Artikel : ‘NANGGAP’ WAYANG LEWAT FACEBOOK DAN TWITTER

(Re-branding wayang kepada generasi muda)

Oleh : Drara Novia D.A *)

Wayang telah dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Saat itu, masyarakat Indonesia masih memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Akan tetapi, wayang sebagai bentuk seni tradisional Indonesia, baru dikembangkan beberapa abad kemudian, terutama Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang inilah yang kemudian diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003 sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Dalam pementasan wayang, dikenal ada beberapa model yaitu wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang dikenal sebagai wayang orang, dan wayang yang berupa sekumpulan boneka yang dimainkan oleh dalang yakni wayang kulit atau wayang golek. Pada umumnya cerita wayang diambil dari kisah Mahabharata dan Ramayana yang aslinya berasal dari India, kemudian masuk ke Nusantara seiring penyebaran agama Hindu.

Wayang merupakan salah satu identitas bangsa. Sebagai identitas bangsa, wayang harus terus dijaga keaslian maupun kepemilikannya agar tidak dapat diakui oleh negara lain. Tugas utama yang harus dibenahi adalah bagaimana mempertahankan, melestarikan, menjaga, serta mewarisi budaya lokal dengan sebaik-baiknya agar dapat memperkokoh budaya bangsa yang akan megharumkan nama Indonesia.

Setelah sekian lama menjadi bagian kebudayaan kita, muncul pertanyaan, masihkah wayang dikenali generasi muda kita? Kenyataannya, ketika mendengar kata wayang, banyak generasi muda yang memandang bahwa wayang merupakan sebuah pertunjukan seni yang membosankan. Hal tersebut merupakan salah satu dampak dari munculnya era global.
Era global adalah era dimana tidak ada lagi batasan-batasan antara satu benua dengan benua lain, satu negara dengan negara lain, satu pulau dengan pulau lain. Teknologi komunikasi menjamin setiap orang dapat berhubungan dengan orang lain di belahan dunia lain, seperti keduanya sedang berhadap-hadapan. Berita-berita dan peristiwa-peristiwa hanya butuh beberapa detik untuk sampai ke seluruh pelosok planet ini. Sehingga apa yang kita miliki, apa yang mereka miliki, semua berebut pengaruh.

Pengaruh globalisasi terhadap sosial budaya adalah masuknya nilai-nilai dari peradaban lain. Hal ini berakibat timbulnya erosi nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa yang menjadi jati dirinya. Pengaruh ini semakin lancar dengan pesatnya media informasi dan komunikasi, seperti televisi, komputer, satelit, internet, dan sebagainya. Menghadapi perkembangan ini diperlukan suatu upaya yang mampu mensosialisasikan budaya nasional sebagai jati diri bangsa.

Jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter merupakan salah satu media yang dapat difungsikan sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan nilai luhur bangsa indonesia seperti wayang. Kedua akun tersebut merupakan akun-akun yang kini banyak dimiliki oleh generasi muda Indonesia. Lewat media tersebut, kita dapat berbagi informasi seputar wayang lewat Facebook atau twitter yang kita miliki. Kita juga dapat mempublish gambar-gambar wayang untuk re-branding wayang.

Dengan konsep dan kemasan yang menarik diharapkan ‘nanggap’ wayang lewat facebook dan twitter akan menjadi metode yang efektif untuk memperkenalkan kembali budaya luhur wayang yang mulai meredup dan membuat generasi muda Indonesia mau tahu, mau mengenali, dan mau mencintai wayang.

*) Penulis, Mahasiswi Ilmu Komunikasi, FISHUM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar


up