Cerpen (cerpen 1): Believe...

“Ara..,” suara itu masih saja menyimpan harap. “Aku serius untuk melamar kamu,”


Gadis itu terdiam. Sejenak dia berfikir tentang masa depan. Sebuah fantasi yang akhirnya bertumpu pada satu kata: KARIR. “Toh kamu bisa bahagiakan keluarga mu dan keluarga ku bersama-sama. Kita bina rumah tangga yang utuh. Aku pastikan kita bisa membangun mimpi bersama. Mimpimu dan mimpiku”. Lagi-lagi gadis itu masih terbisu. Suara diseberang telphone itu beberapa hari kebelakang memang mulai menggoyahkan keinginan dia untuk terjun berkarir. 

“Mungkin sudah waktunya aku menikah, tapi apa aku siap?,” tanyanya dalam hati. Dia masih terbungkam menerawang. 

Prisma, lelaki yang berusia lima tahun diatasnya memang berniat meminangnya. Lelaki yang baru ia kenal kurang lebih tiga bulan yang lalu saat Ara masih melaksanakan kerja praktek di suatu industri ternama di kota Kretek. Awal perkenalan hanyalah sebuah sapaan singkat pak Widodo, pembimbing lapangan Ara dengan Prisma. Dengan santun Prisma menjabat tangan Ara ketika pak Widodo memperkenalkan dirinya. Dia tersenyum menunjukan gigi-giginya yang tertata rapi. Terlihat dari wajahnya dia seorang pekerja keras. Ara membalas senyumannya. Sejak itu pertemuan merekapun tak pernah berulang. 

Hingga suatu ketika seorang wanita muda masuk menjadi salah satu karyawan di Kantor. Wanita itu terlihat begitu belia. Belakangan Ara sadar bahwa ia merupakan lulusan baru di sebuah universitas di kota Hujan yang langsung diterima bekerja di Kantor ini. “Beruntung sekali,” pekik Ara ketika pertama kali pak Widodo memperkenalkannya. Namanya Putri. Wanita bertubuh mungil yang berjiwa lapangan. Rambutnya yang ikal kerap ia sanggul kecil membuat wajah cantiknya sedikit lebih imut. Tak butuh waktu lama untuk Ara mengenalnya akrab. Pernah sesekali Ara mengajaknya keliling unit produksi untuk memperkenalkan situasi kerja disana dan banyak share tentang Industri yang mereka geluti. Berkat Putri, Ara memiliki semangat baru di kota kecil ini. “Sahabat”. Satu kata yang akan selalu ia jaga. 

Desember. Sebuah event tahunan digelar oleh pihak Kantor. Ara dan Putri terlibat didalamnya. Saat itu Ara memutuskan untuk tetap tinggal di sebuah desa terpencil di pegunungan bersama mahasiswa-mahasiswa yang tercatat sebagai peserta acara. Saat sambutan ketua acara Handphone Ara berdernyit kencang. Getaran yang ditimbulkan membuat tangan Ara dengan reflek mengangkatnya. “Ara, selamat malam? Ada yang bisa dibantu? Dengan siapa bicara?,” kata-kata yang kerap ia ucapkan saat menerima panggilan. “Hallo...,” ulangnya. Suara diseberang sana terdengar samar. Mungkin karena Ara berada di tengah pegunungan. “Selamat malam mba, ini Prisma. Mba ada dimana sekarang? Ketua panitiannya sudah disana?,” Ara terlonjak. Prisma?. “Eh.. oh,, Pak Prisma, saya ada di lokasi pak, ketua panitiannya juga sudah disini. Ada yang bisa saya bantu pak?,” ujar Ara sedikit tergugup dengan kalimatnya. “Enggak kok,” tandas Prisma pelan. “Gimana acara? Lancarkan, ada kendala tidak mba?,” tanya Prisma. Suaranya masih samar terbawa angin malam. “Lancar pak, semua terkordinasikan dengan baik,” Ara mulai bisa beradaptasi. Kalimat yang diucapkannya tak lagi terbata. “Ini ketua panitia sedang memberi sambutan. Setelah ini talkshow dan ditutup dengan pentas seni,” lanjutnya. Lelaki diseberang sana terdengar mengatakan sesuatu dengan susah payah. Namun signal Handphone tak bisa menangkap suaranya. Ara buru-buru memotongnya. “Maaf pak, suara Bapak tidak bisa terdengar. Bisa saya matikan telephonnya sekarang?,” ujar Ara sopan. Bahasa tubuhnya tak dapat berdusta bahwa ia tampak sedikit keki. “Oke Ra, tolong save nomor saya ini ya. Siapa tau nanti atau lusa saya butuh bantuanmu. Tuuutt tuutt.,” Ara melongo. Masih dengan posisi berdiri memegang Handphone. Lalu dengan cepat ia menyusul merapatkan barisan dengan rekan-rekan peserta. Malam itupun menjadi tanda tanya besar yang tak terjawab. 

