Gadis
itu terdiam. Sejenak dia berfikir tentang masa depan. Sebuah fantasi yang
akhirnya bertumpu pada satu kata: KARIR. “Toh kamu bisa bahagiakan keluarga mu
dan keluarga ku bersama-sama. Kita bina rumah tangga yang utuh. Aku pastikan
kita bisa membangun mimpi bersama. Mimpimu dan mimpiku”. Lagi-lagi gadis itu
masih terbisu. Suara diseberang telphone itu beberapa hari kebelakang memang
mulai menggoyahkan keinginan dia untuk terjun berkarir.
“Mungkin sudah waktunya aku
menikah, tapi apa aku siap?,” tanyanya dalam hati.
Dia masih terbungkam menerawang.
Prisma,
lelaki yang berusia lima tahun diatasnya memang berniat meminangnya. Lelaki
yang baru ia kenal kurang lebih tiga bulan yang lalu saat Ara masih
melaksanakan kerja praktek di suatu industri ternama di kota Kretek. Awal
perkenalan hanyalah sebuah sapaan singkat pak Widodo, pembimbing lapangan Ara
dengan Prisma. Dengan santun Prisma menjabat tangan Ara ketika pak Widodo
memperkenalkan dirinya. Dia tersenyum menunjukan gigi-giginya yang tertata
rapi. Terlihat dari wajahnya dia seorang pekerja keras. Ara membalas
senyumannya. Sejak itu pertemuan merekapun tak pernah berulang.
Hingga
suatu ketika seorang wanita muda masuk menjadi salah satu karyawan di Kantor.
Wanita itu terlihat begitu belia. Belakangan Ara sadar bahwa ia merupakan
lulusan baru di sebuah universitas di kota Hujan yang langsung diterima bekerja
di Kantor ini. “Beruntung sekali,” pekik Ara ketika pertama kali pak Widodo
memperkenalkannya. Namanya Putri. Wanita bertubuh mungil yang berjiwa lapangan.
Rambutnya yang ikal kerap ia sanggul kecil membuat wajah cantiknya sedikit
lebih imut. Tak butuh waktu lama untuk Ara mengenalnya akrab. Pernah sesekali
Ara mengajaknya keliling unit produksi untuk memperkenalkan situasi kerja
disana dan banyak share tentang Industri yang mereka geluti. Berkat Putri, Ara
memiliki semangat baru di kota kecil ini. “Sahabat”. Satu kata yang akan selalu
ia jaga.
Desember.
Sebuah event tahunan digelar oleh pihak Kantor. Ara dan Putri terlibat
didalamnya. Saat itu Ara memutuskan untuk tetap tinggal di sebuah desa
terpencil di pegunungan bersama mahasiswa-mahasiswa yang tercatat sebagai
peserta acara. Saat sambutan ketua acara Handphone Ara berdernyit kencang.
Getaran yang ditimbulkan membuat tangan Ara dengan reflek mengangkatnya. “Ara,
selamat malam? Ada yang bisa dibantu? Dengan siapa bicara?,” kata-kata yang
kerap ia ucapkan saat menerima panggilan. “Hallo...,” ulangnya. Suara
diseberang sana terdengar samar. Mungkin karena Ara berada di tengah
pegunungan. “Selamat malam mba, ini Prisma. Mba ada dimana sekarang? Ketua
panitiannya sudah disana?,” Ara terlonjak. Prisma?. “Eh.. oh,, Pak Prisma, saya
ada di lokasi pak, ketua panitiannya juga sudah disini. Ada yang bisa saya
bantu pak?,” ujar Ara sedikit tergugup dengan kalimatnya. “Enggak kok,” tandas
Prisma pelan. “Gimana acara? Lancarkan, ada kendala tidak mba?,” tanya Prisma.
Suaranya masih samar terbawa angin malam. “Lancar pak, semua terkordinasikan
dengan baik,” Ara mulai bisa beradaptasi. Kalimat yang diucapkannya tak lagi
terbata. “Ini ketua panitia sedang memberi sambutan. Setelah ini talkshow dan
ditutup dengan pentas seni,” lanjutnya. Lelaki diseberang sana terdengar mengatakan
sesuatu dengan susah payah. Namun signal Handphone tak bisa menangkap suaranya.
Ara buru-buru memotongnya. “Maaf pak, suara Bapak tidak bisa terdengar. Bisa
saya matikan telephonnya sekarang?,” ujar Ara sopan. Bahasa tubuhnya tak dapat
berdusta bahwa ia tampak sedikit keki. “Oke Ra, tolong save nomor saya ini ya.
