendidikan sebagai sarana bengkel perbaikan moral sebuah bangsa. “Harapannya pendidikan moral antisipasi korupsi ini dapat berintegerasi dengan kurikulum yang sudah ada serta bisa dimasukkan dalam program ekstra,” ujarnya. Dengan memasukan pendidikan karakter dalam kurikulum diharpakan nantinya dapat memupuk nilai-nilai kejujuran sejak dini. “Seperti jujur dalam mengerjakan ujian dan jujur dengan tidak titip absen,” tutur ketua Forum Kader Pengembang Moral Etika Pemuda Indonesia (FKPMEPI) Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY.
Selain dimasukan dalam kurikulum, teori tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti melalui pembinaan di lingkungan sekolah. “Misalnya saja seperti asistensi agama, yang mana setiap pekannya, siswa hadir dalam kajian kelompok disertai pembimbingnya,” ujarnya. Contoh lain adalah dengan penggunaan pakaian batik dan menerapkan bahasa Jawa sebagai bahasa lokal sehari-hari. “Lokalitas dan praktik secara langsung dapat menciptakan nilai-nilai yang positif. Hal ini akan membentuk sistem nilai dalam diri seseorang dari sisi intelektual, emosional, dan spiritual sehingga terbentuklah kecerdasan hati,” pungkasnya.
Sejalan dengan Agung, Suparno SH, MH alumni Pascasarjana Hukum Kebijakan Public Universitas Sebelas Maret (UNS). Ia mengungkapkan ada tiga macam institusi pendidikan yang berandil besar dalam membentuk karakter seseorang yaitu, keluarga, lingkungan dan institusi pendidikan formal (baca: sekolah). Lingkungan keluarga sebagai institusi pendidikan yang pertama di harapkan mampu membentuk perisai pertama kali dalam membentuk karakter tersebut, “Bagaimana orang tua memberi contoh dan tuntunan yang nantinya membuat anak akan terbiasa untuk melakukan seperti yang orang tua tuntunkan, pastinya tuntunan yang baik,” jelas dosen Kriminolog ini.
Diantara ketiga sumber institusi pendidikan ini harus saling bersinergi yang nantinya diharapkan dapat berintegrasi satu sama lain sehingga mampu mencetak pribadi-pribadi yang jujur, mengutamakan keadilan, dan rasa kemanusian yang tinggi. “Intinya, pendidikannya itu harus mencakup bagaimana cara mengintegrasikan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, sosial, psikomotorik, kognitif dan afektif,” tutupnya.

0 komentar:

Posting Komentar


up