Haripun berganti. Pesan demi pesan terlontarkan. Percakapan dan pertemuan pun kerap terjadi. Entah karna kebetulan bertemu di kantor atau sekedar duduk untuk mengobrol santai di caffe. Sampai akhirnya waktu berjalan membawa hati Prisma bergetar kembali. Merasakan rasa nyaman ketika dia berinteraksi dengan gadis yang baru dikenalnya. Memaksanya untuk meyakinkan hati bahwa dia memutuskan untuk memilihnya. Begitu juga dengan Ara. Lama kelamaan obrolan demi obrolan itu menjadi kebiasaan barunya. Ara mulai tersadar bahwa dia membutuhkan peran lelaki di kehidupannya. Namun Ara, dia selalu pandai menyembunyikan perasaannya. Bahkan berbohong dengan dirinya sendiri. Perlahan dia menepis perasaan halus yang mulai meraba dinding hatinya.
“Hallo Ara,, Hallo... Kok diam Ra, masih disanakah?,” tanyanya menirukan gaya pertanyaan Ara yang selalu diakhiri dengan: kah. 

“Ehh,, ohh.. iya, masih kok,” dia mulai tersadar dari lamunannya. “Ara nggak tau Mas, Ara mau selesaikan kuliah dulu, dapat pekerjaan, bahagiain keluarga dan mungkin baru berfikir kearah sana,” ujarnya lembut. Obrolan yang sedari tadi ditanggapinya dengan bercanda mulai dia arahkan. Mimik wajahnya berubah serius. “lagian sepertinya Ara sudah nggak bisa suka sama laki-laki,” lanjutnya. Ia terkekeh dengan pernyataannya sendiri. Suara disebrang sana pun ikut tertawa. Dan percakapan mereka berakhir disana. Menutup malam yang basah oleh hujan.
---
Suatu hari di kota kretek.. minggu yang sendu.

“Masih banyak yang harus aku kejar Mas. Kebahagiaan orang tua, karir, dan lagi kakakku belum juga menikah. Rasanya tak pantas jika aku harus mendahului dia,” Ara mulai angkat bicara. Pagi ini Prisma mengajaknya bertemu disebuah Saung yang terletak di kaki gunung. Mendung yang menyelimuti langit pagi dan pemandangan yang cukup indah untuk dinikmati membawa suasana terkesan sedikit romantis. Hanya saja Ara dan Prisma tidak menyadari hal tersebut. Entah tak mengerti atau pura pura tak perduli. Dibenak mereka hanya ingin sama-sama mencapai kesepakatan dari apa yang beberapa bulan kebelakang selalu menjadi bahan perbincangan di telephon. Tentang hati. Kemana mereka akan membawa hati mereka masing-masing. 

“Lalu? Menurutku itu bukan masalah yang berat Ra,” prisma menanggapi dengan tenang. Pria bermata sipit ini memang selalu santai dan terkesan pendiam. Berbeda sisi dengan Ara, gadis bermata bulat lebar dengan pembawaan yang selalu energik dan ceria. “Aku nggak akan mengekang kamu untuk meraih mimpi kamu. Bahkan ketika nanti kamu berniat untuk menjadi wanita karir sekalipun,” lanjut prisma dalam. “Bagiku yang terpenting jam kerjamu nanti nggak lebih lama dari jam kerjaku. Kita bisa ketemu kapanpun dan kamu ingat kewajiban dasar kamu sebagai istri dan ibu anak-anakku,” paparnya datar. “Masa nanti harus aku yang jadi ayah rumah tangga,” dia tersenyum tipis. Ada harap yang tersirat dalam senyumnya. Ara menyimak dalam diam. Masih mengamati wajah lelaki yang sedang asik berbicara. “Apa yang membuat mu memilihku Mas, bahkan kita terlalu beda,” desahnya dalam hati. 