Siapa tau nanti atau lusa saya butuh bantuanmu. Tuuutt tuutt.,” Ara melongo.
Masih dengan posisi berdiri memegang Handphone. Lalu dengan cepat ia menyusul
merapatkan barisan dengan rekan-rekan peserta. Malam itupun menjadi tanda tanya
besar yang tak terjawab.
Haripun
berganti. Pesan demi pesan terlontarkan. Percakapan dan pertemuan pun kerap
terjadi. Entah karna kebetulan bertemu di kantor atau sekedar duduk untuk
mengobrol santai di caffe. Sampai akhirnya waktu berjalan membawa hati Prisma
bergetar kembali. Merasakan rasa nyaman ketika dia berinteraksi dengan gadis
yang baru dikenalnya. Memaksanya untuk meyakinkan hati bahwa dia memutuskan
untuk memilihnya. Begitu juga dengan Ara. Lama kelamaan obrolan demi obrolan
itu menjadi kebiasaan barunya. Ara mulai tersadar bahwa dia membutuhkan peran
lelaki di kehidupannya. Namun Ara, dia selalu pandai menyembunyikan
perasaannya. Bahkan berbohong dengan dirinya sendiri. Perlahan dia menepis
perasaan halus yang mulai meraba dinding hatinya.
“Hallo
Ara,, Hallo... Kok diam Ra, masih disanakah?,” tanyanya menirukan gaya
pertanyaan Ara yang selalu diakhiri dengan: kah.
“Ehh,,
ohh.. iya, masih kok,” dia mulai tersadar dari lamunannya. “Ara nggak tau Mas,
Ara mau selesaikan kuliah dulu, dapat pekerjaan, bahagiain keluarga dan mungkin
baru berfikir kearah sana,” ujarnya lembut. Obrolan yang sedari tadi
ditanggapinya dengan bercanda mulai dia arahkan. Mimik wajahnya berubah serius.
“lagian sepertinya Ara sudah nggak bisa suka sama laki-laki,” lanjutnya. Ia
terkekeh dengan pernyataannya sendiri. Suara disebrang sana pun ikut tertawa.
Dan percakapan mereka berakhir disana. Menutup malam yang basah oleh hujan.
---
Suatu hari di kota kretek.. minggu
yang sendu.
“Masih
banyak yang harus aku kejar Mas. Kebahagiaan orang tua, karir, dan lagi kakakku
belum juga menikah. Rasanya tak pantas jika aku harus mendahului dia,” Ara
mulai angkat bicara. Pagi ini Prisma mengajaknya bertemu disebuah Saung yang
terletak di kaki gunung. Mendung yang menyelimuti langit pagi dan pemandangan
yang cukup indah untuk dinikmati membawa suasana terkesan sedikit romantis.
Hanya saja Ara dan Prisma tidak menyadari hal tersebut. Entah tak mengerti atau
pura pura tak perduli. Dibenak mereka hanya ingin sama-sama mencapai
kesepakatan dari apa yang beberapa bulan kebelakang selalu menjadi bahan perbincangan
di telephon. Tentang hati. Kemana mereka akan membawa hati mereka
masing-masing.
“Lalu?
Menurutku itu bukan masalah yang berat Ra,” prisma menanggapi dengan tenang.
Pria bermata sipit ini memang selalu santai dan terkesan pendiam. Berbeda sisi
dengan Ara, gadis bermata bulat lebar dengan pembawaan yang selalu energik dan
ceria. “Aku nggak akan mengekang kamu untuk meraih mimpi kamu. Bahkan ketika
nanti kamu berniat untuk menjadi wanita karir sekalipun,” lanjut prisma dalam.
“Bagiku yang terpenting jam kerjamu nanti nggak lebih lama dari jam kerjaku.
Kita bisa ketemu kapanpun dan kamu ingat kewajiban dasar kamu sebagai istri dan
ibu anak-anakku,” paparnya datar. “Masa nanti harus aku yang jadi ayah rumah
tangga,” dia tersenyum tipis. Ada harap yang tersirat dalam senyumnya. Ara
menyimak dalam diam. Masih mengamati wajah lelaki yang sedang asik berbicara. “Apa yang membuat mu memilihku Mas, bahkan
kita terlalu beda,” desahnya dalam hati.
