Sepotong Episode: "Nyatanya..." (The Story of My Wedding)



Air mata ini terus saja mengalir. Membuat alurnya sendiri. Dalam diam. Dalam ketidak pastian. Dalam kekalutan yang ku buat sendiri. Tentang cinta. Bahkan lebih dari sekerdar cinta. Ini sebuah cerita nyata tentang sebuah keinginan yang harus diraih dengan perjuangan yang kuat. Tak kenal kata menyerah. Mengikuti arus yang entah akan berhenti di titik mana. Atau mungkin tak akan berhenti. Terus berjuang hingga nanti. Hingga mati. 

“Yaank hujan terus ini.. Aku nggak bisa berangkat ke kantor! Gimana ini yaank,”

“Yank lagi apa.. Wah sombong nih sekarang nggak bales smsku,”

“Yank besok akhir pekan kita kemana? Buat agenda. Ayo.. Jalan-jalan..,”

“Yaaaaaaankkk....,”

Aku membaca satu persatu pesan singkat darinya. Entahlah. Bukan senyum yang terlukis namun tangis. Aku takut. Aku khawatir esok atau lusa aku tak lagi bisa membacanya. Atau mendapat pesan singkat yang sama darinya. Terlebih, telah banyak yang dia korbankan untuk hubungan ini. Telah banyak yang kita lalui bersama. Telah banyak cerita yang kita ukir bukan hanya dengan cinta, namun ketulusan.

“Aku serius ingin melamarmu Ra!”.

Kalimat itu masih saja memantul jelas ditelingaku. Menggema. Menghadirkan mimpi yang indah. Masa depan.

Itu dulu. Kalimat pertama yang dia ucapkan saat pertama kali memintaku. Dulu aku hanya menganggapnya sebuah lelucon lelaki dewasa yang mulai basi untuk merayu wanitanya. Namun, kini tidak lagi. Aku menginginkannya.

Bukan sekedar kata-kata. Aku butuh dia sepenuhnya. Aku tak ingin mengotori cinta ini. Aku ingin ia tetap terjaga suci hingga tiba saatnya nanti. Walaupun, kenyataannya sangat susah. Aku kehilangan bagian itu. sketsa hidup yang indah didalam mimpiku. Aku menyerahkan semuanya. Bagian yang ku harap dia mampu melengkapinya.

Banyak kendala. Dia tau persis resiko yang akan dihadapi ketika memilihku menjadi pendamping hidup. Tapi dia bersikeras. Meyakinkanku. Memintaku di depan keluargaku. Menghadirkan cerita baru dihidupku. Memperjuangkan sikap atas nama cinta yang semata-mata ingin dia sucikan di hadapan Rabb-Nya. Dan kenyataan masih saja tak berpihak padannya.

Sesak. Tertatih. Pahit. Mungkin itu yang dia rasakan menunggu detik kepastian Pernikahan yang dia inginkan. Bukan hanya dia. Tapi juga aku. Kesabaran menjadi tiang penguatnya. Harusnya dia bisa. Ya! Bisa saja dia memilih meninggalkanku untuk menikahi wanita lain. Tapi dia memilihku. Masih memilihku.

Aku terisak. Diam. Dia menguatkan.

“Aku sudah bilang dari dulu bi, kamu salah memilih aku!,” aku setengah berteriak mengucapkan kata demi kata yang mengudara. Dia terdiam sesaat. Membidikkan kedua matanya kearahku. Aku membuang muka. Menunduk dan memainkan jemariku yang ikut bergetar menahan kata yang ingin kuucap berikutnya. Dia melingkarkan lengannya dibahuku. Membiarkan aku terbenam di dadanya yang bidang. Urung kulanjutkan.

“Aku tak akan menyesal memilihmu Ra. Sekalipun waktu berputar ke masa lalu, dan aku dihadapkan pada beberapa pilihan tentang cinta, aku akan tetap memilihmu. Serumit apapun kisah hidupmu, seberat apapun aku harus memperjuangkan cintaku, kamu adalah wanita yang telah ku anggap ‘Pasangan dari Tuhan’, Kamu adalah kado Tuhan yang terindah untuk menemani sisa usiaku. Jadi apa pantas aku menolaknya?”.

‘Habibie’ begitu aku menyebut namanya. Sebuah kata dalam ejaan arab yang memiliki arti “sayang ku”. Seseorang yang sudah hampir 345 hari aku mengenalnya. Dekat. Sangat dekat. Mungkin tak terpisahkan.

Aku bercermin. Menatap wanita muda diseberang sana. Mengamati setiap inci lekuk tubuh dan seluruh yang ada padanya. Cantik? Jelas tidak. Biasa. Tinggi? Apa lagi, paling hanya 159 cm. Langsing? Oh No! Dia berisi dengan berat kira-kira 50 kg. Putih? Sama sekali jauh! Kulitnya sawo matang. Dewasa? Sangat tidak. Dia 22 tahun dan sangat childish.

‘’Lantas apa? Bukankah definisi ‘cantik’ menurut mata lelaki adalah pertanyaan-pertanyaan diatas?!,” Aku membalikkan wajahku dari cermin. Menutupnya dengan kedua tangan dan menjatuhkan tubuhku di kursi duduk kamar.“
Ada apa dengan lelaki yang hampir setiap hari memenuhi ruang pikiran itu? tidakkah dia melihat apa yang ada dibenakku itu?,” Pikiranku mulai kacau. Tanggal dan hari pernikahan sudah ditetapkan. Tapi masih saja aku kikuk untuk melangkah. Bukan aku tak siap. Hanya saja perjuangan panjang masih harus aku lalui bersama dia. Lelaki itu. lelaki yang telah memilihku. Prisma.

Masih jelas di ingatan. Prisma selalu memperjuangkan hubungan ini. Dia memintaku dihadapan keluargaku. Dia mengenalkanku kepada keluarga besarnya. Dia mendatangi ayah kandungku yang bahkan sejak kecil dia tak lagi menghubungiku. Dia mengenalkan diri kepada teman-teman dekatku yang notabene tak menginginkan kehadirannya. Dan terakhir, dia membawa orang tuannya dari kota yang jauh di sana hanya untuk mempermudah perkenalanku dengan mereka. Dan apakah adil mana kala kesulitan ini menimpanya?

Aku salut. Kagum. Entahlah. Terlalu banyak kata yang tak bisa mewakili rasa terima kasihku atas hidupnya perasaannya kepadaku. Aku yang kosong. Aku yang sendiri. Perlahan mulai dia isi dengan energi yang ia bawa lewat cintanya. Sudah tentu. Aku mencintainya.

Lantas, apa yang membuat pernikahan menjadi hal yang ‘rumit’ di hidupku? Benarkah begitu sulit? Atau hanya rasa yang tak seharusnya aku besar-besarkan?

Tidak!

Terlalu banyak masalah di keluarga kecilku. Mama yang sedari kecil merawat, membesarkan dan memenuhi semua kebutuhanku kini berada jauh di Negeri Formosa. Sedangkan Papa, yang telah lama meninggalkan kami dengan egonya sendiri. Serta kakak, dia hidup dengan mimpinya. Memilih jalannya sendiri. Hidup serumah dengan seorang pria pilihannya hingga memiliki satu orang bayi tanpa dosa. Tanpa ikatan pernikahan.

Apa yang membuatnya semakin rumit?

Restukah? Egokah?

Aku beruntung. Beruntung memiliki seorang Ibu yang begitu kuat. Wanita yang kerap kusapa “Mama”. Mama yang tak pernah lelah berjuang. Peluh, kepahitan, jauh dari anak-anak, bukan satu hambatan untuk dia terus bekerja. Mengadu nasib di Negeri orang. Membanting tulang. Memikirkan masa depan kami. dan menanti prestasi terbaik dari kami.

Sebagai seorang anak, semua pasti ingin menikah di dampingi oleh seorang Ibu. Ibu yang akan mengajari setiap langkah dalam menjalani hidup baru sebagai seorang istri. Ibu yang akan tersenyum bahagia manakala hadir seorang cucu. Ibu yang selalu ingin dekat dengan keluarga kecilnya. Ibu yang tampak kuat namun lemah. Ibu yang selalu mengganti airmata dengan senyum tipis di bibirnya. Ibu sang penjaga amanah.

Aku pun demikian. Berharap Mama akan datang di hari yang mendebarkan. Hari yang sakral. Hari dimana aku mengenakan gaun putih disamping seorang pria yang mengenakan jas berwarna senada. Kita bersama. Mengucap janji setia. Dalam ikrar suci sebagai pengikat. Pernikahan.

“Tunggu 20 bulan lagi,” ujar mama saat itu ketika aku berbicara soal pernikahan. Selama itukah mama? Lantas apa yang akan terjadi dengan hubungan kami. Dia tidak akan mungkin mau menunggu selama itu Mam. What should I do?

