“Mama, Ara ingin menikah,”
kata-kata itu begitu saja meluncur dari mulutku. Aku tak berani menatap
kearahnya. Sementara wanita itu menatap lurus kearahku. Tanpa suara. Membisu.
Diam.
“Maaf ma, tapi Ara
sungguh-sungguh ingin menikah,” ku ulangi dengan mantap kalimat yang tadi hanya
menjadi angin lalu. Kali ini sedikit ku beranikan diri untuk menoleh kearahnya.
Dia masih bungkam. Tatapannya kosong. Hampa. Tak bergeming.
“Siapa Ra? Siapa lelaki beruntung
itu?,” Mama mendekat kearahku. Tanganku bergetar gerogi. Masih terus menatap layar komputer yang terkekeh
menertawakanku. Setengah melotot canggung
ku genggam mouse yang terus mengedipkan cahayanya. Memantulkan sinarnya
kearahku. Mungkin saat ini wajahku pucat pasi. Atau... ah, aku tak bisa
menggambarkannya.
Perlahan Mama menepuk bahuku.
Mengusapnya lembut dan membisikkan satu kalimat. “Are you sure?,” aku tersenyum simpul dan mengangguk pelan.
Mama. Dia pasti tau siapa orang
yang aku maksud. Mama hanya bercanda dengan pertanyaannya. Setidaknya aku tak perlu
menyebutkan nama yang sama. Prisma.
Sebulan kemudian orang tua Prisma
melamarku. Aku mengenakan gaun panjang sederhana berwarna tosca yang kupadukan
dengan pasmina untuk menutup kepalaku. Aku tertunduk malu-malu. Ada getar
tertambat di ujung jemariku. Membuatnya bergetar lembut. Lalu cepat-cepat ku
satukan dengan jemariku yang lain agar tak terlalu tampak. Pipiku semakin
merona saat mata ku dan mata Prisma bertemu. Teduh. Menghangatkan. Dan kuantar mereka
hingga ke daun pintu rumahku saat posesi lamaran berakhir. Mereka akan menjadi
keluargaku.
Hari dan tanggal telah di
tentukan. Bagiku tak masalah kami akan menikah di tanggal berapapun. Asalkan
hari Jum’at. Entah alasan apa aku terlalu menyukai hari itu. Jum’at Agung.
Jum’at Barokah. Jum’at hari lahirku. Jum’at... ah, aku menginginkannya.
Hari yang dinanti berlari dengan
cepat. Ya, karena hari dimana aku ijab
qobul dengan hari lamaranku kemarin hanya berjarak 15 hari. Setengah bulan.
Orang tuanya bilang “Semakin cepat semakin baik”. Aku hanya mengangguk tanpa
mengiyakan.
Dalam waktu setengah bulan itu, ku
persiapkan semuanya. Gaun pernikahan, konsep pernikahan, dan tentu bulan madu
setelah pernikahan. J
Innamal
a’malu bin niah. Bersyukur semua dilancarkan.
Hingga hari H, mulai dari posesi
ijab qobul, siraman, hingga resepsi pernikahan berjalan lancar. Aku terisak
hebat dipangkuan mama. Ya, karena hanya mama yang aku punya. Papa sudah
terlebih dahulu meninggalkan kami. Entah kemana. Aku sudah berusaha mencarinya.
Sia-sia.
Ku kecup tangannya berulang kali
sambil berucap “Maaf atas salah dan dosa selama ini Ma. Terimakasih telah
menjadikan Ara seperti sekarang ini. Sampai kapanpun Ara sayang Mama.
Terimakasih telah mengizinkan Ara untuk menyempurnakan separuh agama Ara,” Ku
peluk erat tubuhnya. Ku ciumi kening dan pipinya. Mama menangis. Baru kali ini
kulihat air mata membanjiri lekuk wajahnya yang masih tampak muda. Mama yang
kuat. Mama yang tegar. Mama yang selalu menjadi tameng pelindung hidupku. Dan
sekarang mata itu berair. Ia menangis. Mengangguk angguk
dibalik punggungku tanpa suara. Hanya air hangat yang kurasakan terus merembes
di punggungku. Ia mengusap punggungku dan membalas mengecup kening dan pipiku.
Hari ini mama. Aku telah resmi menjadi
milik orang lain. Seorang pria yang aku harap bisa menjadi imam hingga ajal
menjemputku. Menjadi penggantimu untuk menjagaku. Meski aku tau, tak ada yang
sesempurna Mama menjagaku. Tak ada yang semengerti Mama mendampingiku. Kasih
sayang Mama tak ada bandingannya. Tapi Mama, setidaknya lelaki ini akan
bertanggung jawab untuk hari-hari kedepanku.
Lelaki ini. Lelaki yang
menikahiku ini adalah seorang lelaki yang akan menikahiku kembali diakhirat
nanti.
Maka, Ridhoi dan restui kami
selalu Mama. Karena Tuhan meridhoi apa yang Mama ridhoi. Aku sayang Mama.
_Mrs. Dy
0 komentar:
Posting Komentar