“Aku
mengerti Mas,” ujar Ara setelah beberapa menit mereka saling terdiam. Tangannya
memainkan gemercik air di kolam kecil tempat ia terduduk di sisinya. “Aku
sangat mengerti batasan karir aku. Lagian ketika nanti aku bosan aku juga akan
berhenti sendiri,” senyumnya hambar. Ia sedikit melirik kearah Prisma yang asik
terbenam dengan pikirannya. Memandang jauh pada pemandangan indah dihadapannya.
“Tapi bukan itu masalahnya. Banyak hal yang harus kita pertimbangkan dan bagiku
itu sangat penting,” Ara benar-benar menoleh ke arah lelaki yang juga sedang
memperhatikannya. Mata mereka saling bertemu. Ara buru-buru memalingkan wajah
dan melanjutkan percakapan. “Keluarga. Bukankah itu juga yang harus kita
pertimbangkan selain mimpi dan karir Ara?,” lanjut Ara. Dia mendesah pelan. Kembali
membenarkan posisi duduknya. Mengatur nafasnya satu satu. “Basic keluarga kita benar-benar berbeda, keluargamu yang kental
dengan agama dan keluargaku yang lebih bebas. Keluarga kecilku hampir tidak
terlalu perduli dengan masalah religi. Bahkan cenderung netral, plural dan
liberal. Dan keluarga intiku jauh dari apa yang kamu bayangkan. Kita bukan
keluarga sempurna seperti keluarga lain. Latar belakang kita berbeda Mas,
bagaimana nanti kedepannya? Bagaimana aku dimata keluargamu?,” Ara terpaku
dengan pertanyaannya sendiri. Dia tampak menahan emosi. rahangnya mengeras.
Pertanyaan terakhirnya tanpa sadar menusuk relung hatinya sendiri. Meninggalkan
kabut disudut matanya. Dengan cekatan Ara menata perasaannya. Dia kembali
melanjutkan. “Menikah bukan hanya tentang menyatukan cinta antara kita. Aku dan
kamu. Melainkan juga menjalin ikatan di keluarga kita. Aku hanya tak ingin itu
akan mempersulit kita kedepannya,” ujar Ara sedikit bersikap bijak. Prisma
masih menyimak. Nafasnya naik turun. Entah apa yang ia pikirkan sekarang.
“Kita
bisa lakukan itu berdua Ra. Percayalah, aku juga menginginkan kebahagiaan
keluarga. Dan menurutku mereka juga akan bahagia ketika kita bahagia. Meski
dengan cara membina rumah tangga sendiri. Suatu saat mau tak mau kamu juga akan
berpikir kearah itu Ra. Kamu akan butuh seseorang untuk menjadi penopang
hidupmu” Prisma masih berusaha membujuknya.
“Sebelum
semua terlambat, aku hanya memintamu meyakini lagi keputusanmu itu Mas,
keputusanmu memilihku sebagai pendamping hidup,” Ara mulai berkata sangat
hati-hati. “Biar bagaimanapun aku hanyalah seorang wanita yang akan dipilih dan
bukan memilih, Aku hanya mencoba mengklarifikasikan semua tentang kehidupanku
kepada mu. Aku tak ingin kamu menyesal nantinya dan kamu yang berhak memutuskan
kemana perahu ini akan dibawa,” Ara sedikit menundukkan wajahnya. Dilubuk
hatinya yang terdalam ia sangat menyesali tindakannya telah memikat hati lelaki
yang sangat rapuh dihadapannya. “Maafkan
aku Mas, aku sama sekali tak berniat melakukan ini. Tolong Tuhan, jangan
pertemukan kami disaat yang tak tepat, Karna aku masih menikmati kesendirian
ini, dimana hanya ada aku dan diriku, Aku yang hidup untuk keluarga kecilku,
mimpiku dan masa depanku, Jangan Tuhan.. jangan biarkan aku mencintainya,
membuatnya jatuh cinta dan akhirnya saling mencintai..,” batinnya menjerit
pasrah. Semua terlanjur terjadi. Dan mau tak mau semua harus terselesaikan.
Prisma
membenarkan posisi duduknya. Berulang kali lelaki itu mendongakkan wajahnya ke
langit kelabu. Ia kembali menanggapi. “Ketika aku memilih seseorang dalam
hidupku berarti aku telah meyakininya Ra, dan sampai saat ini aku yakin kamu
adalah orang itu. Wanita yang bisa memotivasi hidup aku, jadi ibu untuk
anak-anakku, dan jadi wanita hebat dibalik kesuksesanku,” sejenak Ara
tersentak. Dia menoleh dalam diam. Begitu indah kata-kata yang dirangkainya. Sempurna.