“Apa tidak terlalu lama mam? Itu masih dua tahun lagi. Bagaimana jika Prisma tidak setuju dengan keputusan mama ini?,” aku mulai mengeluarkan jurusku. Merengek. Meminta belas kasihan. Dan mencoba meyakinkan keyakinanku akan hadirnya.

“Kalau dia nggak sabar ya tinggalkan. Kaya laki-laki cuma dia aja. Kamu manis gitu kok Ra. Pasti banyak yang mau. Hahahhaa,” aku terdiam. Mana berani aku menentang mama. Mama yang banyak berjasa di kehidupanku. Mama yang selama ini menjadi super hero dan srikandi di hatiku. Aku mengiyakan. Meski hati menolak sungguh. Aku mulai mencoba berbicara dengan dia. Lelaki itu.

“Aku ingin Mama datang Bi, tolong mengerti aku. Sudah terlalu banyak momentum penting dihidupku yang tak bisa ia hadiri. Bisakah?,” Seperti biasa, dia hanya diam dengan kacamata masih menggantung di hidungnya. Aku mulai terisak.

“Aku mengerti Ra, tapi aku tidak bisa menunggu selama itu. Aku mau hubungan ini segera dihalalkan. Atau...,” Aku menoleh kearahnya. Dia mengambil nafas panjang.

“Kita hidup masing-masing,” Prisma menutup kalimatnya tegas. Tatapannya lurus kedepan. Aku tau persis kalimat yang baru diucapkannya hanyalah sebuah kalimat tanpa makna. Dia dibawah kendali egonya. Aku tak menjawab. Menggantungkan pernyataannya.

Begitulah. Percakapan kami selalu berakhir dengan pertengkaran manakala kami membahas pernikahan. Aku dengan egoku. Dia dengan keinginannya. Kami tak saling bertemu di satu titik.

Aku capek Ra, aku capek kita terus-terusan berkutat di satu masalah yang sama! Kenapa kita tak bisa seperti orang lain yang bisa merencanakan pernikahannya dengan mudah? Aku capek terus berseteru dengan kamu!”.

Aku dengar. Aku merasakan. Aku sakit. Tidakkah kau tau itu? Aku dengar setiap kali kau berteriak soal itu. Aku merasakan apa yang bahkan kamu tak mengerti. Aku sakit berlipat kali saat menyadari ini semua menjadi getir karna kerumitan keluargaku sendiri. Jauh lebih sakit sayang!!

“Semua sudah aku lakukan Ra. Mendekat dengan keluarga dan teman-temanmu. Menghadirkan keluargaku untuk datang menemui keluargamu. Tapi seolah tak ada hasil. Jujur aku mulai jengah Ra. Mungkin memang kita tak bisa bersatu,” Dia mulai mengecilkan suarannya di ujung sana.

Ya, sudah menjadi kebiasaan kami untuk berkomunikasi by phone setiap malam menyapa. Menceritakan aktifitas masing-masing. Menukar rindu dengan suara. Mengukir tawa dan canda sebelum kantuk menggoda. Aku terbiasa karenanya.

Sangat berat. Aku tau sangat sulit untuknya melewati satu persatu cobaan yang tak pernah berhenti ini. Rasanya ingin ku akhiri saja hubungan ini saat suara itu mulai melengking menusuk relung hati. kata “pernikahan” yang seharusnya indah namun terasa berat dalam coba. Aku masih mencoba. Mencoba merayu mama agar hatinya sedikit luluh atas syarat yang terasa terlalu berat untuk masa depanku.

“Apa tidak ada cara lain selain menunggu mama selama itu? Tolong ma, atau setidaknya izinkan Ara untuk menikah siri dengan Prisma. Ara mohon ma, Ara benar-benar ingin menghalalkan hubungan ini. Kita sudah terlampau sering bertemu. Toh, Prisma juga sudah kenal dekat dengan mama. Mama pasti bisa menilai apakah dia bertanggung jawab untuk Ara atau sebaliknya. Tolong dipertimbangkan lagi mam. Kali ini saja,”

“Baiklah. Mama akan merestui kalian jika kakakmu sudah menikah dulu,” suara itu tampak tenang. “ Apa kamu nggak mikir Ra, ngurusin kakakmu aja bikin mama pusing. Kamu malah ikut-ikutan”. Mama melanjutkan. Ia melonggarkan persyaratannya. Aku bisa bernafas lega sekarang. Tapi, apa kakakku mau menikah segera? Sedangkan setiap kali aku tanya tentang pernikahan tak ada jawaban yang pasti dari mulutnya. Oh Tuhan, apa lagi ini..

Seperti biasa. Aku menceritakan semua masalahku kepada lelaki itu. Dia menyimak. Kadang menggerutu. Entah kesal atau ekspresi iba terhadapku. Yang pasti hanya nafas naik turun yang ku dengan di ujung sana.

Ini gila! Aku benar-benar seperti hidup dalam sebuah cerita yang tak berujung. Aku paham. Sangat paham. Kalaupun kakakku bisa menikah segera akan ada masalah baru di depanku. PERWALIAN.

Mama memintaku untuk menggunakan wali hakim sebagai pengganti papa yang memang telah lama meninggalkan mama tanpa berita. “Satu lagi. Walimu nanti adalah Adik kamu. Bukan Papa kamu yang bejad itu!,” tegas mama.

Aku bimbang. Dengan hati setengah yakin aku meng-iyakan ajakan Prisma manakala dia memintaku untuk bertemu langsung dengan ayahku. Meminta restu sekaligus meminta surat perwalian yang aku harap bisa dengan hati terbuka ia buat.

Hari itu, aku menemuinya. Seorang ayah yang telah bertahun-tahun lamanya hilang dari pelupuk mata. Seseorang yang biasanya hanya ku kenal lewat suara. Bukan rupa.

Ya, ia ada. Sosok itu. Sosok yang bahkan tak lagi ku kenali. Bentuk wajah yang berbeda. Wajahnya kotak dengan hidung bercuping lebar dan kacamata diatasnya. Senyum yang terkesan dipaksakan dan obrolan soal harta yang bagiku tak penting, semakin membuatku ingin cepat-cepat berlalu dari kota masa kecilku dulu. Ya. Dulu. Masa lalu. Dan aku tak ingin kembali mengulanginya.

Kau tau, apa jawaban papa manakala aku memintanya membuat surat perwalian kepada Adikku. “Kamu langkahi dulu mayat Papa jika kamu menghendaki Papa tidak menjadi wali di pernikahan kamu,” Aku mendesah panjang. Mencoba menikmati setiap ujian yang memaksaku untuk berpikir bijak. Harus bagaimana?

“Tapi Pa, tolong Papa mengerti keadaan Ara sekarang Pa. Tolong Papa menghargai keputusan mama juga Pa, kali ini saja,” Aku merintih di ujung gagang telphone yang ku genggam. Sakit sekali harus bicara seperti ini. Rasanya masih seperti orang asing yang tiba-tiba harus aku dekati demi mendapat sebuah restu.

“Nggak Ra. Papa kamu ini masih sehat. Masih bisa menjadi wali kamu. Pokoknya terserah kamu. Papa tetap ingin kamu menikah dengan wali papa”. Tuuut tuuut.. Telphone itu terputus. Mungkin Papa terlampau marah dan malas mendengar aku mengeluh. Aku menangis. Hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Membunuh kekecewaanku atas kelahiranku di dunia. Tidak!! Aku jauh lebih baik dari mereka yang memiliki nasib lebih menderita di bawahku. Tuhan, maka besarkan selalu hati ini.

Aku meringis. Miris. Meratapi nasibku yang terlalu spesial. Melihat ke arah lelaki yang kini ikut berjuang untuk mendapat restu dari semua pihak.

Tuhan, apa dia benar jodohku?

Jika bukan, maka aku meminta belas kasih Mu..

Atas apa yang telah dia lakukan untuk hubungan ini..

Atas pengorbanan, perjuangan, dan doa yang selalu kami kuatkan..

Maka, atas Restu Engkau Tuhan.. Jadikan dia jodohku..

Seorang imam yang akan menuntunku ke Surga Mu..

Tolong Tuhan..

Izinkan dia menikahiku..

Menikahi seorang gadis yang telah Kau takdirkan lahir dari buah perceraian..

Izinkan dia mendampingiku..

Mendampingi wanita yang tak sempurna ini..

Izinkan dia menjadi sosok teladan untuk putra-putriku nanti..

Dan izinkan kisah ini menjadi bingkai kenangan untuk mereka mengerti arti sebuah perjuangan..

Aku ingin dia menikahiku Tuhan..

Menikahiku di dunia dan akhiratku nanti..