“Aku mengerti Mas,” ujar Ara setelah beberapa menit mereka saling terdiam. Tangannya memainkan gemercik air di kolam kecil tempat ia terduduk di sisinya. “Aku sangat mengerti batasan karir aku. Lagian ketika nanti aku bosan aku juga akan berhenti sendiri,” senyumnya hambar. Ia sedikit melirik kearah Prisma yang asik terbenam dengan pikirannya. Memandang jauh pada pemandangan indah dihadapannya. “Tapi bukan itu masalahnya. Banyak hal yang harus kita pertimbangkan dan bagiku itu sangat penting,” Ara benar-benar menoleh ke arah lelaki yang juga sedang memperhatikannya. Mata mereka saling bertemu. Ara buru-buru memalingkan wajah dan melanjutkan percakapan. “Keluarga. Bukankah itu juga yang harus kita pertimbangkan selain mimpi dan karir Ara?,” lanjut Ara. Dia mendesah pelan. Kembali membenarkan posisi duduknya. Mengatur nafasnya satu satu. “Basic keluarga kita benar-benar berbeda, keluargamu yang kental dengan agama dan keluargaku yang lebih bebas. Keluarga kecilku hampir tidak terlalu perduli dengan masalah religi. Bahkan cenderung netral, plural dan liberal. Dan keluarga intiku jauh dari apa yang kamu bayangkan. Kita bukan keluarga sempurna seperti keluarga lain. Latar belakang kita berbeda Mas, bagaimana nanti kedepannya? Bagaimana aku dimata keluargamu?,” Ara terpaku dengan pertanyaannya sendiri. Dia tampak menahan emosi. rahangnya mengeras. Pertanyaan terakhirnya tanpa sadar menusuk relung hatinya sendiri. Meninggalkan kabut disudut matanya. Dengan cekatan Ara menata perasaannya. Dia kembali melanjutkan. “Menikah bukan hanya tentang menyatukan cinta antara kita. Aku dan kamu. Melainkan juga menjalin ikatan di keluarga kita. Aku hanya tak ingin itu akan mempersulit kita kedepannya,” ujar Ara sedikit bersikap bijak. Prisma masih menyimak. Nafasnya naik turun. Entah apa yang ia pikirkan sekarang. 

“Kita bisa lakukan itu berdua Ra. Percayalah, aku juga menginginkan kebahagiaan keluarga. Dan menurutku mereka juga akan bahagia ketika kita bahagia. Meski dengan cara membina rumah tangga sendiri. Suatu saat mau tak mau kamu juga akan berpikir kearah itu Ra. Kamu akan butuh seseorang untuk menjadi penopang hidupmu” Prisma masih berusaha membujuknya.

“Sebelum semua terlambat, aku hanya memintamu meyakini lagi keputusanmu itu Mas, keputusanmu memilihku sebagai pendamping hidup,” Ara mulai berkata sangat hati-hati. “Biar bagaimanapun aku hanyalah seorang wanita yang akan dipilih dan bukan memilih, Aku hanya mencoba mengklarifikasikan semua tentang kehidupanku kepada mu. Aku tak ingin kamu menyesal nantinya dan kamu yang berhak memutuskan kemana perahu ini akan dibawa,” Ara sedikit menundukkan wajahnya. Dilubuk hatinya yang terdalam ia sangat menyesali tindakannya telah memikat hati lelaki yang sangat rapuh dihadapannya. “Maafkan aku Mas, aku sama sekali tak berniat melakukan ini. Tolong Tuhan, jangan pertemukan kami disaat yang tak tepat, Karna aku masih menikmati kesendirian ini, dimana hanya ada aku dan diriku, Aku yang hidup untuk keluarga kecilku, mimpiku dan masa depanku, Jangan Tuhan.. jangan biarkan aku mencintainya, membuatnya jatuh cinta dan akhirnya saling mencintai..,” batinnya menjerit pasrah. Semua terlanjur terjadi. Dan mau tak mau semua harus terselesaikan.

Prisma membenarkan posisi duduknya. Berulang kali lelaki itu mendongakkan wajahnya ke langit kelabu. Ia kembali menanggapi. “Ketika aku memilih seseorang dalam hidupku berarti aku telah meyakininya Ra, dan sampai saat ini aku yakin kamu adalah orang itu. Wanita yang bisa memotivasi hidup aku, jadi ibu untuk anak-anakku, dan jadi wanita hebat dibalik kesuksesanku,” sejenak Ara tersentak. Dia menoleh dalam diam. Begitu indah kata-kata yang dirangkainya. Sempurna. Kata-kata yang selalu Ara lontarkan kepada teman-temannya jika akan mendekati wanita. Mengingat itu, senyum tersungging dibibirnya. 

