Cerpen: Rembulan, Draft dan Secangkir Hot Coffe


“Biar bagaimanapun Ara butuh restu Papa, Ma”.
“Nggak!! Mama nggak mau kamu terus-terusan ungkit dia dikehidupan kamu. Kamu cukup punya Mama dan kamu bisa jadikan Rama untuk jadi wali kamu nanti!”
“Tapi ma....”
“Pokoknya Mama nggak mau denger apa-apa lagi soal plan kamu itu. Terserah saja! Kamu mau nurut Mama atau tetap pada pendirian kamu itu,”
Tutt..tuuutt...Tutttt.....
---
Aku termenung didepan meja kerjaku. Menatap hampa ke atas singgasana langit malam. Beberapa hari ini memang topik pertengkaranku dengan Mama hanya berakar pada satu permasalahan. Pernikahan. Aku memang tidak berniat untuk menikah muda atau mendahului kakak perempuanku, tapi apa salah jika aku telah merencanakannya? Terlebih jika yang aku inginkan hanya sebatas kehadiran seorang Papa yang bertahun-tahun menghilang dari kehidupanku. Sosok lelaki yang seolah menepiskan takdirnya bahwa dia telah mengirim nafas baru dikehidupan kami. Aku, Kak Swari dan Adekku, Rama. 

Pandanganku masih tertuju pada dinding langit yang begitu terlihat cerah dari biasanya. Memang sangat jarang melihat langit secerah ini di musim penghujan. Biasanya, aku harus beradu dengan suara hujan ketika mendengarkan lantunan musik sambil menyelesaikan pekerjaanku. Kulemparkan pandanganku ke sekeliling halaman. Mengintip keluar jendela kamar. Dingin. Kabut tipis mulai turun menyelimuti rimbunnya pepohonan dihalaman rumahku, mengisyaratkan bahwa malam telah berganti pagi. Nyala api ditungku perapian pun mulai padam. Cahayanya berpendar kecil, namun cukup terang untuk ruang yang kuhuni. Sebuah kamar 3x4 yang hampir tiga tahun ini menjadi basecame utamaku.

Secangkir Hot Coffe masih setia berlenggang di jemari kananku yang mulai terasa dingin. Dengan terampil tangan kiriku membantu mengaduk adonan kopi instan itu. ku rapatkan tubuh ini diantara dinding sofa kecil yang menghimpitku dengan kedua kaki menopang pada batas kursi dibawahku. Rembulan mengintip di ufuk sana. Ia tersenyum manja di teras langit yang bersih, bak permadani gemerlap penuh bintang. Apa yang membuatmu tersenyum se-ikhlas itu?

Kulirik setumpuk draft kerja yang sedaritadi tercecer menunggu untuk ku jamah. Masih tak bergeming untuk menyentuhnya, hanya menatap sejenak tanpa selera. Mungkin aku mulai jenuh dengan pekerjanku. Deadline yang menumpuk dan pesiapan S2 yang membuat fikiranku tepecah belah semakin membuatku tak fokus dengan masa depanku. Terlebih memikirkan dengan serius untuk menjalani biduk Rumah Tangga. Teman-teman bilang aku seorang gadis yang gila karir. Untuk sekedar memiliki teman kencanpun aku masih harus berfikir seribu kali. Takut aktivitasku terbatas, malas diperhatikan, belum ada kesiapan, dan bla bla balaa, itu yang selalu aku jadikan alasan status ‘Single’ ku.

Namun jangan dikira aku tak merencanakan hal itu. keinginanku untuk hidup berumah tangga seperti yang lainnya juga tak jarang aku rancang sedemikian rupa. “Ntar juga ada waktunya,” paparku cuek ketika berkumpul dengan rekan kerjaku. Expresi mereka pun beragam. Sebagian ada yang berdecak heran, ikut bersikap cuek, mengiyakan bahkan ada yang melontarkan pertanyaan gila. “Are you straight?,” yang kemudian ku jawab dengan candaan “may be”. Tawa pun berderai diikuti tangan-tangan usil mereka mencubit pipi bakpau ku.

Diantara yang lain, aku memang karyawan termuda dengan prestasi yang cukup pesat. 24 Tahun. Terbukti dengan kejadian minggu lalu yang membuatku bersujud mengucap syukur atas rizki-Nya. Aku dipromosikan sebagai Manager Public Relations Officer dan mendapat kesempatan untuk melanjutkan study ku di salah satu Universitas ternama di kota Industri ini. Rencana Tuhan memang selalu indah, tak jarang aku menginginkan sesuatu yang tak bisa aku raih. Namun Tuhan selalu memberiku lebih bahkan jauh diluar dugaanku. 

“Just Lucky!,” kalimat yang selalu aku lontarkan kepada rekan kerja yang turut mengapresiasi karier dan studiku. Gelar ‘Exsekutif Muda’ pun melekat pada namaku. Mungkin bisa dikatakan aku cukup sukses untuk meraih satu mimpiku. “Membuat Mama Bangga!!”. Sebuah mimpi yang selalu menjadi doa dan motivasi di kehidupanku. Mimpi untuk mengangkat derajat Mama, Kakak dan Adekku. Yaa, Siapa yang tak bangga, usiaku yang masih terbilang muda dengan segudang prestasi dan karir yang terus melejit benar-benar membuktikan bahwa mimpi tak sekedar mimpi jika usaha dan doa terus diupayakan.