Biarkan kami bersama atas Ridho Mu..

Maka bukakanlah hati mereka yang belum memberikan restunya atas niat baik kami..

Kau maha penggenggam hati.. Maka bukakanlah hati orangtuaku..



Aku berdoa. Hikmat. Dalam diam. Malam. Dalam kegelapan... Memohon. Meratap. Menengadahkan tangan. Dengan sisa tenaga yang ku punya. Dengan derai airmata yang terus mengalir panjang.

Wahai sang maha pengabul doa. Ijabahkan Doaku. Amin

Aku mencuri start. Membuat keputusanku sendiri tanpa restu mama. Tentunya ini juga atas keputusan Prisma juga. Kita membuat misi rahasia. Sebuah pernikahan sederhana yang akan di selenggarakan di tempat Papa berada. “Apa aku yakin?,” Itu yang selalu aku tanyakan pada hati. Dan dia selalu ada menguatkanku. Meyakinkanku. Aku pun menjawab dengan mantap. “Aku yakin!”. Dan hari dan tanggalpun kami pastikan.

Jujur, aku bingung. Kalut. Menanti restu yang tak juga ku genggam. Mama dengan egonya. Papa dengan keinginannya. Kakak dengan mimpinya. Semua tak bertemu di satu titik. Bahkan ketika tanggal dan hari telah di tetapkan. Aku masih tak mendapat restu itu. Bagaimana aku bicara dengannya soal ini.

“Ara! Kamu kali ini benar-benar mengecewakan mama! Kamu jahat! Kamu bohongi mama! Tega kamu ya Ra. Selama ini mama berjuang mati-matian untuk kebahagiaan kamu. Untuk kesuksesan kamu. Apa ini balasanmu Ra! Mama benar-benar sakit hati! Mama kecewa sama kamu!,” aku mendesah pelan membaca pesan singkat mama dari Negeri nan jauh di sana. Aku tau, lama kelamaan pasti mama akan tau soal kunjunganku ke tempat papa. Aku salah. Jelas salah. Aku yakin aku telah menyakiti mama. Dan aku siap mendapat hukumannya.

“Maafkan Ara ma, Ara mohon ampun atas kesalahan Ara ini. Ara tau mama benci Ara sekarang. Silakan Ma. Tapi ara melakukan apa yang memang seharusnya Ara lakukan. Ara butuh wali untuk pernikahan Ara. Segala hal telah kami lakukan untuk bisa menikah, dan hanya dengan ini kami bisa halal Ma. Ara takut dalam hukum agama jika Ara menikah dengan wali hakim tanpa restu Papa pernikahan Ara akan sia-sia. Ara nggak mau berzina seumur hidup Ara hanya karena itu Ma. Tolong mengerti posisi Ara. Ara hanya memperjuangkan apa yang semestinya Ara lakukan. Mohon Mama mengerti. Wali kandung untuk seorang puteri tidak bisa digantikan jika Ia tidak bersedia melimpahkan perwaliannya kepada wali hakim. Ini jalan satu-satunya yang bisa Ara lakukan Ma, maafkan Ara yang nggak bisa berbakti sama Mama,”

Aku bicara panjang lebar. Mama marah. Masih marah. Dan aku merasa telah menjadi anak yang durhaka. “Apa tak bisa kamu menunggu mama kamu yang selama ini menjadi penopang hidup kamu Ra!,” “Kamu ini bodoh atau apa sih Ra! Lebih ngeberatin pasangan daripada orangtua sendiri!,” “Kamu sudah kemakan sama cinta tuh! Rasakan! Anak nggak berguna! Bodoh!,” pikiranku terus mengecam liar. Aku gelisah. Aku takut. Aku sakit. Harus bagaimana aku menebus dosa ini pada Mama. Harus seperti apa lagi aku perjuangkan hubungan ini.

Aku tak mungkin diam saja. Sementara sudah dua hari ini Mama mendiamkanku. Tak membalas pesan demi pesan yang ku kirim untuknya. Aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan Tuhan? Mengapa ujian ini terasa terlalu berat untuk ku pikul. Apa salahku Tuhan. Bukankah aku terlahir dari buah cinta mereka. Namun mengapa Kau buat mereka saling membenci hingga aku yang menjadi korbannya. Tuhan, aku tau Engkau terlalu menyayangiku. Kau memberiku cobaan untuk menguji sampaimana kekuatan imanku. Aku beriman Tuhan. Aku merindukan pelukan Mu. Aku pulang Tuhan. Biarkan aku pulang kerumah Mu. Karena dunia terasa begitu menghinaku. Ampuni aku Tuhan. Kuatkan Aku.

Aku terus bermunajad. Dalam sujud panjang. Dalam isakan yang semakin menjadi lewat doa-doa yang ku panjatkan. Tangaku menengadah. Bergetar. Seiring dengan getaran bibir yang semakin mengencang. Meminta. Memohon. Berharap kemudahan. Berharap mendapat secercah cahaya sebagai petunjuk untuk melangkah. Bantu aku Tuhan. Bimbing Aku,” Aku masih terisak.

Lantas, alasan apa lagi yang harus ku pinta untuk setidaknya memundurkan tanggal dan hari pernikahan hingga aku bisa berdamai dengan Mama? Sedangkan, segala sesuatu untuk persiapan pernikahan telah dia siapkan? Haruskah aku menghancurkan kebahagiaannya?

Cincin pernikahan telah siap. Persyaratan pernikahan sudah ia kirim ke alamat Papa. Begitu juga dengan persiapan sajian di hari –H. Seluruh keluarga besarnya sudah resmi diundang. Mungkin orangtuannya terlampau bahagia dengan pernikahan putranya. Mereka memberi kabar kepada keluarga besarnya. Dan beberapa menyanggupi untuk hadir di pernikahan kami.

Aku semakin kacau. Entah apa yang harus ku buat. Mama masih saja tak membalas pesanku. Aku harus memperbaiki semuanya. Ya, aku tak ingin hubungan aku dan Mama renggang hanya karena egoku. Aku siap kalah Ma. Aku pulang untuk Mama. Tak lama, pikiranku buyar oleh bunyi pesan masuk di handphone ku. Bapak.

“Asskum Ra, bagaimana kabarnya? Ini bapak di bogor. Gimana ya, bapak cukup prihatin dengan kendala kondisi cuaca ekstrim saat ini. Dimana hampir semua akses jalan di tutup karena banjir. Bapak mau tanya, apa sudah fix kalau acara hari pernikahan kalian nanti dihari itu?,”

“Wss Pak, alhadulillah kabar baik. Semoga Bapak sekeluarga juga demikian. Insyaalloh sudah fix pak. Walaupun cuaca memang kurang mendukung. Di tempat Ara juga banjir pak. Demikian juga di tempat Papa sana. Ada saran pak?,”

“Iya nih Ra. Sambil menunggu cuaca membaik, gimana kalau hari pernikahan kalian di undur sampai hari kelahiran Prisma atau malah Bapak? Bapak pengin itu jadi kado spesial buat Bapak. Hehehe,”

“Baik pak, nanti Ara bicarakan dulu dengan Prismanya. Biar kita sama-sama sepakat. Nanti urusan dengan papa Ara biar Ara yang atur Pak. Terimakasih sarannya,” aku menutup percakapan. Entahlah, aku merasa ada angin segar sebagai jawaban atas keraguanku melangkah. Tuhan memang bijak. Tuhan mendengar dan memberi jalan. Malam itu juga aku diskusikan obrolan tadi dengan Prisma.

“Bi kalau boleh usul, bagaimana kalau hari pernikahan kita diundur?,” aku berpura-pura tersenyum memegang telp. genggam di telingaku. “Kebetulan bulan depan hari ulang tahun ayahmu. Gimana kalau pernikahan kita kita jadikan kado spesial untuk beliau?,” aku melanjutkan. Aku tak tau lagi harus beralasan apa untuk memberi ruang menunggu Mamaku memberi restu. Aku tau persis jika aku menggunakan Mama sebagai alasan pasti akan terdengar basi di telinganya. Aku belum bisa menceritakannya.

“Kenapa lagi sih yank. Kali ini apa lagi! Aku lama-lama bosan mendengar ucapan bodoh dari mulut kamu. Apa kamu nggak lihat gimana susahnya aku berkorban untuk hubungan ini? Hari dan tanggal sudah di tetapkan! Aku nggak suka kamu main ubah seenakmu!,” lagi-lagi dia berteriak. Aku tau aku salah. Ya, ini salahku. Aku benar-benar menyesal membuatnya jatuh cinta, mencintaiku.