“Nggak semudah itu Mas, ketika kita sudah membangun rumah tangga sendiri tentu kita juga akan memiliki kebutuhan sendiri yang jauh lebih penting,” sergah Ara setengah emosi. Dia mencoba berpikir logis. ”Kebutuhan keluarga kecil kita pasti yang akan kita utamakan,” tegasnya. Dia menurunkan nada bicaranya sambil merapikan jilbabnya yang tertiup angin. Prisma terdiam. “Percayalah, Ara mengatakan ini bukan tanpa sebab. Ara juga ingin Mas mendapat yang terbaik,” Ara kembali melanjutkan “Dan yang Ara hanya bisa lakukan hanya memberi arah apakah Mas benar-benar yakin untuk melanjutkan sisa perjalanan hidup Mas dengan Ara atau sebaliknya,” sorot matanya tegas, mencoba meyakinkan makhluk adam yang masih terdiam. 

“Baiklah Ra, jika itu keputu...” 

“Eh, ohhh.. Sorry mas, Ara bukan mengambil keputusan,” potong Ara. “Seperti yang Ara bilang tadi, Ara hanya mengklarifikasi dan memberi arah. Selebihnya terserah Mas,” tukasnya. Matanya memandang lurus kearahnya. Prisma kembali terbisu. “Kamu memang benar-benar butuh motivasi Mas, kamu butuh pendamping hidup. Mungkin memang sudah seharusnya kamu membangun biduk rumah tangga di usiamu saat ini” batinnya. “Tapi bukan aku orangnya. Aku masih harus melanjutkan perjalanan hidupku yang panjang,” Ara tertunduk. “Bagaimana harus aku sampaikan perasaanku tanpa harus menyakitimu Mas,” pilunya. Lelaki itu masih terdiam beku. Mungkin dia juga berpikir yang sama. Mencari kata tanpa harus menyakiti. 

“Aku hanya butuh kepastian Ra, kepastian apakah aku harus menunggu atau berlalu dari kehidupanmu,” Prisma melanjutkan. “Tak hanya wanita yang butuh kepastian, akupun begitu. Aku nggak mau sia-sia telah menunggu kamu. Jadi berilah aku kepastian,” tukasnya tegas. Ara tersenyum lembut. 

“Ya sudah, kamu bisa pikirkan dulu Mas. Sekali lagi aku minta kamu untuk meyakini kembali perasaanmu. Terlebih kamu baru saja mengakhiri perjalanan cinta mu belum lama ini. Jangan jadikan aku pelarianmu Mas, meski aku yakin kamu tak bermaksud untuk itu. Tapi kamu juga harus menjaga perasaannya. Seseorang yang sudah terlampau lama mendampingimu dimasa lalu. Aku tak ingin menyakitinya juga Mas,” Dia mencoba menyembunyikan emosinya. “Aku belum bisa memberimu kepastian jika aku masih meragukan keyakinanmu. Maka, ketika suatu saat nanti kamu bertemu dengan wanita lain selain aku yang mampu membuatmu nyaman seperti ini, kejarlah mas. Aku tak ingin kamu terlalu lama menunggu kepastian dari Ara,” Ara menghela nafas panjang. “Aku percaya kamu jauh lebih tau mana yang terbaik untuk hidup kamu. Dan keputusanmu nanti adalah penentuan hidup kamu kedepannya. Jadi pertimbangkan baik-baik,” tegas Ara menutup percakapan. Prisma mengangguk mantap. Dibibirnya tersungging senyum seadanya. Dalam hatinya berkecamuk menanti keputusan terbaiknya.  

---
Rabu di kota Kretek.. Rabu membawa kelabu.

Dia terlihat sangat resah. Pertemuan yang tak sengaja di kantor tempat Ara mengambil penelitian ini membuat berbagai pertanyaan tersingkap dihatinya. “Apakah aku benar-benar mulai tertarik pada pria itu?,” buru-buru ia tepis pikiran itu. 