Kata-kata yang selalu Ara lontarkan kepada teman-temannya jika akan mendekati
wanita. Mengingat itu, senyum tersungging dibibirnya.
“Nggak
semudah itu Mas, ketika kita sudah membangun rumah tangga sendiri tentu kita juga
akan memiliki kebutuhan sendiri yang jauh lebih penting,” sergah Ara setengah
emosi. Dia mencoba berpikir logis. ”Kebutuhan keluarga kecil kita pasti yang
akan kita utamakan,” tegasnya. Dia menurunkan nada bicaranya sambil merapikan
jilbabnya yang tertiup angin. Prisma terdiam. “Percayalah, Ara mengatakan ini
bukan tanpa sebab. Ara juga ingin Mas mendapat yang terbaik,” Ara kembali
melanjutkan “Dan yang Ara hanya bisa lakukan hanya memberi arah apakah Mas
benar-benar yakin untuk melanjutkan sisa perjalanan hidup Mas dengan Ara atau
sebaliknya,” sorot matanya tegas, mencoba meyakinkan makhluk adam yang masih
terdiam.
“Baiklah
Ra, jika itu keputu...”
“Eh,
ohhh.. Sorry mas, Ara bukan mengambil keputusan,” potong Ara. “Seperti yang Ara
bilang tadi, Ara hanya mengklarifikasi dan memberi arah. Selebihnya terserah Mas,”
tukasnya. Matanya memandang lurus kearahnya. Prisma kembali terbisu. “Kamu memang benar-benar butuh motivasi Mas,
kamu butuh pendamping hidup. Mungkin memang sudah seharusnya kamu membangun
biduk rumah tangga di usiamu saat ini” batinnya. “Tapi bukan aku orangnya. Aku masih harus melanjutkan perjalanan
hidupku yang panjang,” Ara tertunduk.
“Bagaimana harus aku sampaikan perasaanku tanpa harus menyakitimu Mas,”
pilunya. Lelaki itu masih terdiam beku. Mungkin dia juga berpikir yang sama.
Mencari kata tanpa harus menyakiti.
“Aku
hanya butuh kepastian Ra, kepastian apakah aku harus menunggu atau berlalu dari
kehidupanmu,” Prisma melanjutkan. “Tak hanya wanita yang butuh kepastian,
akupun begitu. Aku nggak mau sia-sia telah menunggu kamu. Jadi berilah aku
kepastian,” tukasnya tegas. Ara tersenyum lembut.
“Ya
sudah, kamu bisa pikirkan dulu Mas. Sekali lagi aku minta kamu untuk meyakini
kembali perasaanmu. Terlebih kamu baru saja mengakhiri perjalanan cinta mu
belum lama ini. Jangan jadikan aku pelarianmu Mas, meski aku yakin kamu tak
bermaksud untuk itu. Tapi kamu juga harus menjaga perasaannya. Seseorang yang
sudah terlampau lama mendampingimu dimasa lalu. Aku tak ingin menyakitinya juga
Mas,” Dia mencoba menyembunyikan emosinya. “Aku belum bisa memberimu kepastian
jika aku masih meragukan keyakinanmu. Maka, ketika suatu saat nanti kamu
bertemu dengan wanita lain selain aku yang mampu membuatmu nyaman seperti ini,
kejarlah mas. Aku tak ingin kamu terlalu lama menunggu kepastian dari Ara,” Ara
menghela nafas panjang. “Aku percaya kamu jauh lebih tau mana yang terbaik
untuk hidup kamu. Dan keputusanmu nanti adalah penentuan hidup kamu kedepannya.
Jadi pertimbangkan baik-baik,” tegas Ara menutup percakapan. Prisma mengangguk
mantap. Dibibirnya tersungging senyum seadanya. Dalam hatinya berkecamuk menanti
keputusan terbaiknya.
---
Rabu di kota Kretek.. Rabu membawa
kelabu.
Dia
terlihat sangat resah. Pertemuan yang tak sengaja di kantor tempat Ara
mengambil penelitian ini membuat berbagai pertanyaan tersingkap dihatinya. “Apakah aku benar-benar mulai tertarik pada
pria itu?,” buru-buru ia tepis pikiran itu.