“Ini cuma usul kok bi, jangan emosi dulu ya,”

“Orang kamunya mulai duluan! Aku sudah sering bilang, kalau mau maju jangan setengah-setengah. Kalau iya ayok, tapi kalau kamu masih nggak yakin ya nggak usah di paksakan!,”

“Bukan itu maksudnya bi, aku kan cuma kasih ide untuk kita jadikan moment indah kita sebagai moment bersama. Toh hari ulang tahun Ayahmu sebentar lagi kan?”

“Ah, terserah kamu aja! Sekarang silakan kamu yang urus semuanya! Aku capek. Silakan kamu lanjutkan sendiri. Ternyata kita memang nggak pernah cocok!,”

“Maksud kamu apa sih bi?,”

“Iya, kayanya memang kita harus hidup masing-masing,”

Tutt.. tuutt..

What! Apa ini? Apa aku sedang bermimpi? Tuhan, jangan lagi. Kenapa kata-kata itu terucap lagi. Apa memang harus seperti ini jalannya. Apa memang mungkin kita tidak berada di garis yang sama? Tuhan, kuatkan. Kuatkan.

“Hallo Ra,” suara itu kembali berdentum di gendang telinga. Kali ini lebih ringan. Tanpa emosi. Dia menelphoneku lagi.

“Jangan marah-marah gitu dong bi. Maaf kalo aku salah. Jangan asal bicara pisah gitu. Sakit rasanya,” aku menahan tangis. Kuatur suara agar dia tak mendengar isakan kecilku.

“Maaf Ra, aku menyesal. Nggak seharusnya aku marah-marah sama kamu. Ya udah, sekarang jangan bicarakan itu dulu ya. Aku sayang kamu Ra. Sayang sekali. Aku nggak ingin apa yang sudah kita perjuangkan berakhir begitu saja. Aku nggak mau pisah sama kamu,”

“Iya bi, aku juga sayang kamu. Jangan ulangi lagi. Sini aku peluk dari jauh,” dia terkekeh. Pada akhirnya kemarahan bukanlah jawaban untuk menyelesaikan masalah. Aku tau persis itu. Harus bijak. Harus dewasa. Itu yang selalu aku pelajari. Ini bukan masalah sepele. “aku yakin kita bisa lalui ini bi. Maafkan aku juga,” ucapku kemudian.  

Jika satu pelukan tak cukup untuk meluruhkan kerinduanmu kepadaku. Maka, ku suguhkan ribuan pelukan untuk menyambut hari-harimu. Tapi, tunggu hingga ia tiba. Ikrar yang akan melukis senyum kemenangan di hati kita. Mengukir hari baru di hidup kita. Meski lelah kadang menyergap. Membuat kata 'menyerah' nyaris terucap. Terimakasih atas cintamu yang membuatku lantang berucap "aku siap!". Dan esok, ketika hari itu tiba dan peluh perjuangan kita terbayar dengan janji suci yang kau ucapkan. Aku menantinya sayang. Menanti keberkahan hidup di hari baru kita. Menanti setiap mata terjaga dari lelap tidurku kau memelukku dengan senyummu. Kamu sayang, kamu yang membuatku kuat dan menguatkanku. Aku mencintaimu.

Sejenak aku lupakan masalahku dengan Prisma. Aku ingin fokus memperbaiki hubunganku dengan mama. Mama yang sembilan bulan mengandungku. Membesarkanku lewat cintanya yang hampir tak bisa ku raba. Hanya bisa ku rasakan. Karena selama aku hidup aku tak bisa berada disisinya. Aku hidup bersama Nenek dan Kakeku hingga dewasa. Kali ini aku ingin membayar satu demi satu jasa Mama dalam hidupku. Aku ingin membahagiakan Mama. Bukan sebaliknya.

“Mama, tolong jangan marah lagi ma. Kali ini Ara memohon untuk yang terakhir. Ara minta maaf. Ara salah. Ara pantas di hukum. Namun jangan hukum Ara dengan diamnya Mama. Ara ndak bisa melewatkan sehari tidak mendengar kabar dari Mama. Ara ingin Mama tetap ada. Lupakan masalah pernikahan Ara Ma. Ara mengalah. Ara turuti kemauan Mama. Sekalipun Ara harus berpisah dengan Prisma. Asal mama baik.  Asal mama mengampuni Ara yang tidak berbakti ini. Ara sudi Ma. Maafkan Ara,” air mataku menetes. Perlahan. Kemudian menjadi sungai kecil yang mengalir deras. Membanjiri sebagian wajahku. Isakanku tak kalah hebat. Aku menangis sejadinya. Meluapkan rasa yang tak lagi mampu aku terka. Entah gelisah, kecewa, sakit, ragu atau apapun itu. yang aku tau aku sudah menyerahkan garis hidupku pada Mama. Karena aku tak ingin mengecewakannya. Berharap Mama tau mana yang terbaik untuk anak putrinya ini.

“Mama memaafkanmu. Mama hanya kecewa mengapa kamu tak mau terbuka dengan Mama. Seolah kamu sudah tak butuh Mama di hidup kamu. Mama jauh-jauh kesini kalau bukan untuk masa depan kamu ya untuk apa Ra. Tolong lah kamu mengerti Mama. Mama pasti izinkan kamu menikah. Mama nggak suka dengan cara kamu. Kamu taukan Mama benci sekali dengan laki-laki biadap itu? Tolong hargai Mama,”

Aku tersenyum. Mama memang berhati mulia. Meski Mama bukan orang yang paham tentang agama. Tapi Mama selalu berusaha memberi yang terbaik untuk putra putrinya. Mama akan selalu menjadi super hero dan srikandi di hatiku. Mama segalanya untukku.

Waktu bergulir. Detik pernikahan di depan mata. Dan tiba-tiba aku meragu. Antara menyudahi atau melangkah maju. Ah, wajah lelaki di sampingku tampak tetap tenang. Duduk berpegang pada stir mobil sambil sesekali bersiul. Dia terlihat sama sekali tak ada beban. Seolah semua akan baik. Tidakkah begitu Bi? Dia tersenyum kearahku. Seolah mengerti sedari tadi aku mengamati setiap jengkal wajahnya. Aku diam. Mengalihkan pandang ke arah jalanan yang mulai basah. Hujan memayungi perjalanan kami. Teduh dan sunyi. Hingga di pagi yang mendung itu kami sampai di sebuah dusun kecil yang masih tampak sepi.

Aku menapakkan kaki kembali di tanah yang dulu pernah melihat tumbuh kembangku. Katanya. Ya, katanya. Aku sendiri sama sekali tak ingat. Seolah memori itu terhapus. Entah terhapus dengan sendirinya atau aku yang sengaja ingin melupakannya. Begitulah. Aku tak tau.

Perjalanan kami dari rumah menuju Bumi Mangga membutuhkan waktu 11 jam. Waktu yang panjang. Lelah. Terlebih di musim hujan seperti ini jalanan mulai rusak yang membentuk genangan-genangan kecil di sepanjang jalan pantura. Curah hujan yang tinggi masih menyelimuti.

Masih sama. Rumah itu tetap sama. Ah, aku tak perduli. Sama atau tidak aku tak mampu mengingatnya. Rumah dengan sedikit halaman dan beberapa ruang kecil-kecil yang di gunakan sebagai kamar. Atap di langit rumah tampak kusam dengan tumpukan kotoran yang menggantung di sana sini. Ubin yang terpasang mulai retak dan seringkali banjir manakala musim pengujan tiba. Aku tau. Entah dari mana aku tau. Ah, bukan. Tentu bukan karna aku masih sedikit mengingatnya! Ini katanya. Kata mereka.

Aku diam. Tak banyak ucap. Berusaha menggugah kembali keinginan untuk hidup nyaman  di sini. Tidak! Nyatanya tetap saja tak bisa. Aku ingin segera pulang.

Aku memikirkan Mama. Wanita itu. Ya. Dia pasti benci melihatku bahagia di tempat ini. Memang tak ada alasan aku bahagia Ma. Tidak tanpa kehadiran Mama. Maafkan ego Ara ini Ma. Maaf atas ketidak sabaran kami membina rumah tangga. Maaf atas keputusan ini Ma. Maafkan Ara.

Hari itupun datang. Sehari sejak kedatanganku di tempat ini. Hari dimana aku serahkan jiwa ragaku pada lelaki itu. Hari dimana statusku berubah menjadi seorang istri. Hari saat ku serahkan hidup matiku sepenuhnya. Seutuhnya.

Pernikahan yang sederhana. Tak ada janur kuning, tak ada makan besar, dan yang paling menyesak di dada, tak ada Mama di sampingku.