Dua hari pasca pertemuannya di Saung memang membuat wanita ini banyak diam dan melamun. Mencoba menata diri dan menata hati untuk memastikan semuanya. “Adakah alasan yang tepat untuk  berkata TIDAK pada lelaki itu? Tiba-tiba saja aku hilang kendali atas perasaanku,” Batin Ara jengah. “God, apa yang terjadi? Aku benar-benar belum siap. Jangan buat perasaan ini terlalu jauh. Jangan buat aku jatuh cinta. Aku tak boleh seperti ini,” jerit hatinya lagi. Ia menghempaskan tubuhnya pada kursi bambu dihadapannya. Matanya menerawang jauh pada pemandangan di hadapannya. Pohon-pohon besar, tanaman keras dan tanaman langka dilestarikan di sana. Ada beberapa pekerja yang masih terlihat sibuk dan beberapa dari mereka bernyanyi melepas lelah, sebagian lagi terlihat bercanda dengan rekan kerjanya. Pemandangan sore yang seharusnya bisa ia lewati dengan ceria seperti biasanya. Namun Ara tak bisa membohongi hatinya. Dia tenggelam dalam keraguan. Memilih untuk ketetapan hati. Masa depannya. Terlebih ketika ia teringat akhir percakapan dengan Prisma di telphone malam lalu. “Mungkin aku memang harus menghapus sedikit-sedikit perasaan aku sama kamu Ra,” tukas Prisma. Ara terdiam beberapa saat. Pikirannya mulai kacau. Entah harus menanggapi apa atas pernyataan Prisma. Lama dia berpikir dan akhirnya menanggapi. 

“Kalau itu membuat kamu merasa better, Do it!!. karena aku tak akan pernah memaksamu menunggu untuk sesuatu yang tak pasti,” ujar Ara memastikan. Prisma membisu dan mengakhiri percakapan kala itu.

Hujan tiba-tiba mengguyur sore yang sendu. Ara berlari ke dalam kantor, mengambil tasnya dan bergegas pulang setelah berpamitan dengan tim yang masih tinggal di Kantor.

Sesampainya di rumah, ara melirik jam di tangannya. “Pukul 18.00,” gumamnya. Tanpa banyak berpikir Ara meraih handphone di dalam tas kecil kesayangannya. Ia mulai menulis pesan untuk seseorang di seberang sana. Prisma.

“Masih sibuk mas? Ngobrol yuk..”

“Ngobrol apaan?”

“Apa aja yang perlu diobrolin. Pekerjaan, kehidupan, masa depan.. apa aja.”

“Ngobrol dimana?”

“Di tempat yang enak buat kita ngobrol,”

“Okey, kapan?”

“Sampai Bapak eksekutif muda ini nggak sibuk,”

“Ya udah, sekarang aja. Aku jemput di kostan.”

“Sip,”

Percakapan dalam pesan yang singkat. Ara segera bersiap. “Aku harus memberinya kepastian. Aku tak mau lagi membuatnya menunggu,” ujarnya lirih sambil mematuk-matukkan wajahnya di cermin. Ara tersenyum. “Kamu sudah dewasa Ra,” ujarnya mencubit pipinya sendiri. Dia sama sekali tak tertarik untuk berdandan. Dia kenakan warna baju kesukaannya yang dominan hijau dan jilbab berwarna senada. Lama dia menatap wajahnya di cermin. Mengamati setiap inci anugrah Tuhan yang Dia ciptakan begitu sempurna. “Apa yang membuat orang mudah tertarik dengan raga ini? Sedangkan aku tak memiliki sesuatu apapun yang istimewa,” Ara mendesah lirih. Ia teringat ucapan Prisma kala itu. “ Kamu memang nggak cantik, tapi inner beauty kamu yang membuat kamu tampak lebih cantik,” Ara tersenyum sampul. Sejenak ia terduduk di sofa merah sebelum benar-benar beranjak dari rumahnya. “Aku harus bisa!!,” tegasnya. Sedetik kemudian ia kembali menuliskan pesan pada lelaki itu. Lelaki yang tengah menguras pikirannya untuk beberapa bulan terakhir. Dan mungkin, membuatnya nyaris jatuh cinta. “Ara sudah siap Mas,”

“Aku udah didepan,” Ara terlonjak. Buru-buru ia memakai sepatunya dan sedikit berlari meninggalkan rumah mungilnya.
---
“Apa kabar masa depanmu Ra?,” ujar Prisma membuka percakapan. Ara masih terdiam di depan menu yang sedang ia pilih. “Kita pesan makanan dulu ya,” ujarnya singkat. Prisma terlihat mengangguk dan mulai ikut memesan. Lama mereka terdiam usai memesan makanan. “Hari yang melelahkan,” batin Ara. Prisma masih sibuk dengan handphone digenggamannya. “Gimana hari-hari pertama ke Kantor lagi Ra? Pasti seneng ya ketemu pak Widodo,” ujarnya sambil terkekeh. Ara menatapnya, mengangguk dan mengulumkan senyumnya. Dia menghela nafas. Jarak tempat duduk Ara dan Prisma memang berhadapan. Namun Ara memilih untuk duduk agak jauh dari tempat ia berada.