Masih terdiam. Mencoba mengeja kata lewat suara, namun tak seorangpun menemaniku. Mencoba mengeja kata lewat pena, namun hati berkata itu tak akan bisa mengurangi beban hatiku. Sejenak, kembali teringat ucapan Mama pagi tadi. Pernyataan yang sebenarnya hanya jawaban atas pertanyaan singkat Mama. Rekaman itu pun kembali berputar.

”Kapan kamu mulai berfikir untuk menikah Ra?,”
 “Nanti ada waktunya Ma,” jawabku singkat. Mama pun tersenyum.
“Emmm, tapi tekad Ara sudah bulat Ma, Ara ingin Papa diundang untuk jadi wali Ara nanti,”. Lanjutku. Mama mulai mendengus kesal, tak segera menjawab.
“Biar bagaimanapun Ara butuh restu Papa, Ma”. Ujarku lagi, seolah meminta pengertian dari Mama di sebrang telp. sana.  
“Nggak Ra! Mama nggak mau Kamu terus-terusan ungkit dia dikehidupan kamu. Kamu cukup punya Mama dan kamu bisa jadikan Rama untuk jadi wali Kamu nanti!”
“Tapi ma....”
“Pokoknya Mama nggak mau denger apa-apa lagi soal plan kamu itu. Terserah saja! Kamu mau nurut Mama atau tetap pada pendirian kamu itu,”
Tutt..tuuutt...Tutttt.....
---
Huuufffh.. Aku mendesah pelan, “Apa yang membuat Mama sekeras itu?,“ bibirku tak lagi mampu menahan garis besar pertanyaanku. “Bahkan hanya sekedar untuk meminta restunya? Lantas bagaimana aku di depan pasangan hidupku nanti? Bagaimana aku dimata keluarganya? Bukankah suatu keharusan jika memang dia masih ada di Dunia? Menjadi Wali pernikahan, hanya itu!! Apakah terlalu berat? Apakah pantas dia dihukum terlalu berat seperti itu? Bukankah suatu kebahagiaan juga ketika dia melihat putrinya yang dulu hanya seorang gadis kecil kini menjadi putri yang akan dipersunting oleh orang asing...” Jemariku tak lagi kaku untuk menuliskan rangkaian pertanyaan yang sedari tadi kupendam dalam diam. “Apa aku salah Ma, menginginkan keluarga yang utuh dihari istimewa yang akan aku ikrarkan sekali seumur hidupku?,” tiba-tiba jemariku terhenti menulis pertanyaan terakhirku. Tenagaku hilang oleh kristal-kristal kecil di sudut mata yang perlahan mulai mencair. Membasahi sebagian catatan kecilku. Menangis dalam doa yang tertambat.

Kembali kutatap rembulan yang tersenyum ramah. “mengapa masih saja tersenyum?”. kulirik foto Mama yang tergantung di dinding kamarku. Kunikmati setiap inci wajah ayu yang semakin rupawan dengan senyum dibibirnya. Benar-benar cantik! Wajah wanita pejuang kehidupanku. Bagaimana mungkin aku bisa membantah apa katamu Ma. Namun, apa sudah tak ada kemungkinan untuk aku mewujudkan sebagian harapanku? Ku nanti keputusan bijak mu Ma..

Aku tersenyum, mendekat kearah foto itu. Seolah raganya berada dekat di depan mataku. Ku usap lembut wajahnya. Ku kecup hangat dahinya. Mama, siapapun lelaki yang mendampingi hidup Ara nanti, Ara harap dia memang pilihan hati Mama. Jangan biarkan Ara jatuh ketangan orang yang salah Ma. Ara pasrahkan pada Mama. Karna Mama yang merawat Ara dari kecil, dan Mama yang selalu memberi yang terbaik untuk Ara. Kalau memang Mama tak berkenan Papa hadir saat Ara menjadi pengantin nanti, Ara ikuti kemauan Mama. Asal Mama tersenyum dan bersenyum untuk hidup Ara kedepannya. Ara ikhlaskan Ma..

Jam di kamarku menunjukkan pukul 03.00 WIB. Rembulan masih tersenyum pada posisi yang sama. Coffe di cangkirku telah ku santap tak bersisa. Ku putuskan untuk menyelesaikan Draft yang sedari tadi menanti untuk ku jamah. Biar bagaimanapun lembaran Draft ini adalah masa depanku. Ku pejamkan mata ini seketika. Mencoba berbisik pada sudut dalam hatiku. Ara tak ingin menyakitimu lagi Ma. Sampai kapanpun, Mama alasan Ara untuk hidup. Maka tersenyumlah untuk kehidupan Ara. Seperti Rembulan itu, dia menawarkan senyum yang ikhlas saat malam menjelang. Seperti Coffe itu, yang setia menemani malam saat Ara bekerja. Seperti Draft itu, yang akan mengisi hari-hari kedepan Ara. Doa Mama adalah keberkahan hidup Ara. Besok Ara janji akan hubungi Mama. Ara minta maaf Ma.  

Dan hari ini, aku belajar untuk ‘Dewasa’. Menjadi dewasa dengan caraku sendiri, dari kehidupan yang aku jalani...

The End...

0 komentar:

Posting Komentar


up