Pukul 04.30

Aku terbangun setelah bertemu dengan Almarhumah ibuku. Almarhumah? Ya, karena dia telah lama pergi. Namun pagi tadi, dia terasa nyata menegurku. Entah dari dimensi mana. Dia memberi sebuah pesan. “Akhirat yang terpenting. Kalau itu memang baik maka jalani,” kata-katannya masih saja terngiang di dinding memoriku. Membuatku terbangun dari lelah tidurku. Jantungku berdetak tak menentu. Terlebih, ketika dari arah depan terdengar suara gaduh. Aku berjalan ke arah sumber suara.

“Calon manten sudah bangun?,” aku tersenyum sambil mengernyitkan dahi. ‘calon manten?,’ batinku geli. Aku mengangguk meng-iyakan. “Kaget tante, ada suara bising di luar. Bikin deg-deg an tan,” aku tertawa dipaksakan. Wanita didepanku mengusap lembut kepalaku kemudian berlalu.

Calon pengantin. Benarkah? Semacam mimpi. Ya. Apa aku sedang bermimpi? Hari ini aku akan menikah. Benarkah?

Aku melangkah gontai ke arah sumber suara. Ada dua buah sound system dengan ukuran sedang yang berdiri tegak disamping tenda. Sebuah tenda berwarna orange-putih dengan beberapa kursi yang terpasang sedikit berantakan. Aku melangkah mendekat. Menata kursi hingga terlihat rapi tertata. Tak lama kemudian adzan berkumandang. Aku bersujud.

“Tuhan, aku meyakinkan hati. Melangkah. Menjalankan perintah-Mu. Menunaikan kewajibanku sebagai umat yang rindu bersua dengan-Mu. Maka beri aku kekuatan untuk mengikatkan janjiku atas nama Engkau tanpa kehadiran bidadari penopangku. Mama. Beri dia keihlasan untuk melepas buah hatinya. Beri dia keyakinan bahwa lelaki yang akan mendampingiku adalah sosok lelaki yang akan menuntunku ke jalan-Mu. Karena aku telah bersiap Tuhan. Ku jemput hidup dan matiku dibawah naungannya. Dibawah kasih sayangnya. Izinkan kami untuk dapat mengemban amanah-Mu. Menjadi pasangan yang selalu berkiblat di jalan-Mu. Maka, percayakan kami dengan lahirnya keturunan-keturunan baru dari rahimku Tuhan. Percayakan kami untuk menjaga, merawat dan membesarkannya. Supaya kami sempurna Tuhan. Supaya rizeki yang kami dapat semakin berkah. Aku telah siap Tuhan. Dia membuat aku siap. Maka aku tak ingin ragu untuk melangkah. Restui kami untuk menikah. Trimakasih Tuhan”. Aku tertunduk dalam sujud panjangku. Mengiba. Memohon. Bersimpuh.

Pukul 05.30

Lepas sujud, aku memilih melihat persiapan di dapur. Membantu ibu-ibu yang katanya dulu saat aku kecil mereka merawatku. Katanya. Aku hanya tersenyum dan berterima kasih. Aku tak lagi mengingatnya.

“Lho neng, kok jam segini belum dandan? Udah ndak usah bantu-bantu di sini. Neng mandi aja. Atau luluran sana,” salah satu ibu-ibu di sana mencoba menggodaku yang sedang asyik merapikan piring yang akan digunakan di prasmanan nanti.

“Acarannya masih jam 09.00 bu. Ndak buru-buru,” jawabku sambil terus menyusun piring dan tissu dalam satu tumpukan.

“Waah, susunan piringnya bagus neng. Calon mantennya ternyata lebih pinter nih. Besok ibu tiru ya,” timpal ibu lainnya. Aku mengangguk diam.

“Belajar dimana neng?,” tanyanya lagi.

“Belajar dari Mama bu”. Jawabku singkat. Dibelakang sana terdengar ibu-ibu mulai membicarakan Mama. Rasa bangga terhadap Mama yang mampu menghidupi dan mencukupi anak-anaknya. Aku tak bergeming. Terus sibuk dengan aktivitas persiapan yang lain. Membungkus makanan kecil ke dalam kardus snack dan mempersiapkan seserahan untuk calon mertuaku.

Pukul 06.30

Aku tengah selesai menyusun tempat prasmanan. Menyapu halaman taman dan merapikan kursi yang mulai kembali berantakan. Aku sadar betul tidak seharusnya aku yang mengerjakan semua ini. Ah, aku tak perduli. Toh mereka pun hanya diam. Bahkan aku tak merasa seperti calon pengantin. Bukan! Tapi ini caraku menutupi gelisahku. Mengurangi debaran di jantungku dengan aktivitas padat pagiku. Tak lama kemudian  HP di sakuku berdering.

“Ra.. Lagi apa?,”

“Habis rapiin tempat prasmanan Bi. Beresin kursi juga,”

“Lho, ngapain? Memangnya nggak ada orang? Aku bantuin ya,”

“Udah selesai kok Bi. Ndak papa. Aku juga ndak sibuk-sibuk amat. Kamu ke sini jam 07.00 aja ya. Sekalian di paras,”

“Okey deh. Ah harusnya kamu diem di kamar. Luluran. Orang mau nikah kok,”

“Hehehe. Ndak papa,”

“Ya sudah, sampai nanti ya,”

“Ya Bi,”

Tutt tutt. Aku tersenyum simpul. Lelaki itu. Tinggal beberapa jam kedepan dia akan menjadi imamku. Mimpikah?

Pukul 07.15

Lepas mandi aku kembali bersujud. Memasrahkan masa depan pada Robb yang membuat sketsa hidup begitu sempurna dimataku. Bersimpuh dengan butiran doa yang menjadi tasbih yang mengalir lancar dari mulutku. Tuhan akan menjadi saksi bersatunya cinta ini. Aku dan kamu. Kita.

Pukul 07.30

Aku melihatnya tengah di make-up oleh tanteku. Ya. Aku bersyukur kami tak harus kesusahan mencari tempat rias. Tante telah lama membuka usaha itu. Katanya.

Kurang tebel tuh tan,” ujarku sambil berjalan ke arahnya. Tante tak menanggapi. Dengan cekatan tangannya merubah wajah itu menjadi sosok lain dimataku. Dia terlihat lebih tampan. Ya. Memang tampan.

Usai di make up lelaki itu kembali ke tempatnya menginap. Kami memang sengaja dipisahkan. Aku di tempat tanteku, sementara dia di rumah saudaraku yang berjarak 10 meter dari rumah. Memang di sengaja. Kami membuat konsep penjemputan pengantin ala betawi. Biar bagaimanapun aku tak bisa memungkiri ada darah sunda di tubuhku.

Puluh 08.00

Giliran aku yang di make up. Banyak protes, sudah pasti. Terlebih untuk aku yang nyaris tak pernah dandan berlebih. Tante seolah menutup telinga dari eranganku yang menolak untuk di paras. “Sekali seumur hidup Ra. Nurut geh, jangan bawel!,” katanya sambil terus menepuk-nepuk wajahku dengan saput bedak di tangannya. Aku masih sekuat Tenaga menghempaskan tangannya dari wajahku. “Beneran tante iket nanti!,” tante mulai geram. Aku mengalah.

Tanpa suara tante mulai menimbun wajahku dengan berbagai riasan di tangannya. Pelembab, bedak, eye shadow, eye linner, blush on, lipstick dan bulu mata yang terasa mengganjal mataku. “Arrgh.. Ndak usah pake bulu mata nte! Ara ndak bisa buka mata nih! Pedes,” gerutuku. Tante hanya tersenyum tak perduli. Wajahnya tepat berada diatasku yang berbaring pasrah. Aku bisa melihat jelas kedalam matanya. Mata itu. Dia bagian dari keluargaku. Ah, aku merasa kita terlalu jauh sebagai bagian keluarga!

“Nah, selesai!,” teriaknya.

“Panaaasss… Tante, ke toilet sebentar ya. Pengin pipis lagi,” ujarku.

“Lagi? Ini sudah yang ketiga kali Ra. Kamu ini beser atau gerogi sih! Ditahan dulu! Nanggung!,” tante manyun. Aku tak kalah manyun. Ya. Ini memang ketiga kalinya aku minta ke toilet sejak di paras tadi. Pikiran tentang pernikahan membuat jantung yang berdebar mengalihkan energinya menjadi urine. Mungkin.

“Ndak bisa tan, kebelet ini. Dari pada ngompol,” aku ngeloyor pergi sambil tertawa. Tante tampak geram. Aku tak perduli.

“Udah? Ini yang terakhir lho Ra. Setelah ini kamu harus pake gaunnya,” paksa tante setelah aku kembali ke kamar. Aku hanya tersenyum dan mengangguk tak pasti.

Tante mulai kembali merapikan wajahku yang nyaris berantakan karena ulahku. Aku akui, sejak di toilet tadi aku berusaha menipiskan riasan di wajahku yang terkesan ‘ketebelan’. Tapi sia-sia. Tante menebalkannya lagi. Malah menurutku kali ini lebih terlihat berlebihan.