“Seru Mas, tapi agak sungkan juga sama temen-temen lain yang kerja praktek,” Ara mulai bercerita. ”Kesannya temen-temen lain nggak di kasih kesempatan untuk memandu tamu langsung. Padahal Ara hanya penelitian disana,” gerutunya. “Waktu ada tamu berkunjung aja pak Widodo langsung nugasin Ara dan Putri untuk hendle tamu. Padahal yang lain masih nganggur,” lanjut Ara. Prisma terlihat menyimak. Menatap Ara dalam diam sambil menikmati minuman bersoda yang dipesannya. Entah apa yang tersirat dipikirannya.

Lama Ara bercakap. Ekspresi wajahnya pun berubah ubah. Tertawa lepas, kadang menggerutu, berubah mimik marah dan tak jarang tersenyum datar. Pria berbadan tambun itu masih menatapnya lekat. Ara sadar ia tengah diperhatikan, tapi rasa nyaman saat bertukar cerita membuatnya tak bisa berhenti untuk sekedar meneguk Milkshake yang telah dipesannya. Sampai akhirnya Prisma mengalihkan pembicaraan itu.

“Lalu apa kabar masa depanmu?,” tanyanya singkat mengulang pertanyaannya awal sesaat setelah tiba di caffe mungil ini.

“Emmm, masih sama. Soal di Kantor pagi tadi Ara minta maaf kalau menyinggung perasaan Mas dengan sapaan ‘pak’. Tapi menurut Ara begitulah seharusnya, profesional dalam bekerja,” Ara mulai menjawab. Prisma tak bergeming. “Mas tenang saja, Ara nggak kawatir sedikitpun tentang gosip kita yang sudah merebak di Kantor,” Prisma menoleh kearahnya.

“Duduknya jangan jauh-jauh gitu dong Ra, sini pindah di depanku,” potong Prisma sambil menunjuk ke arah kursi di hadapannya. “Nggak enak dilihat orang,” guraunya. “Dikira kita lagi marahan,” Aku menuruti keinginannya. “Kenapa nggak kamu aja yang pindah dihadapanku,” batinnya jengkel.

“Tadi pak Widodo juga bilang sama Ara, cuma dua hal yang bisa menyatukan silaturahmi Ara dan Beliau,” Ara melanjutkan ceritanya yang terpotong. “Yang pertama Ara harus melamar kerja disini dan yang kedua Ara harus dapat orang Kantor sini,”

“uuuhhhuukkkk,, uhhukkkkk,” Prisma tersedak minumannya sendiri. Kaget.

“Minum yang bener dong Mas,” cibir Ara.

“Terus kamu jawab apa?,” tanya Prisma, mimiknya berubah serius seolah mulai penasaran dengan topik yang aku angkat. Ara mengernyitkan dahinya.

“Ara jawab singkat kok, kan masih ada Handphone. Kita masih bisa telphone atau BBM an semau kita,” ujar Ara menggebu. Giliran Prisma yang mengernyitkan dahinya. Mungkin dia tak puas dengan jawaban Ara. Ara tersenyum menggoda.

“Bercanda Mas,” Ara terkekeh menang. Prisma menarik nafas lega. “Ara jawab, pasti Ara akan mengunjungi Bapak dimanapun Ara berada dan bekerja nantinya. Masalah jodoh, kalau memang Ara ditakdirkan oleh Tuhan berjodoh dengan orang Kantor ini, why not? Toh, itu yang terbaik dari Tuhan,” paparnya ringan.