Dua
hari pasca pertemuannya di Saung memang membuat wanita ini banyak diam dan
melamun. Mencoba menata diri dan menata hati untuk memastikan semuanya. “Adakah alasan yang tepat untuk berkata TIDAK pada lelaki itu? Tiba-tiba saja
aku hilang kendali atas perasaanku,” Batin Ara jengah. “God, apa yang terjadi? Aku benar-benar belum siap. Jangan buat
perasaan ini terlalu jauh. Jangan buat aku jatuh cinta. Aku tak boleh seperti
ini,” jerit hatinya lagi. Ia menghempaskan tubuhnya pada kursi bambu
dihadapannya. Matanya menerawang jauh pada pemandangan di hadapannya.
Pohon-pohon besar, tanaman keras dan tanaman langka dilestarikan di sana. Ada
beberapa pekerja yang masih terlihat sibuk dan beberapa dari mereka bernyanyi
melepas lelah, sebagian lagi terlihat bercanda dengan rekan kerjanya.
Pemandangan sore yang seharusnya bisa ia lewati dengan ceria seperti biasanya.
Namun Ara tak bisa membohongi hatinya. Dia tenggelam dalam keraguan. Memilih
untuk ketetapan hati. Masa depannya. Terlebih ketika ia teringat akhir
percakapan dengan Prisma di telphone malam lalu. “Mungkin aku memang harus
menghapus sedikit-sedikit perasaan aku sama kamu Ra,” tukas Prisma. Ara terdiam
beberapa saat. Pikirannya mulai kacau. Entah harus menanggapi apa atas
pernyataan Prisma. Lama dia berpikir dan akhirnya menanggapi.
“Kalau
itu membuat kamu merasa better, Do it!!. karena aku tak akan pernah memaksamu
menunggu untuk sesuatu yang tak pasti,” ujar Ara memastikan. Prisma membisu dan
mengakhiri percakapan kala itu.
Hujan
tiba-tiba mengguyur sore yang sendu. Ara berlari ke dalam kantor, mengambil tasnya
dan bergegas pulang setelah berpamitan dengan tim yang masih tinggal di Kantor.
Sesampainya
di rumah, ara melirik jam di tangannya. “Pukul 18.00,” gumamnya. Tanpa banyak
berpikir Ara meraih handphone di dalam tas kecil kesayangannya. Ia mulai
menulis pesan untuk seseorang di seberang sana. Prisma.
“Masih
sibuk mas? Ngobrol yuk..”
“Ngobrol
apaan?”
“Apa
aja yang perlu diobrolin. Pekerjaan, kehidupan, masa depan.. apa aja.”
“Ngobrol
dimana?”
“Di
tempat yang enak buat kita ngobrol,”
“Okey,
kapan?”
“Sampai
Bapak eksekutif muda ini nggak sibuk,”
“Ya
udah, sekarang aja. Aku jemput di kostan.”
“Sip,”
Percakapan
dalam pesan yang singkat. Ara segera bersiap. “Aku harus memberinya kepastian.
Aku tak mau lagi membuatnya menunggu,” ujarnya lirih sambil mematuk-matukkan
wajahnya di cermin. Ara tersenyum. “Kamu sudah dewasa Ra,” ujarnya mencubit
pipinya sendiri. Dia sama sekali tak tertarik untuk berdandan. Dia kenakan
warna baju kesukaannya yang dominan hijau dan jilbab berwarna senada. Lama dia
menatap wajahnya di cermin. Mengamati setiap inci anugrah Tuhan yang Dia
ciptakan begitu sempurna. “Apa yang membuat orang mudah tertarik dengan raga
ini? Sedangkan aku tak memiliki sesuatu apapun yang istimewa,” Ara mendesah
lirih. Ia teringat ucapan Prisma kala itu. “ Kamu memang nggak cantik, tapi inner beauty kamu yang membuat kamu
tampak lebih cantik,” Ara tersenyum sampul. Sejenak ia terduduk di sofa merah
sebelum benar-benar beranjak dari rumahnya. “Aku harus bisa!!,” tegasnya.
Sedetik kemudian ia kembali menuliskan pesan pada lelaki itu. Lelaki yang
tengah menguras pikirannya untuk beberapa bulan terakhir. Dan mungkin,
membuatnya nyaris jatuh cinta. “Ara sudah siap Mas,”
“Aku
udah didepan,” Ara terlonjak. Buru-buru ia memakai sepatunya dan sedikit
berlari meninggalkan rumah mungilnya.
---
“Apa
kabar masa depanmu Ra?,” ujar Prisma membuka percakapan. Ara masih terdiam di
depan menu yang sedang ia pilih. “Kita pesan makanan dulu ya,” ujarnya singkat.
