Job Seeker #Part XIV

Lepas wisuda aku kembali mencoba peruntungan. Kali ini bukan di kota industri, melainkan kota tempat aku menyelesaikan studyku. Mungkin hal yang sangat sulit untuk mencari pekerjaan di sini. Mengingat jarang sekali terdapat perusahaan yang bonafide dengan penawaran posisisi yang menarik. But, aku tetap mencoba. Setidaknya, orangtuaku menghendaki itu.

Hari ini aku melakukan interview pertamaku di sebuah perusahaan hosting yang letaknya tak begitu jauh dari rumah. Aku sendiri tak sengaja membaca lowongan itu yang terpampang di situs web kampusku. Padahal sebelum sebelumnya aku sama sekali tidak tertarik membukannya. Hehehehe

Ini baru awal. Masih ada 3-4 kali interview. Dan itu berarti aku harus menunggu selama satu bulan penuh. Tak apalah, kenyataannya masih banyak yang harus aku kerjakan sambil menunggu waktu itu.

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.

*Tobe Continue


_Mrs. Dy 

The End - Aku Sarjana!

”Aku Sarjana!!”

Begitulah teriakan teman-teman di sekelilingku. Memaknai satu masa dimana mungkin hanya akan dialami sekali dalam hidup. Memulai rantai kehidupan baru. Hidup yang sesungguhnya. Hidup yang benar-benar untuk mencari penghidupan. Dan kata itu seolah menjadi harapan dalam doa yang menyatu bersama kebahagiaan dari sorot-sorot mata mereka.

>> 25 Agustus 2013

Pagi pukul 04.00 aku terbangun dari tidur. Seperti biasa ku tunaikan kewajiban yang telah menjadi kebutuhanku dan bergegas mandi. Hari ini aku akan di wisuda. Tapi pikiranku masih tak bisa berada di sana. Aku kehilangan semangat untuk mengikuti acara besar itu. Mama. Seandainya dia di sini..

Selesai mandi aku terdiam cukup lama di depan cermin. ‘Apa yang harus aku lakukan dengan tubuhku,’aku tersenyum getir. Ku tatap lekat tubuhku dari ujung rambut sampai telapak kaki. Tubuh yang terbalut lilitan handuk ini menolak mengenakan kebaya yang masih menggantung di dalam lemari kayu.

Aku tau, mungkin aku bukan satu-satunya orang yang wisuda tanpa di hadiri orang tua. Tapi, apa gunanya namaku di panggil pertama kali di atas podium jika tak ada yang mendengar? Apa gunanya aku menjadi sarjana putri terbaik di fakultasku? Nothing! Aku menyerah atas pertanyaanku sendiri.

Pukul 05.00. Handphone ku ramai berdenyit sedari tadi. Banyak sekali sms masuk. Satu persatu ku baca pesan mereka.

“Ra, ayooo bangun. Aku sudah mau meluncur ke salon nih. See u there yaaa..”

“Ra, akhirnya dandan dimana nih? Aku sudah mulai di make-up,”

“Kamu sudah bersiap Ra? Pakai kebaya atau baju hitam putih nih? Ahahahaha,”

“Dandan yang cantik Ra, aku tunggu di kampus,”

“Neng, aku sudah siapin satu bunga khusus untuk kamu. Dandan yang cantik ya,”

“Nduk, hari ini wisuda ya. Selamat. Oh ya, nanti kirim yang banyak ya ke kontak mba,”

“Jeng Ara.. Selamat jeng. Akhirnya dapat gelar juga. Heehehhe. Aku tunggu di kampus. Be the best. Kita potret bareng. Narsis.,”

“Araaaaaaaaaaaa. Idih wisuda nggak kasih kabar nih. Tau gitu aku cancel ke luar kotanya. :( . Selamat Ra, jangan lupa sama aku yang masih menunggumu sampai sejauh ini,”

“Assskum Ara, sedang dimana? aku sudah sampai di tempat temenku nih. Aku minta riasin dia. Malu mau ke salon. Ara nyalon dimana ini? Sampai ketemu di podium ya,”


Aku menutup pesan yang masih tersisa beberapa. Ku letakkan kembali di atas meja tidurku. Aku merenung sejenak. Mencoba mengerti apa yang terjadi pada diri. Ku nyalakan musik Jazz sambil membereskan kamar tidur. 