Riasan telah sempurna. Sekarang giliran tante membuat sanggul kecil di rambutku. Menutupnya dengan jilbab putih yang senada dengan gaunku. Memberi aksen cantik dengan tambahan bunga melati dan pita-pita di atas krudungku. Membuatnya tampak sempurna setelah memasang kalung di leherku.

Aku tak berontak. Hanya diam sambil mendengarkan beberapa lagu yang berhasil menenangkanku.

Tak berapa lama tante memintaku mengenakan gaun yang telah siap. Sebuah gaun panjang berwarna putih dengan hiasan garis berwarna emas, senada dengan warna pita di krudungku. Jarit berwarna silver juga tengah siap menutup kakiku.

Aku mengikuti instruksinya. Tante melilitkan jarit di kakiku. ‘sedikit berlebihan,’ pikirku. Ya. Gaun ini menjuntai hingga menyapu lantai di belakangku. ‘sayang sekali,’ batinku lagi. Tapi bisa apa. Semua sudah di persiapkan oleh tante. Aku tak mungkin menolak di detik-detik akhir menjelang pernikahanku. Tante tampak tersenyum dengan hasil karyanya.

“Selesai!,” teriaknya. “Nah, sekarang kamu boleh lihat di cermin,” ujarnya lagi. Aku tersenyum. Sedari awal memang tante melarangku bercermin. ‘biar surprise!,’ katanya. Aku melangkahkan kaki ke kamar sebelah. Seingatku hanya di kamar itu yang tersedia cermin berukuran super besar. Sedikit terseok-seok dengan sandal pengantin berwarna putih, aku berjalan sangat pelan.

Aku tertegun. Melihat bayangan tubuhku yang terlihat utuh di cermin itu. Menatapnya lekat. Aku nyaris tak mengenalnya. Gadis beralis tebal telah lenyap dengan hanya segaris alis yang tertoreh di atas kelopak matanya. Dibawah alisnya tampak berwarna kuning keemasan oleh eye shadow. Kelopak matanya berwarna perak dengan warna hijau gelap diatasnya. Kelopak mata bagian bawah terlukis garis hitam dari goresan eye linner yang membuat pandangannya terlihat tegas. Riasan mata itu di lengkapi dengan bulu mata panjang yang menampilkan mata lentik. Wajah itu berbeda.

Hidung yang flat kini tak lagi tampak. Warna gelap eye shadow yang diusap lembut dari ujung alis depan hingga mengikuti garis hidung membuat kesan mancung. Pipinya yang chubi tertutup oleh riasan blush on yang membuatnya merah merona. Garis bibirnya ditutup oleh warna lipstick pink-punch yang membuat wajah itu tampak segar. Memang berbeda. Aku tak mengenalnya. Melati yang menjuntai di kanan-kiri bahunya membuat aku tersadar.

Itu aku. Wanita di cermin itu aku. Aku yang tinggal menunggu waktu mendengar lelaki yang ku cintai mengucap ikrar di hadapan Illahi. Itu aku. Wanita dengan gaun putih dan lilitan jarit di kaki adalah aku. Aku yang akan meninggalkan masa lajangku untuk menjadi seorang Istri dan Ibu untuk anak-anakku. Dia aku. Ya. Itu aku.

Dan lihatlah. Aku yang dulu hanyalah seorang anak kecil. Di usia menjelang 3 tahun aku adalah seorang gadis kecil berbadan subur dengan pipi menonjol yang selalu menjadi sasaran empuk orang dewasa untuk sekedar menyubitnya. Rasanya dulu ingin sekali ku kempiskan pipi ini. Biar saja. Biar tak ada satupun yang menyentuh pipiku. Sakit. Itu yang aku rasakan dulu. Tapi aku tak bisa berbuat apapun. Beruntung, Ibu selalu menyelamatkanku dengan ucapannya. “Sudah sudah, kasihan,” katanya lembut.

Sejak kecil, bahkan sejak lahir, aku tumbuh besar bersama Nenek dan Kakekku. Mungkin karena alasan itu aku tak pernah merasakan kurang kasih sayang orang tua. Aku menganggap Kakek dan Nenek seperti orang tuaku sendiri. Aku bahkan memanggil Nenek dengan panggilan “Ibu”. Sedang Kakek tetap ku panggil “Simbah”.

Aku tumbuh menjadi gadis manja yang penurut. Memasuki bangku sekolah dasar umurku 6 tahun. Untungnya aku memiliki seorang kakak perempuan yang usianya hanya terpaut satu tahun di atasku. Aku tak takut. Ada kakak menjagaku.

Masih menerawang. Saat usiaku 12 tahun aku masuk bangku SMP. Aku mulai mencari jati diriku. Berteman dengan banyak kawan, membentuk tujuan hidup dengan mimpi, belajar tekun untuk meraih juara kelas, dan masih banyak lagi. Namun, dibalik itu aku tetaplah anak kecil. Seorang anak yang selalu dimanjakan. Aku tak menemukan arti dewasa.

Masa SMA ku adalah masa yang aku tunggu. Mengenakan seragam putih abu-abu dan memiliki seorang ‘pacar’. Seharusnya begitu. Tapi tidak di dunia nyata. Seragam yang aku kenakan tak bisa menyembunyikan sifat kekanak-kanakanku. Aku masih saja hanya terpusat pada prestasiku. Meski pernah aku bandel, namun aku tak pernah mengecewakan orang tuaku. Setiap hari aku berangkat tepat waktu begitupun saat pulang. Ibu selalu menungguku untuk sholat Ashar berjamaah dan makan malam bersama. Aku tak menolak. Aku sangat menikmatinya. Secangkir teh kental buatan Ibu dan sepiring kentang goring kesukaanku, selalu menjadi teman belajar. Bahkan, aku rela menanggalkan ajakan teman-teman untuk sekedar bersenang-senang untuk menemani ibu di rumah. Baktiku pada ibu mengalahkan rasa penasaranku akan ‘jati diri’ yang sebenarnya. Dan aku menyadari, masa SMA bukanlah masa dimana aku bisa dewasa. Aku masih saja anak kecil.

Kuliah. Enam kata yang membuatku berdebar-debar menjalaninya. Disini aku mulai merasa bebas. Hidup jauh dari keluarga dan hanya tinggal di rumah kost menuntut aku untuk dewasa. Mencuci sendiri, mencari makan sendiri, berberes kamar sendiri. Semua serba sendiri. Di sini juga aku mulai mengenal dunia baru. Tahun pertama kuliah merupakan tahun duka untukku. Ibu meninggalkanku selamanya. Membuat aku terpuruk. Jatuh. Dan kehilangan penyemangat hidup. Beruntung aku terdampar dalam dunia jurnalis. Kegiatan itu memaksaku untuk mengenal banyak tempat dan banyak menghabiskan waktu dengan travelling. Aku juga dituntut untuk peka terhadap fenomena sekitar. Berita yang biasa, ku tulis dengan bahasa yang mampu membuat pembaca terkesima. Lelah, namun aku menikmatinya. Pikiranku tentang Ibu mulai terkikis oleh doa yang selalu aku panjatkan setiap hari. Hanya doa yang menjadi penghubung kedekatan aku dan Ibu.

Aku menamatkan kuliahku dengan predikat terbaik dan tercepat. Sesuai dambaan Mama. Aku buktikan pada semua bahwa aku bisa. Aku lebih dari mereka. Aku tak berbeda. Meski hari dimana aku di wisuda Mama tak ada di sampingku. Mama hanya mendengar dari kejauhan tentang keberhasilanku. Tapi Mama. Ia tak henti membanggakanku atas pencapaianku.

Tak lama setelah hari wisudaku, aku mendapat pekerjaan sementara. Sementara? Ya, karena aku masih mencari. Mencari tempat dimana aku bisa berada dekat dengan calon Imamku. Calon Imam? Dia lelaki yang aku kenal di masa magang saat aku masih kuliah. Dia mengajakku menikah dan aku meng-iyakannya. Dalam hatiku bertekad bulat, aku ingin segera menghalalkan hubungan ini. Meski berarti, aku harus memupuskan impianku menjadi wanita karir dan masuk perusahaan besar yang lama aku idamkan. Tapi entahlah. Sisi lain hatiku mengatakan berbeda. Haruskah aku lari dari nuraniku?

Aku mendapatkannya. Bekerja di perusahaan swasta yang berbasis asuransi. Sudah tiga bulan lebih aku menekuninya. Taukah? Aku merasa tak nyaman dengan pekerjaanku itu. Selain menjadi karyawan termuda, aku juga banyak dipasangkan dengan beberapa pemuda di kantorku. Beberapa atasanku juga merekomendasikan putra mereka. Aku lelah. Belum lagi tuntutan pekerjaan yang memaksaku harus berpakaian menarik untuk mengambil simpati klien-klienku di luar.