Prisma terlihat mengangguk dan mulai ikut memesan. Lama mereka terdiam usai
memesan makanan. “Hari yang melelahkan,” batin
Ara. Prisma masih sibuk dengan handphone digenggamannya. “Gimana hari-hari
pertama ke Kantor lagi Ra? Pasti seneng ya ketemu pak Widodo,” ujarnya sambil
terkekeh. Ara menatapnya, mengangguk dan mengulumkan senyumnya. Dia menghela
nafas. Jarak tempat duduk Ara dan Prisma memang berhadapan. Namun Ara memilih
untuk duduk agak jauh dari tempat ia berada.
“Seru
Mas, tapi agak sungkan juga sama temen-temen lain yang kerja praktek,” Ara
mulai bercerita. ”Kesannya temen-temen lain nggak di kasih kesempatan untuk
memandu tamu langsung. Padahal Ara hanya penelitian disana,” gerutunya. “Waktu
ada tamu berkunjung aja pak Widodo langsung nugasin Ara dan Putri untuk hendle
tamu. Padahal yang lain masih nganggur,” lanjut Ara. Prisma terlihat menyimak.
Menatap Ara dalam diam sambil menikmati minuman bersoda yang dipesannya. Entah
apa yang tersirat dipikirannya.
Lama
Ara bercakap. Ekspresi wajahnya pun berubah ubah. Tertawa lepas, kadang
menggerutu, berubah mimik marah dan tak jarang tersenyum datar. Pria berbadan
tambun itu masih menatapnya lekat. Ara sadar ia tengah diperhatikan, tapi rasa
nyaman saat bertukar cerita membuatnya tak bisa berhenti untuk sekedar meneguk
Milkshake yang telah dipesannya. Sampai akhirnya Prisma mengalihkan pembicaraan
itu.
“Lalu
apa kabar masa depanmu?,” tanyanya singkat mengulang pertanyaannya awal sesaat
setelah tiba di caffe mungil ini.
“Emmm,
masih sama. Soal di Kantor pagi tadi Ara minta maaf kalau menyinggung perasaan
Mas dengan sapaan ‘pak’. Tapi menurut Ara begitulah seharusnya, profesional
dalam bekerja,” Ara mulai menjawab. Prisma tak bergeming. “Mas tenang saja, Ara
nggak kawatir sedikitpun tentang gosip kita yang sudah merebak di Kantor,”
Prisma menoleh kearahnya.
“Duduknya
jangan jauh-jauh gitu dong Ra, sini pindah di depanku,” potong Prisma sambil
menunjuk ke arah kursi di hadapannya. “Nggak enak dilihat orang,” guraunya.
“Dikira kita lagi marahan,” Aku menuruti keinginannya. “Kenapa nggak kamu aja yang pindah dihadapanku,” batinnya jengkel.
“Tadi
pak Widodo juga bilang sama Ara, cuma dua hal yang bisa menyatukan silaturahmi
Ara dan Beliau,” Ara melanjutkan ceritanya yang terpotong. “Yang pertama Ara
harus melamar kerja disini dan yang kedua Ara harus dapat orang Kantor sini,”
“uuuhhhuukkkk,,
uhhukkkkk,” Prisma tersedak minumannya sendiri. Kaget.
“Minum
yang bener dong Mas,” cibir Ara.
“Terus
kamu jawab apa?,” tanya Prisma, mimiknya berubah serius seolah mulai penasaran
dengan topik yang aku angkat. Ara mengernyitkan dahinya.
“Ara
jawab singkat kok, kan masih ada Handphone. Kita masih bisa telphone atau BBM
an semau kita,” ujar Ara menggebu. Giliran Prisma yang mengernyitkan dahinya.
Mungkin dia tak puas dengan jawaban Ara. Ara tersenyum menggoda.
“Bercanda
Mas,” Ara terkekeh menang. Prisma menarik nafas lega. “Ara jawab, pasti Ara
akan mengunjungi Bapak dimanapun Ara berada dan bekerja nantinya. Masalah
jodoh, kalau memang Ara ditakdirkan oleh Tuhan berjodoh dengan orang Kantor
ini, why not? Toh, itu yang terbaik
dari Tuhan,” paparnya ringan.
