Renungan Part VII : "Belajar Pada Embun"

Pagi ini aku duduk termangu di serambi rumah. Menatap pada tanah yang basah. Apa yang terjadi? Hujan tak turun malam tadi. Juga pagi ini. Aku bertanya pada tanah.

“Wahai tanah, mengapa kau basah? Sedangkan, hujan tak mengguyurmu”. Tanah mendongak ke atas. Melihatku yang masih menatapnya heran. Dia berkata. 

“Embun. Badanku basah oleh titik-titik air dari atas sana”. Tanah menunjuk kepada sebuah pohon rimbun yang memayunginya. “Air dari pucuk-pucuk daun itu yang membasahiku. Namanya Embun,” ujar Tanah menambahkan. Aku mengangguk mengerti. Pandanganku beralih kepada embun. Lekat-lekat aku menetap butiran air yang mengendap di pucuk-pucuk daun. Bersih. Seperti bola kristal. Tubuhnya berkilau-kilau di terpa mentari pagi. Indah.

Aku mengamatinya lebih dekat. Mencari jawaban atas apa yang aku lihat. Aku bertanya.

“Wahai Embun, mengapa engkau sebening itu?”. Embun mengembangkan senyumnya. Cantik. Dia menatap balik wajahku yang tampak keheranan. 

“Ah, kamu manusia. Seperti tak pernah mengenalku saja,” ujar embun kemudian. Dia mengalihkan pandangannya ke atas sana. Langit. 

“Jujur saja baru pernah aku mengamatimu sedekat ini. Dan entah mengapa aku menjadi bertanya-tanya atas keberadaanmu”. Embun terkekeh, aku hanya terdiam menunggu jawabannya. 

“Baiklah, setidakknya aku senang. Ternyata masih ada manusia yang perduli pada alam yang mulai berantakan”. Aku tak mengerti maksud Embun. Tak berniat untuk memberi komentar atas pernyataannya. Embun melanjutkan. “Lihatlah aku lebih dekat. Tuhan menciptakanku dengan sempurna. Meski tak sesempurna kalian manusia. Pada akhirnya aku harus jatuh dan membasahi tanah di bawahku”. Keningku berkerut. Aku merasa kalimatnya tidak menjawab pertanyaanku. Sedikit kesal ku ulangi pertanyaanku. 

“Jadi, mengapa engkau sebening itu Embun?”. Embun tersenyum. Dia melihat gelagat kesalku dan segera menjawabnya. 

“Karena setiap pagi aku terlahir kembali,” ujarnya ringan. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Berusaha mencerna apa yang dikatakan Embun. 

“Maksudnya?,” tanyaku lagi. Embun mendekat. Mencoba bersahabat denganku dan menjawab pertanyaanku. 

“Begini, oksigen yang ada di dalam pohon ini setiap malam akan berubah menjadi karbondioksida untuk dibuang racun dan kotorannya. Dan setiap pagi oksigen di dalam pohon ini kembali bersih. Aku adalah salah satu bentuk penguapan dari oksigen itu. Setiap hari aku terlahir kembali menjadi butir air yang bersih dan suci,” kata Embun menjelaskan. Mataku berbinar tak berkedip. Kagum. Mungkin aku gila. Aku berguru pada alam yang mengajakku bicara. 

“Oohh..” Hanya satu kata yang bisa keluar dari mulutku. 

“Begitulah. Seperti itu juga yang aku harapkan pada setiap manusia. Seharusnya setiap orang dapat memaafkan kesalahan orang lain sebelum hari berganti, melupakan kesalahan orang lain dan menganggap setiap masalah sebagai ujian diri. Manusia diciptakan lebih sempurna dari pada setetes embun. Bukankah bukan hal yang mustahil manakala ia memiliki hati yang lebih lapang untuk terlahir suci setiap harinya?”. Aku menggeleng, 

“Caranya?,” ujarku sambil menggigit ujung bibirku. Sakit. 

“Saling memaafkan dan jadilah pemaaf,” ujarnya singkat. Aku mengangguk mengerti. Mencoba mencerna ucapan Embun. Embun melanjutkan. “Ketika engkau bisa memaafkan orang lain, dan mengucapkan kata maaf ketika engkau bersalah, bukankah kau akan menjadi pribadi baru setiap harinya? Kau akan terlahir kembali setiap pagi datang”. Embun kembali terkekeh melihat keningku berkerut. Sedetik kemudian aku mengangguk meng-iyakan. 

“Betul juga. Kau benar Embun,” ucapku singkat. 

“Jadi, sudahkan engkau memaafkan setiap kesalahan orang-orang disekitarmu, dan bersiap menjadi pribadi baru hari ini?”. Aku hanya diam. Merasa tertohok dengan pertanyaan Embun. Aku menggeleng pelan dan berkata. 

“Entahlah! Kadang ada saja satu dua hal yang membuat kita tidak bisa begitu saja memaafkan kesalahan orang lain. Bisa jadi orang itu membuat kesalahan yang amat jauh menyentuh perasaan kita. Pasti butuh waktu untuk sekedar mengucap maaf atau memberi maaf”. Aku tertunduk lesu. Merasa malu pada sang Embun yang pemaaf. Merasa terlalu egois untuk sekedar mengucap kata maaf. Embun mengerti perasaanku. Diam-diam dia menjatuhkan dirinya diatas jemariku. 

“Lihatlah aku lebih dekat. Lebih dalam. Karena setelah ini aku akan jatuh ke tanah dan menghilang. “Memaafkan adalah memberi sedikit ruang pada rasa benci. Jika engkau ingin menjadi orang yang merugi hari ini, hiduplah dengan egomu. Namun, jika engkau memilih menjadi pribadi baru, ucapkan kata maaf dan maafkanlah kesalahan orang-orang disekitarmu.” Aku tersenyum menatap embun yang mulai meleleh di ujung jariku. Dengan sedikit terbata dia menambahkan. “Percayalah. Memaafkan dan mengucap kata maaf akan membuat hatimu lapang dan lega”. Aku mengangguk meyakini dan tersenyum. 

“Aku percaya Embun. Aku akan memaafkan orang lain dan menjadi pribadi baru setiap harinya. Terimakasih telah membuatku belajar”. Embun membalas senyumanku. Dan menetes ke tanah dengan perasaan lega. Aku mengantar kepergiannya. 

-Belajarlah menjadi "Pemaaf" dari sang embun- 

0 komentar:

Posting Komentar


up