Pakaian yang match, dandanan yang super kece, make-up yang menarik belum lagi bagaimana mengatur suara dan sikap dihadapan klien-klienku yang kebanyakan petinggi di suatu instansi ataupun perusahaan.

Aku tak tahan lagi! Aku tak bisa melanjutkan pekerjaan ini. Gaji besar dan mendapat kehormatan di kantor ternyata tak menjamin aku menikmati pekerjaanku. Bukan kemewahan yang ku kejar. Namun berkah dibalik pekerjaan.

Hari itu juga aku putuskan resign dari kantorku. Kembali menjadi Job Hunting.

Setelah satu bulan menunggu, angin segar menyapa senjaku yang syahdu. Aku mendapat panggilan itu. Pekerjaan baru menungguku. Bismillah..

Pekerjaanku kali ini jauh berbeda dengan pekerjaan-pekerjaanku sebelumnya. Aku bekerja sebagai pegawai Non-PNS di suatu instansi pemerintah di bawah naungan kantor Gubernur Jawa Tengah. Puji Syukur kali ini pekerjaanku tidaklah sulit. Di bulan-bulan pertamaku, aku diajak berkunjung ke beberapa daerah di Jawa Tengah. Melihat potensi inovasi daerah dan perkembangan daerah yang bisa memajukan perekonomian masyarakat. Senang rasanya. Bisa berbaur dengan masyarakat luas. Memberi bantuan berupa alat dan kelengkapan yang masyarakat butuhkan.

Kadang rasa haru menyerbu mana kala aku diterjunkan ke plosok daerah yang masih memiliki pendidikan dan taraf perekonomian rendah. Mereka menyambutku dan rekan-rekan seolah melihat dewi fortuna yang akan mewujudkan mimpi mereka. Raut yang masih polos oleh minimnya pengetahuan yang mereka dapatkan.

Pekerjaanku. Aku bersyukur berada di tempat ini. Rekan-rekan kerja yang saling mendukung dan menghargai. Saling menopang dan menguatkan. Walaupun silih berganti satu persatu teman seperjuanganku dari awal bekerja di sini mengundurkan diri. Pekerjaan yang lebih menarik memaksa mereka meninggalkan kantor ini. Ada pula yang memilih melanjutkan studi s2 sesuai mimpi mereka. Hingga akhirnya, banyak wajah-wajah baru menggantikan mereka. Aku sendiri merupakan pemain lama. Penghuni tertua di Tim Non-PNS ini. Meski kenyataannya usiaku jauh lebih muda dari mereka semua. Tak masalah bukan?

Enam bulan sudah aku berada di kantor ini. Belajar banyak hal dan telah mengelilingi desa dan kota di Jawa Tengah. Suatu pencapaian yang menarik di usiaku yang ke-22 ini.

Aku menjadi ketua Tim dengan enam anggota. Mereka rekan kerjaku yang menyenangkan. Dua wanita dan empat lelaki. Semua berjalan kompak dan saling mengisi. Belum lagi atasanku. Meskipun dimata teman-teman dia sosok yang menakutkan, namun aku bisa berbaur dengannya. Mencoba untuk sama rasa dan kata. Karna aku benci perselisihan. Aku tak menyukai jarak antara atasan dengan bawahan. Dan stright! Aku bisa melakukannya.

Hari ke tujuh, bulan ke dua di tahun ke 14 pada abad 20. Aku mempersiapkannya dengan cepat. Tentu dengan cerdas juga. Aku telah memutuskan semuanya. Aku tak ingin menambah beban dosa. Aku meng-iyakan ajakannya. Memutuskan untuk memberanikan diri melepas masa lajangku. Menikah.

Dan hari ini, aku masih menatap di dinding cermin. Masih tertegun menatap sosok yang berdiri tegak dengan gaun putih menjuntai di kakinya. Selamat datang sayang, selamat datang di duniamu yang baru. Status baru. Dan tanggung jawab baru. Tuhan mengabulkan doamu sayang. Maka tersenyumlah”. Aku mengikuti nurani. Tersenyum sampul dan memutar-mutar badanku di depan cermin. Aku bahagia.

“Ra.. Ayo bersiap. Pengantin laki-lakinya sudah di jemput Om dan Keluarga. Ayo keluar”.
Eh, ohh ya, tante. Ara keluar sekarang”. Kataku sedikit gugup.

Aku menghambur keluar kamar. Mengikuti langkah tante menuju halaman depan. Menyambut calon imamku yang lama ku nantikan. Hatiku berdebar kencang. Beruntung tante tak berhenti mengajakku bicara.

Pandanganku beralih pada sosok yang berdiri beberapa meter dihadapanku. Seorang pria yang mulai renta. Mengenakan hem biru muda dan celana gelap. Kacamata tak lepas dari matanya. Tubuhnya tak tinggi. Cenderung kegemukan di bagian perut. Ada gurat lelah di matanya. Membuatnya tampak hitam di area keliling mata. Mata panda. Ya, seperti itu. Pria itu Papaku.

Orang bilang kami mirip. Tapi lama aku bercermin tak jua ku temukan kemiripan itu. Aku tak mirip Mama, tak jua Papa. Entahlah, mungkin aku memang terlahir sendiri. Atau memang beberapa bagian di wajahku merupakan kombinasi wajah Papa dan Mama.

“Ra, itu rombongan sudah datang,” Tante menyadarkan lamunanku. Tangannya menunjuk ke arah jalan yang kini diiringi rombongan dengan membawa seserahan. Aku mencarinya. Mata ini mencari sosoknya.

Dia mengenakan baju putih. Senada dengan baju yang aku kenakan. Pecis di kepalanya membuat dia tampak gagah. Ditambah lilitan jarit yang melilit di pinggangnya. Sempurna.

Bersyukur, apa yang aku dambakan tercapai. Sebuah pernikahan sederhana dengan sosok yang memang aku cintai. 

Tubuhnya semakin mendekat ke arahku. Setelah berlempar sambutan dari wakil mempelai pria maupun dari pihakku, lelaki itu kembali berjalan mengikuti arahan pendampingnya. Kali ini dia berjalan menuju wali perempuanku. Ya, ibu tiriku. Ibu mengalungkan melati di lehernya. Memberinya restu untuk menikahiku. Lelaki itu mencium punggung tangannya. Dan merapat ke arahku.

Kita berjalan beriringan menuju tempat penentuan. Penentuan dimana jiwa ragaku ia tebus dengan kalimat “Ijab” dan “Qobul” nya. Dan ku serahkan dengan ikhlas seluruh hidupku kepadanya. Keluargaku dan keluarganya menjadi saksi setiap langkah dan kata yang terucap dari bibirnya. Lega. Hanya itu yang mampu ku rasa. Meski aku kehilangan kata “sakral” yang seharusnya bisa ku rasakan. Ketidak hadiran Mama dan perkenalanku dengan orang-orang asing di sekitarku membuat aku tak bisa fokus kedalam moment besar ini.

Berbicara tentang Ijab Qobul. Aku ingat. Dulu aku pernah mengikuti satu kajian bersama Umi dan Abah dalam suatu majlis di kota Gudeg. Umi adalah adik kandung Mama yang amat dekat denganku. Hingga aku memanggilnya “Umi” atau Ibu. Sedang Abah adalah pamanku yang juga ku anggap ayahku sendiri. Mereka amat religious. Aku belajar banyak hal dari mereka. Terlebih soal pendidikan dan agama.

Hari itu tema kajian bertajuk “Pernikahan”. Ada seseorang yang bertanya dalam majlis. “Ustad, sebenarnya apa makna Ijab dan Qobul itu? Sampai-sampai kalimat Ijab Qobul saat pernikahan dianggap sebagai sebuah janji sakral sang Suami terhadap Istri?”. Aku menyimak. Meski saat itu usiaku belum genap 18 tahun. Ya, dulu aku masih tertarik untuk menikah muda. Tepat sebelum masa kuliahku.

Kala itu, banyak sekali yang bertanya di Majlis itu. Namun, entah mengapa hanya satu pertanyaan itu yang membuat aku penasaran untuk segera mendengar jawabannya. Setelah sesi tanya jawab selesai dan pemandu acara mempersilakan sang Ustad untuk menjawab satu persatu pertanyaan yang datang. Aku mulai menyimak. Hanya pada satu pertanyaan tadi. Dan inilah jawabannya.

