Pagi ini aku duduk termangu di serambi rumah.
Menatap pada tanah yang basah. Apa yang terjadi? Hujan tak turun malam tadi.
Juga pagi ini. Aku bertanya pada tanah.
“Wahai tanah, mengapa kau basah? Sedangkan,
hujan tak mengguyurmu”. Tanah mendongak ke atas. Melihatku yang masih
menatapnya heran. Dia berkata.
“Embun. Badanku basah oleh titik-titik air dari atas sana”. Tanah menunjuk kepada sebuah pohon rimbun yang memayunginya. “Air dari pucuk-pucuk daun itu yang membasahiku. Namanya Embun,” ujar Tanah menambahkan. Aku mengangguk mengerti. Pandanganku beralih kepada embun. Lekat-lekat aku menetap butiran air yang mengendap di pucuk-pucuk daun. Bersih. Seperti bola kristal. Tubuhnya berkilau-kilau di terpa mentari pagi. Indah.
“Embun. Badanku basah oleh titik-titik air dari atas sana”. Tanah menunjuk kepada sebuah pohon rimbun yang memayunginya. “Air dari pucuk-pucuk daun itu yang membasahiku. Namanya Embun,” ujar Tanah menambahkan. Aku mengangguk mengerti. Pandanganku beralih kepada embun. Lekat-lekat aku menetap butiran air yang mengendap di pucuk-pucuk daun. Bersih. Seperti bola kristal. Tubuhnya berkilau-kilau di terpa mentari pagi. Indah.
Aku mengamatinya lebih dekat. Mencari jawaban
atas apa yang aku lihat. Aku bertanya.
“Wahai Embun, mengapa engkau sebening itu?”.
Embun mengembangkan senyumnya. Cantik. Dia menatap balik wajahku yang tampak
keheranan.
“Ah, kamu manusia. Seperti tak pernah mengenalku saja,” ujar embun
kemudian. Dia mengalihkan pandangannya ke atas sana. Langit.
“Jujur saja baru
pernah aku mengamatimu sedekat ini. Dan entah mengapa aku menjadi
bertanya-tanya atas keberadaanmu”. Embun terkekeh, aku hanya terdiam menunggu
jawabannya.
“Baiklah, setidakknya aku senang. Ternyata masih ada manusia yang
perduli pada alam yang mulai berantakan”. Aku tak mengerti maksud Embun. Tak
berniat untuk memberi komentar atas pernyataannya. Embun melanjutkan. “Lihatlah
aku lebih dekat. Tuhan menciptakanku dengan sempurna. Meski tak sesempurna
kalian manusia. Pada akhirnya aku harus jatuh dan membasahi tanah di bawahku”.
Keningku berkerut. Aku merasa kalimatnya tidak menjawab pertanyaanku. Sedikit
kesal ku ulangi pertanyaanku.
“Jadi, mengapa engkau sebening itu Embun?”. Embun
tersenyum. Dia melihat gelagat kesalku dan segera menjawabnya.
“Karena setiap
pagi aku terlahir kembali,” ujarnya ringan. Aku menggaruk kepalaku yang tak
gatal. Berusaha mencerna apa yang dikatakan Embun.
“Maksudnya?,” tanyaku lagi.
Embun mendekat. Mencoba bersahabat denganku dan menjawab pertanyaanku.
“Begini,
oksigen yang ada di dalam pohon ini setiap malam akan berubah menjadi karbondioksida
untuk dibuang racun dan kotorannya. Dan setiap pagi oksigen di dalam pohon ini
kembali bersih. Aku adalah salah satu bentuk penguapan dari oksigen itu. Setiap
hari aku terlahir kembali menjadi butir air yang bersih dan suci,” kata Embun
menjelaskan. Mataku berbinar tak berkedip. Kagum. Mungkin aku gila. Aku berguru
pada alam yang mengajakku bicara.
“Oohh..” Hanya satu kata yang bisa keluar
dari mulutku.
“Begitulah. Seperti itu juga yang aku harapkan pada setiap
manusia. Seharusnya setiap orang dapat memaafkan kesalahan orang lain sebelum
hari berganti, melupakan kesalahan orang lain dan menganggap setiap masalah
sebagai ujian diri. Manusia diciptakan lebih sempurna dari pada setetes embun.
Bukankah bukan hal yang mustahil manakala ia memiliki hati yang lebih lapang
untuk terlahir suci setiap harinya?”. Aku menggeleng,
“Caranya?,” ujarku sambil
menggigit ujung bibirku. Sakit.
“Saling memaafkan dan jadilah pemaaf,” ujarnya
singkat. Aku mengangguk mengerti. Mencoba mencerna ucapan Embun. Embun
melanjutkan. “Ketika engkau bisa memaafkan orang lain, dan mengucapkan kata
maaf ketika engkau bersalah, bukankah kau akan menjadi pribadi baru setiap
harinya? Kau akan terlahir kembali setiap pagi datang”. Embun kembali terkekeh
melihat keningku berkerut. Sedetik kemudian aku mengangguk meng-iyakan.
“Betul
juga. Kau benar Embun,” ucapku singkat.
“Jadi, sudahkan engkau memaafkan setiap kesalahan orang-orang disekitarmu, dan bersiap menjadi pribadi baru hari ini?”. Aku hanya diam. Merasa tertohok dengan pertanyaan Embun. Aku menggeleng pelan dan berkata.
“Jadi, sudahkan engkau memaafkan setiap kesalahan orang-orang disekitarmu, dan bersiap menjadi pribadi baru hari ini?”. Aku hanya diam. Merasa tertohok dengan pertanyaan Embun. Aku menggeleng pelan dan berkata.
“Entahlah! Kadang ada saja satu dua hal yang membuat kita tidak
bisa begitu saja memaafkan kesalahan orang lain. Bisa jadi orang itu membuat
kesalahan yang amat jauh menyentuh perasaan kita. Pasti butuh waktu untuk
sekedar mengucap maaf atau memberi maaf”. Aku tertunduk lesu. Merasa malu pada
sang Embun yang pemaaf. Merasa terlalu egois untuk sekedar mengucap kata maaf.
Embun mengerti perasaanku. Diam-diam dia menjatuhkan dirinya diatas jemariku.
“Lihatlah aku lebih dekat. Lebih dalam. Karena setelah ini aku akan jatuh ke
tanah dan menghilang. “Memaafkan adalah memberi sedikit ruang pada rasa benci.
Jika engkau ingin menjadi orang yang merugi hari ini, hiduplah dengan egomu.
Namun, jika engkau memilih menjadi pribadi baru, ucapkan kata maaf dan maafkanlah
kesalahan orang-orang disekitarmu.” Aku tersenyum menatap embun yang mulai
meleleh di ujung jariku. Dengan sedikit terbata dia menambahkan. “Percayalah.
Memaafkan dan mengucap kata maaf akan membuat hatimu lapang dan lega”. Aku
mengangguk meyakini dan tersenyum.
“Aku percaya Embun. Aku akan memaafkan orang
lain dan menjadi pribadi baru setiap harinya. Terimakasih telah membuatku
belajar”. Embun membalas senyumanku. Dan menetes ke tanah dengan perasaan lega.
Aku mengantar kepergiannya.
0 komentar:
Posting Komentar