“Menurut
kamu Aku orangnya gimana?,” tanyanya tiba-tiba. Ara mendengus heran. “Iya, aku
orangnya gimana menurut Ara?,” aku menunjuk tangan kearah diri sendiri. “Aku?,”
Prisma mengangguk. “Eggghhmmm,,” Ara membenarkan posisi duduknya, merapikan
pakaian lengan panjang yang dipakainya, berpura-pura memasang wajah serius dan
mulai berkomentar. “Mas itu orang yang selalu merasa kesepian di tengah
keramaian, pendiem tapi ketika marah bisa diluar kendali, dan kurang percaya
diri ketika berada ditempat umum. Tapi Mas pekerja keras dan tekun dalam hal
pekerjaan,” Prisma mengangguk mengerti.
“Yap,
kamu bener,” ujarnya sambil mengaduk minuman dihadapanya. “Aku orang yang
selalu merasa sepi ditengah keramaian. Dan aku orang yang suka dengan
ketenangan. Tapi kamu salah, aku tipikal orang yang memang nggak bisa marah
seperti yang kamu bilang,” dia tersenyum. “Dulu selama pacaran pun aku nggak
pernah marah sama pasangan aku,” tutupnya tegas. Ara terbahak lepas.
“Bukannya
marah bisa sama siapapun? Dan aku nggak bilang kamu suka marah tapi tadi aku
bilang sekali kamu marah kamu akan lepas kendali,” Ara mencoba meluruskan
pendapatnya. Merekapun terdiam. Menikmati malam yang basah oleh sisa hujan sore
tadi.
“Ra,
kalau disuruh milih kamu milih cari pasangan yang mau diajak kaya atau diajak
miskin?,” tanyanya tiba-tiba.
“Pertanyaan
macam apa itu Mas? Nggak logis gitu,” Ara mulai menangkis. “Yang jelas kalau
cari pasangan ya yang sama-sama mau merasakan apa yang kita rasakan sekarang.
Menerima apa adanya kita,” Ujar Ara tegas. “Sorry, Ara nggak bisa milih
pertanyaan yang Mas ajukan tadi,” dia merendahkan suaranya. Lelaki itu
menatapnya lekat.
“Aku
orang yang suka dengan kepastian. Jadi artinya kalau memang itu nggak pasti aku
nggak akan meneruskan,” Prisma mencoba masuk ke inti permasalahan. Ara menyimak
dengan seksama. “Mungkin karna aku terbiasa hidup lurus dan nggak bisa out of the role. Jadi aku nggak mau
berbelok dalam arti menanti hal yang nggak pasti,” Prisma menghela nafas
panjang “Aku bukan orang yang ingin mencari yang terbaik, karna pasti didepan
sana ada yang lebih baik dan lebih baik lagi. Tapi aku mencari orang yang
cukup. Ketika aku meyakini orang itu yang aku pilih artinya memang dia
orangnya. Dan aku nggak akan mencari pilihan lain,” paparnya jelas. Ara
mengangguk mengerti. Dia tak melanjutkan penjelasannya. “Kamu boleh punya
banyak obsesi dan cita-cita,” lanjutnya setelah lama terdiam. “Tapi jangan
lupakan kebutuhanmu. Kamu pasti membutuhkan seseorang untuk melengkapi hidupmu.
Menjadikan kamu lebih baik dari pada hari ini,” Ara terkesiap. Topik yang
Prisma bahas sedikit mengencangkan urat sarafnya. Prisma mendesah lirih.
“Jangan sampai kamu terlena dengan karir kamu nantinya Ra,” tegasnya.
“Ara
mengerti Mas,” tukas Ara menanggapi pernyataan Prisma. Dia menggaruk rambutnya
yang tak gatal. “Seperti yang sudah Ara bilang, Ara juga punya batasan ketika
berkarir nanti. Ara sadar Ara kelak punya keluarga kecil dimana Ara harus
mengabdi di dalamnya,” Dia menghentikan ucapannya. Menyeruput minuman dihadapannya
yang telah meleleh. “Ara pasti akan berfikir ke arah sana nanti bukan
sekarang,” Lanjutnya lirih. “Semoga kamu
mengerti Mas,” Batin Ara. Ia kembali menikmati minumannya.
