Pahlawan, seseorang yang patut mendapat penghargaan karena
pengorbanan, perjuangan dan sumbangsihnya terhadap bangsa dan Negara. Seseorang
yang memiliki keberanian utuh untuk memperbaiki hidup agar lebih baik dan
berkualitas. Membantu
dan mendorong suksesnya orang-orang yang ada di lingkungannya. Mereka yang kita
kenal sebagai adik, kakak, paman, tante, kakek, nenek, sahabat dan satu nafas
kekeluargaan. Tak terkecuali Pahlawan Devisa Negara.
Siapa
dia? Dialah seseorang yang rela mencari penghidupan di Negeri tetangga. Mengadu
nasib dan keberuntungan demi kelangsungan hidup keluarga dan lingkungannya. Seseorang
yang patut kita hargai dengan tanda Jasa yang sudah semestinya melekat dan
menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang menyandangnya. Lantas, mengapa mereka
disebut “Pahlawan Devisa Negara?”. Apakah gelar yang di beri oleh Pemerintah itu
benar-benar telah mendapat penghargaan, perlindungan dan perlakuan khusus
layaknya pahlawan Negara (yang sebenarnya) ?. Atau gelar ‘pahlawan’ hanyalah
sebuah alat bagi pemerintah untuk menutupi Aibnya
karena telah gagal menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya? Mensejahterakan
kehidupan dan penghidupan bangsanya?.
Entahlah!!
Itu hanya sebuah persepsi. Aku hanya mencoba meraba dan meluruskan apa yang ada
di dalam fikirku tentang keberadaan “Pahlawan Devisa Negara”. Harapanku kedepannya,
seseorang yang dianggap “pahlawan” oleh Negara benar-benar mendapat tempat dan
penghargaan yang selayaknya. (Just a Wish...)
Sobat,
disini aku ingin berbagi cerita inspiratif tentang seorang wanita tangguh. Seorang
wanita yang menghabiskan hampir seumur hidupnya menjadi Pahlawan Devisa Negara
atau yang kerap di sebut Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Adalah Ani Sarmini, seorang wanita berumur 85-an yang kini tinggal
disebuah rumah mungil di sudut kota Atlas. Wanita yang akrab ku panggil ‘Nenek’
ini tengah hijrah ke Negeri tetangga sejak berumur 14 tahun. Dia menghabiskan sisa
remaja yang seharusnya Ia gunakan untuk belajar dan mengenal lingkungan
hidupnya dengan menjadi Pembantu Rumah Tangga. Mengabdikan seluruh hidupnya di
tengah-tengah keluarga ras India yang kerap dia sebut ‘Nyoya Besar’ (Majikan).
Nenek,
seorang wanita yang terlahir di zaman penjajahan Jepang. Orang tuanya meninggal
di medan perang saat usianya baru menginjak satu tahun. Begitu malang, namun
tak membuat wanita ini gentar. Hingga akhirnya, nasib membawanya singgah di
Negeri orang.


Saat
itu Ia masih terlalu muda. Sebelum bekerja Nenek sempat menikah dengan seorang
prajurit Negara. Namun pernikahan itu tidak berlangsung lama. Nenek memutuskan
untuk bercerai. Disaat yang sama, Nenek bertemu dengan saudagar kain yang
sedang singgah di kotanya. Ia berasal dari Negara yang terkenal dengan pusat
perbelanjaannya. Akhirnya, Nenek pun mau untuk dibawa bekerja sebagai baby
sister dan pembantu rumah tangga di tempatnya.
Nenek
adalah wanita yang cerdas. Meski tak pernah mengenal tulisan dan tak bisa
membaca huruf dan menghitung angka, namun dia mendalami banyak bahasa untuk
berkomunikasi dengan sekitarnya. English
Conversation dan beberapa bahasa daerah (sunda, jawa, melayu,...) yang
Nenek kuasai, membuat ia mendapat tempat di hati Majikannya. Nenek kerap di
ajak keliling kota saat sang Majikan
menemui Klien Bisnisnya. “Dulu, majikan selalu menganggap Nenek seperti
keluarga sendiri,” ucap Nenek bersemangat sembari menerawang langit sore.
Ketangkasan
dan kegesitannya dalam menyelesaikan pekerjaan, membuat majikannya merasa nyaman
dan selalu meminta Nenek untuk terus tinggal membantu pekerjaan rumahnya. Waktu
terus berganti. Tahun demi tahun dia habiskan untuk terus mengabdi pada
keluarga barunya. Hingga akhirnya usia yang semakin renta memaksa raga Nenek
untuk mengalah dan kembali ke Negeri sendiri.
“Suatu
hari nanti Nenek ingin kembali ke Negera itu, disana ada keluarga Nenek yang
sebenarnya,” matanya yang sayu dibalik keriput wajah lelahnya merayuku untuk
terus menyimak kisahnya. “Semoga kalian, cucu-cucu Nenek, dapat mengambil
hikmah dari apa yang telah Nenek lakukan. Bahwasanya ketulusan, keikhlasan, dan
pengabdian adalah harga mati dari kehidupan. Terus belajar Nak, selama kamu
masih diberi nafas untuk hidup,” tambah Nenek. Aku tak dapat menyembunyikan
rasa haruku. Ku peluk tubuh kecilnya. Ku kecup punggung tangannya. ‘Nenek, hari
ini aku belajar banyak tentang kehidupan. Semoga aku bisa setegar Nenek dalam
menjalani kerasnya kehidupan. Trimakasih Nek’, ku eratkan pelukanku.
Tanpa sadar empat jam aku tertahan disamping Nenek. Akupun bergegas pulang. Nenek mengantarkanku hingga ke bibir rumahnya. Aku melambai terus melangkah maju. Hingga bayangan Nenek mengabur dan terus menghilang.....
Tanpa sadar empat jam aku tertahan disamping Nenek. Akupun bergegas pulang. Nenek mengantarkanku hingga ke bibir rumahnya. Aku melambai terus melangkah maju. Hingga bayangan Nenek mengabur dan terus menghilang.....
0 komentar:
Posting Komentar