“Menurut kamu Aku orangnya gimana?,” tanyanya tiba-tiba. Ara mendengus heran. “Iya, aku orangnya gimana menurut Ara?,” aku menunjuk tangan kearah diri sendiri. “Aku?,” Prisma mengangguk. “Eggghhmmm,,” Ara membenarkan posisi duduknya, merapikan pakaian lengan panjang yang dipakainya, berpura-pura memasang wajah serius dan mulai berkomentar. “Mas itu orang yang selalu merasa kesepian di tengah keramaian, pendiem tapi ketika marah bisa diluar kendali, dan kurang percaya diri ketika berada ditempat umum. Tapi Mas pekerja keras dan tekun dalam hal pekerjaan,” Prisma mengangguk mengerti.

“Yap, kamu bener,” ujarnya sambil mengaduk minuman dihadapanya. “Aku orang yang selalu merasa sepi ditengah keramaian. Dan aku orang yang suka dengan ketenangan. Tapi kamu salah, aku tipikal orang yang memang nggak bisa marah seperti yang kamu bilang,” dia tersenyum. “Dulu selama pacaran pun aku nggak pernah marah sama pasangan aku,” tutupnya tegas. Ara terbahak lepas.

“Bukannya marah bisa sama siapapun? Dan aku nggak bilang kamu suka marah tapi tadi aku bilang sekali kamu marah kamu akan lepas kendali,” Ara mencoba meluruskan pendapatnya. Merekapun terdiam. Menikmati malam yang basah oleh sisa hujan sore tadi.

“Ra, kalau disuruh milih kamu milih cari pasangan yang mau diajak kaya atau diajak miskin?,” tanyanya tiba-tiba.

“Pertanyaan macam apa itu Mas? Nggak logis gitu,” Ara mulai menangkis. “Yang jelas kalau cari pasangan ya yang sama-sama mau merasakan apa yang kita rasakan sekarang. Menerima apa adanya kita,” Ujar Ara tegas. “Sorry, Ara nggak bisa milih pertanyaan yang Mas ajukan tadi,” dia merendahkan suaranya. Lelaki itu menatapnya lekat.

“Aku orang yang suka dengan kepastian. Jadi artinya kalau memang itu nggak pasti aku nggak akan meneruskan,” Prisma mencoba masuk ke inti permasalahan. Ara menyimak dengan seksama. “Mungkin karna aku terbiasa hidup lurus dan nggak bisa out of the role. Jadi aku nggak mau berbelok dalam arti menanti hal yang nggak pasti,” Prisma menghela nafas panjang “Aku bukan orang yang ingin mencari yang terbaik, karna pasti didepan sana ada yang lebih baik dan lebih baik lagi. Tapi aku mencari orang yang cukup. Ketika aku meyakini orang itu yang aku pilih artinya memang dia orangnya. Dan aku nggak akan mencari pilihan lain,” paparnya jelas. Ara mengangguk mengerti. Dia tak melanjutkan penjelasannya. “Kamu boleh punya banyak obsesi dan cita-cita,” lanjutnya setelah lama terdiam. “Tapi jangan lupakan kebutuhanmu. Kamu pasti membutuhkan seseorang untuk melengkapi hidupmu. Menjadikan kamu lebih baik dari pada hari ini,” Ara terkesiap. Topik yang Prisma bahas sedikit mengencangkan urat sarafnya. Prisma mendesah lirih. “Jangan sampai kamu terlena dengan karir kamu nantinya Ra,” tegasnya.

“Ara mengerti Mas,” tukas Ara menanggapi pernyataan Prisma. Dia menggaruk rambutnya yang tak gatal. “Seperti yang sudah Ara bilang, Ara juga punya batasan ketika berkarir nanti. Ara sadar Ara kelak punya keluarga kecil dimana Ara harus mengabdi di dalamnya,” Dia menghentikan ucapannya. Menyeruput minuman dihadapannya yang telah meleleh. “Ara pasti akan berfikir ke arah sana nanti bukan sekarang,” Lanjutnya lirih. “Semoga kamu mengerti Mas,” Batin Ara. Ia kembali menikmati minumannya.