“Soal
percakapan kita di Saung waktu itu, aku sangat menghargai keinginanmu,” ujar
Prisma. “Pertama aku harus introspeksi diri, kedua aku juga harus
mempertimbangkan masalah keluargamu, ketiga aku harus mempertimbangkan masalah
kakakmu, keempat aku harus meyakini diri aku dulu bahwa aku benar-benar memilih
kamu seutuhnya. Ibaratnya apa yang ada di diri kamu memang aku sudah tau,”
Prisma masih mencoba mengungkapkan isi hatinya. Angin berhembus lirih, beberapa
daun kering berjatuhan dikanan kiri tempat duduk mereka. Seolah mengerti
kegelisahan hati kedua insan ini. “Tapi balik lagi ketika aku sudah memilih,
dan siapapun yang aku pilih berarti aku benar-benar siap untuk menjadi pasangan
hidupnya. Tanpa memperdulikan siapa dia, bagaimana dia atau latar belakang
keluarga dia, aku yakin dia yang terbaik untuk aku,” sejenak dia terdiam, sebelum
melanjutkan penjelasannya lagi. “Dan aku sadar, aku tak bisa memaksakan
kehendakku. Terutama masalah kakakmu,” Ara menoleh kearah lelaki dihadapannya.
“Saat ini memang aku menganggap kamu yang terbaik diantara yang
lain. Tapi ketika aku mempertimbangkan alasan-alasan mu kemarin, pikiranku
sederhana." dia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. "Kalau memang dikemudian hari ternyata aku menemukan yang terbaik
selain kamu mungkin memang orang itu yang akan aku pilih. Mungkin kamu masih terlalu muda untuk menikah sedangkan impian-impian kamu masih banyak.
Intinya, sekarang aku memberikan keleluasaan kepadamu. Kejarlah mimpi kamu
sampai kamu benar-benar mendapatkannya dan kembalilah saat kamu merasa telah
cukup atas prestasi karirmu. Kembali dalam arti, kembali untuk menata hidup dan
menciptakah kehidupan yang baru,” Paparnya. Dimatanya tersirat kekuatan baru
yang muncul menguatkannya. “Saat berfikir seperti itu aku bisa berpikir lebih bijak
lagi, lebih positif thinking dan lebih nyaman untuk membuat keputusan yang
terbaik untuk kita,” tambahnya. Dia tersenyum tipis dan menghabiskan sisa
minuman soda dihadapannya.
“Ara
juga berpikiran demikian Mas, mungkin memang kita harus hidup masing-masing,”
dia menghela nafas panjang. “Kamu bisa Ra!!,”
tegas hatinya. Ara melanjutkan tanggapannya. “Toh, Ara disini juga tinggal satu
minggu, setelah itu Ara nggak tau apa kita masih bisa bertemu lagi atau nggak.
Jadi pasti nggak akan sulit untuk Mas maupun untuk Ara menata kembali hati kita
masing-masing,” ujar nya lirih “Dan percayalah, tulang rusuk nggak akan
tertukar,” Ara tersenyum simpul. Senyum yang sama sekali tak bermakna. “Ini yang terbaik, harus yakin ini yang
terbaik,” batin ara meyakinkan.
Ara
memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Prisma kembali mengantarnya pulang.
Sesampainya di depan rumah Ara berpamitan dengannya. Menjabat tangannya yang
dingin dan meletakannya di dahi, seperti yang selalu dia lakukan. Saat Ara
beranjak Prisma memanggilnya. “Sebentar Ra,” ujarnya lembut. “Ya Mas,” Ara
menoleh dan tiba-tiba Prisma mencubit kedua pipi Ara tanpa sempat Ara mengelak.
Sedetik kemudian dia melepaskannya. Ia tersenyum puas. Ara membentuk senyum
singkat. Ada kabut terbentuk di lubuk hatinya. “Selamat tinggal Mas, semoga Mas Prisma selalu diberi yang terbaik
dalam menjalani kehidupan. Senang bisa mengenal Mas walau hanya sekedar
persinggahan. Hari ini Ara menangis untuk kebahagiaan Mas Prisma. Baik-baik
setelah Ara pergi nanti. Maafkan Ara Mas,” hati Ara menjerit miris. Ara
bergegas meninggalkan lelaki itu. Hanya satu kalimat yang masih bisa ia
lontarkan. “Hati-hati dijalan,” Ara berucap lirih, menyungging senyum, berbalik
dan mengusap pipinya yang basah oleh air mata tanpa dia kehendaki. “All is Well,” batin Ara menguatkan. Ia
semakin tergugu dalam pekatnya malam. Perpisahan, menjadi jawaban atas
keputusan mereka.
Pada akhirnya keyakinanlah yang menentukan langkah kita.
Keyakinan yang membentuk sebuah kepastian. Keyakinan yang akan mengarahkan kita
menemukan yang terbaik. Keyakinan adalah hal terpenting dalam hidup. Dangan
sebuah keyakinan kita akan menemukan segalanya.
Cinta dan masa depan
(Thanks 4 Sissy, untuk inspirasinya ^_^)
0 komentar:
Posting Komentar