“Makna Ijab Qobul adalah –aku terima nikahnya si dia binti ayah si dia dengan mas kawinnya -“. Masih menyimak. Ustad melanjutkan. “Singkat bukan? Namun tahukah makna dibalik kalimat tersebut?,” Hening. Kata demi kata yang mengalir dari bibir sang Ustad menajamkan telinga mereka. Seolah tak ingin satu katapun terlewat.

“Maka aku tanggung dosa-dosannya dari Ayah dan Ibunya, dosa apa saja yang telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan sholat. Semua yang berhubungan dengannya, aku tanggung dan bukan lagi orang tuannya yang menanggung. Serta akan ku tanggung semua dosa calon anak-anakku”. Aku melihat sekeliling. Semua masih khusu’ mendengarkan. Ada yang menunduk, menatap kosong kearah Ustad, menangis, dan beberapa hanyut dalam kesakralannya sendiri. Tertidur.

Aku melihat Umi yang tampak mencatat petuah sang Ustad. Matanya serius mengarah pada pena dan kertas di tangannya. Umi memang selalu cekatan dalam menyerap ilmu. Tentunya ilmu itu tak berhenti pada dirinya. Ia akan mengajarkannya kembali ke forum-forum kajian kecil dengan kelompoknya. Ah Umi. Dia selalu membuat ku termotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. J

Pandanganku kembali mengarah pada sang Ustad. Dia masih melanjutkan.

“Dan jika aku gagal? Maka aku adalah suami yang fasik dan ingkar. Maka aku rela masuk neraka. Aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku”. Aku merinding. Ternyata ada makna besar terselip di sana. Beberapa orang terlihat mendongak karena terbawa oleh kalimat akhir sang Ustad. “Itu persis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim pada hadis Sohih kan Mi?,” tanya salah seorang disamping Umi sambil berbisik. Umi mengangguk tenang sambil terus mencatat. Aku kembali menyimak.

“Oleh karnanya, jadilah seorang wanita yang mampu menjadi istri sholehah. Dan jadilah guru terbaik untuk anak-anak kalian. Dan untuk kaum Pria, jadilah Suami yang dapat menjadi kholifah untuk keluarga. Seorang pemimpin yang akan membawa keluarga ke Jalan lurus yang senantiasa di Ridhoi Alloh SWT. Jadilah keluarga Sakinah (kedamaian/ketentraman), Mawaddah (cinta dan harapan), Warrohmah (kasih sayang)! Amin”.

Suara –amin- yang diikuti oleh jamaah membuyarkan lamunanku.

Sekarang aku berada pada posisi itu. Berada pada masa persisihan menjadi seorang Istri dari lelaki yang ku harapkan.

Apa bisa aku menjadi Istri sesempurna Siti Khadijah yang selalu membela Nabi dikala suka dan duka? Apa bisa aku menjadi seorang Istri selembut Fatimah yang setia menemani Ali dimasa-masa sulitnya? Apa aku bisa se ikhlas Siti Aisah yang rela berbagi suami dengan Istri-Istri Nabi lainnya? Alloh, maka jadikan aku sebagai hamba yang hidup dijalan yang benar bersama Suamiku. Dia yang bukan Nabi, bukan Dewa atau Raja. Lelaki biasa yang akan ku suguhkan cinta yang sempurna setiap harinya. Meski aku tak sempurna, Alloh. Persatukanlah kami dan jangan Engkau pisahkan kami seperti Engkau pisahkan orangtua hamba.

Aku tersenyum getir bercampur gundah. Acara Ijab Qobul terasa mendebarkan. Aku takut lelaki disampingku tak bisa mengucap dengan lancar setiap kata dalam Ijab Qobul ini. Takut manakala dia tak hafal nama panjangku yang memang sedikit susah untuk di lafalkan. Takut manakala ia terlupa mengecap salah satu hurufnya.

Tangan itu mulai diulurkan. Penghulu menjabat erat telapak tangannya. Wajahnya tegang. Aku menunduk. “Saudara siap?” ujar lelaki yang tampak renta dengan peci hitam di kepalanya. Lelaki di sebelahku mengangguk mantap. “Baiklah, mari kita mulai,” lanjutnya. Penghulu itu memulai doa-doa pembuka sebelum mengucapkan kalimat ‘penyerahan’. Dan Ijab Qobul pun dilaksanakan. 

Aku tertunduk. Sedikit gerogi melihat lelaki disampingku dengan wajah kaku mengucapkan kata demi kata sakral yang mengalir dengan lancar. “Sah?” Ucap Penghulu kemudian. “Saaaaaah!” Para saksi dan keluarga yang hadir turut mengucap dengan tawa bahagia. “Alhamdulillah..” Serentak semua menutup dengan bahagia. Pun demikian denganku. Lelaki disampingku, kini sudah resmi menjadi Suamiku. Sungguh ini seperti mimpi!

Dia memasangkan cincin di jari manis kananku. Demikian sebaliknya. Dia serahkan mas kawin ala kadarnya. Ku kecup penuh kasih tangannya. Dia mencium keningku dengan mesra. Adegan demi adegan seolah menjadi potret indah dalam hidupku. Meski aku tak tahu setelah ini harus bagaimana dan seperti apa. Meski aku tak bisa belajar dari orang tua layaknya seorang anak yang belajar pada Ibundanya. Namun aku yakin, Alloh akan selalu menuntunku. Menuntunku untuk berjalan pada kebaikan. Meraih Ridhonya dan membahagiakan semuanya.

Hari itupun di tutup dengan foto bersama dan ramah tamah saudara-saudara. Sore harinya, aku pulang ke rumah Papa di kampung yang berbeda. Menginap semalam dan pagi hari kembali menuju tempat dimana kami masing-masing bekerja. Aku di kota Atlas, dan Suamiku di kota Kretek.

Paska pernikahanku, aku bisa tersenyum lega. Tuhan selalu menunjukkan arah terbaik untuk hidupku. Bahkan di musim hujan yang sebelumnya tak pernah berhenti hingga membanjiri kota Mangga ini. Tuhan menunjukkan jalan-Nya. Jum’at Barokah. Hari dimana pernikahanku diselenggarakan, Hujan sama sekali tak mengguyur bumi ini. Tuhan melancarakan semuanya. Niat baik kita. Masa depan kita. Alhamdulillah J

Aku kembali bekerja. Suami pun demikian. Kehidupan kami berjalan sebagaimana biasanya. Hanya saja, kini aku memiliki tanggung jawab baru sebagai seorang Istri. Melayaninya sudah menjadi kewajiban untukku. Kita menjalani semua dari awal. Dari hidup di kamar kost ukuran 3x4 di kota Atlas, yang mengharuskan Suamiku pulang 2 kali sehari karena bekerja di kota yang berbeda denganku. Membuatkan minuman hangat saat pagi sebelum Suamiku berangkat bekerja dan menawarkannya selepas ia bekerja. Mencuci pakaian dan kemejanya. Merencanakan masa depan. Hingga kehidupan di hari tua. Menyenangkan.

Tak ada tahta, harta atau semacamnya. Aku menikmati hidup yang cukup. Dimana aku bisa berbagi dengan sesama. Menjadi wanita yang tetap berbakti kepada orangtua dan kini bertambah mertuaku. Menjadi Istri sholehah untuk suamiku. Menjaga sholat wajibku dan sebagai pemanis Dhuha dan puasa Sunnahku. Dan kelak, ingin menjadi seorang Ibu teladan untuk putra putriku. Amin J

“Menikah membawa berkah”. Aku akui, aku menyesal telah berzina kecil dan besar dengan aku berpacaran. Aku menyesal. Aku bertaubat. Meski aku tak pernah tahu bagaimana cara bertaubat. Semua kulakukan dengan caraku sendiri. Selalu berbenah diri dan lebih peka dengan sekitar. Beruntung sekali. Aku bersyukur Alloh memberi waktu untukku sadari semua khilafku. Seandainya bisa, aku ingin menjadi Ibu kedua setelah Ibu yang membesarkanku dengan Asah, Asih dan Asuhnya. Menjadi Mama kedua setelah Mama yang tegar dan mengajarkanku nilai perjuangan hidup dan kesetiaan. Menjadi sosok Umi kedua setelah Umi yang mengajarkanku istiqomah terhadap banyak hal.

Aku bukan Siti Khodijah, Fatimah, atau Siti Aisah. Aku manusia biasa yang ingin selalu berbenah diri menjadi khalifah untuk diri sendiri. Dimulai hari ini. Detik ini. Seandainya bisa, aku ingin berhijab seutuhnya. Kembali pada garis yang Alloh Ridhoi. Aku ingin pulang dalam keadaan suci. Seperti terlahir kembali.

Sayangku, Suamiku, belahan jiwaku. Jadilah pemimpin yang amanah dan jadikan pernikahan ini ladang ibadah untuk kita. Bismillah.. 

-The End-

_Mrs. Dy

up