“Soal percakapan kita di Saung waktu itu, aku sangat menghargai keinginanmu,” ujar Prisma. “Pertama aku harus introspeksi diri, kedua aku juga harus mempertimbangkan masalah keluargamu, ketiga aku harus mempertimbangkan masalah kakakmu, keempat aku harus meyakini diri aku dulu bahwa aku benar-benar memilih kamu seutuhnya. Ibaratnya apa yang ada di diri kamu memang aku sudah tau,” Prisma masih mencoba mengungkapkan isi hatinya. Angin berhembus lirih, beberapa daun kering berjatuhan dikanan kiri tempat duduk mereka. Seolah mengerti kegelisahan hati kedua insan ini. “Tapi balik lagi ketika aku sudah memilih, dan siapapun yang aku pilih berarti aku benar-benar siap untuk menjadi pasangan hidupnya. Tanpa memperdulikan siapa dia, bagaimana dia atau latar belakang keluarga dia, aku yakin dia yang terbaik untuk aku,” sejenak dia terdiam, sebelum melanjutkan penjelasannya lagi. “Dan aku sadar, aku tak bisa memaksakan kehendakku. Terutama masalah kakakmu,” Ara menoleh kearah lelaki dihadapannya.

“Saat ini memang aku menganggap kamu yang terbaik diantara yang lain. Tapi ketika aku mempertimbangkan alasan-alasan mu kemarin, pikiranku sederhana." dia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. "Kalau memang dikemudian hari ternyata aku menemukan yang terbaik selain kamu mungkin memang orang itu yang akan aku pilih. Mungkin kamu masih terlalu muda untuk menikah sedangkan impian-impian kamu masih banyak. Intinya, sekarang aku memberikan keleluasaan kepadamu. Kejarlah mimpi kamu sampai kamu benar-benar mendapatkannya dan kembalilah saat kamu merasa telah cukup atas prestasi karirmu. Kembali dalam arti, kembali untuk menata hidup dan menciptakah kehidupan yang baru,” Paparnya. Dimatanya tersirat kekuatan baru yang muncul menguatkannya. “Saat berfikir seperti itu aku bisa berpikir lebih bijak lagi, lebih positif thinking dan lebih nyaman untuk membuat keputusan yang terbaik untuk kita,” tambahnya. Dia tersenyum tipis dan menghabiskan sisa minuman soda dihadapannya.

“Ara juga berpikiran demikian Mas, mungkin memang kita harus hidup masing-masing,” dia menghela nafas panjang. “Kamu bisa Ra!!,” tegas hatinya. Ara melanjutkan tanggapannya. “Toh, Ara disini juga tinggal satu minggu, setelah itu Ara nggak tau apa kita masih bisa bertemu lagi atau nggak. Jadi pasti nggak akan sulit untuk Mas maupun untuk Ara menata kembali hati kita masing-masing,” ujar nya lirih “Dan percayalah, tulang rusuk nggak akan tertukar,” Ara tersenyum simpul. Senyum yang sama sekali tak bermakna. “Ini yang terbaik, harus yakin ini yang terbaik,” batin ara meyakinkan.

Ara memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Prisma kembali mengantarnya pulang. Sesampainya di depan rumah Ara berpamitan dengannya. Menjabat tangannya yang dingin dan meletakannya di dahi, seperti yang selalu dia lakukan. Saat Ara beranjak Prisma memanggilnya. “Sebentar Ra,” ujarnya lembut. “Ya Mas,” Ara menoleh dan tiba-tiba Prisma mencubit kedua pipi Ara tanpa sempat Ara mengelak. Sedetik kemudian dia melepaskannya. Ia tersenyum puas. Ara membentuk senyum singkat. Ada kabut terbentuk di lubuk hatinya. “Selamat tinggal Mas, semoga Mas Prisma selalu diberi yang terbaik dalam menjalani kehidupan. Senang bisa mengenal Mas walau hanya sekedar persinggahan. Hari ini Ara menangis untuk kebahagiaan Mas Prisma. Baik-baik setelah Ara pergi nanti. Maafkan Ara Mas,” hati Ara menjerit miris. Ara bergegas meninggalkan lelaki itu. Hanya satu kalimat yang masih bisa ia lontarkan. “Hati-hati dijalan,” Ara berucap lirih, menyungging senyum, berbalik dan mengusap pipinya yang basah oleh air mata tanpa dia kehendaki. “All is Well,” batin Ara menguatkan. Ia semakin tergugu dalam pekatnya malam. Perpisahan, menjadi jawaban atas keputusan mereka.

Pada akhirnya keyakinanlah yang menentukan langkah kita. Keyakinan yang membentuk sebuah kepastian. Keyakinan yang akan mengarahkan kita menemukan yang terbaik. Keyakinan adalah hal terpenting dalam hidup. Dangan sebuah keyakinan kita akan menemukan segalanya.
 Cinta dan masa depan


(Thanks 4 Sissy, untuk inspirasinya ^_^)

0 komentar:

Posting Komentar


up