Satu jam kemudian kubuka almari dan mengambil kebaya merahku. Ku kenakan sambil terus mematuk-matukkan pantulan tubuhku di cermin. Ku poles tipis wajahku untuk menghilangkan rona pucat. Aroma creamy lipstik orange merekahkan senyumku. ‘Lumayan bagus’gumamku. Ku kenakan jilbab yang senada dengan kebaya. Agar terlihat lebih berwarna kusematkan bross bulu berwarna orange yang telah ku persiapkan sebelumnya. Cukup eksotis. Hahaha 



Tepat pukul 07.00 aku siap di jemput pasanganku ke kampus. Parah. Dia datang dan aku belum siap juga. Rasanya tubuh ini tidak biasa. Benar-benar berjalan lebih lambat, beraktivitas lebih lambat, dan lebih banyak merenung dari pada mengerjakan. Aku kehilangan selera di moment besar ku sendiri. Arrrgghh!!!

Dia mengenakan baju kotak-kotak. Baju yang sebenarnya tak cukup ku suka jika di pakai oleh pria. But, apa hak ku untuk melarang? Bukankah selera masing-masing orang berbeda? :D







Salah satu yang membuat aku sedikit menyimpan senyum tidak lain karena kehadirannya. Bagaimana tidak, dia meluangkan sedikit waktunya untuk aku saja sudah cukup baik rasanya. Karena aku tak pernah meminta apapun selain pertahanan hubungan ini. For him, Thanks for coming. Thanks for living.







Aku sampai di depan gedung wisuda sekitar pukul 07.15. Dia memilih untuk kembali ke tempat adekku dan akan kembali lagi bersamanya. Aku sendiri. Berdiri diantara puluhan orang yang bergerombol sendiri-sendiri. Mereka bersama keluarganya. Aku mendengus pasrah. Tak lama kemudian handphoneku berbunyi.

“Ra, dimana?,”tanya seseorang di sebrang telphone.
“Di depan gedung. Kamu dimana jeng?,”
“Bentar lagi nyampek. Aku sama keluargaku. Nanti aku samperin kamu. Jangan sedih, aku temenin kamu,”ujarnya gamblang. Aku tersenyum.
“No matter Dear. I’m fine, nggak usah keburu, aku tunggu kamu,”ujarku mengakhiri pembicaraan.

Aku melangkah mengikuti arus wisudawan wisudawati ke serambi gedung. Mengikuti rangkaian acara foto bersama dan berbaris sesuai urutan cumlaude. Aku tampil di barisan depan mengenakan pakaian togaku. Semua melangkah dengan bangga. Dengan senyum yang mengembang dan dengan dada sedikit di busungkan. Aku berbalik melihat barisan yang berjejer di belakangku. Semua tampak menawan. Wisudawan mengenakan celana hitam dan kemeja putih beserta dasinya. Wisudawati mengenakan kebaya dengan beragam model dandanan kerudung dan riasan wajah yang semakin membuat tampak menonjol. Cantik. Semua tertutup jubah kebesaran bernama “Toga”. Jubah yang mungkin hanya akan digunakan sekali seumur hidup. Terkecuali untuk mereka yang akan melanjutkan studinya. Aku mengangguk mengerti. Ini fenomena sosial yang patut di soroti.

Aku dan semua wisudawan wisudawati mulai di arak untuk masuk ke dalam gedung. Semua berjalan secantik dan segagah mungkin. Dengan senyum yang terus di sunggingkan ke kanan dan ke kiri. Banyak keluarga di depan yang menyambut posesi ini dan mengabadikannya. Aku tertunduk sendiri. ‘Mam, lihatlah. Aku bisa menjadi putri kebanggaan semua orang. Apa aku bisa jadi putri kebanggaan Mama juga? Aku bisa Mam’. Ku tegakkan kembali pandangan mataku. Mengikuti alur yang telah terekam di benakku. Tersenyum dan menganggukkan kepala ke sekeliling. ‘Aku ada di depan, aku tak boleh menunduk,’gertak batinku. Beberapa saat kemudian aku berhasil menjatuhkan pantatku di bangku yang telah di sediakan.

Di dalam gedung ini suasana begitu ramai. Barisan wisudawan wisuda wati duduk rapi di dalam gedung. Sedang untuk wali mahasiswa berada tepat di kursi yang telah di siapkan di atas layaknya di sebuah stadion yang dapat melihat langsung posesi wisuda di laksanakan. Entah apa yang membuat mataku berkaca-kaca. Rasa haru menyeruak dan memecahkan gemuruh yang lama ku tahan. Aku harus kuat.

Pukul 10.00 satu persatu wisudawan wisudawati dipersilakan naik keatas podium untuk pemindahan tali Toga. Dan sebentar lagi giliran fakultasku. Namaku dipanggil pertama kali. Aku berjalan mendekat ke arah dekan dan wakil dekanku. “Selamat Ra,”ujar Bapak Dekan yang memang cukup dekat denganku. Aku mengangguk pelan. Merasakan gemuruh di dada kembali bergetar. Dan sukses! Aku menjatuhkan air mata tepat saat pemindahan tali togaku. Rasa haru menyelimuti ruang hati. ‘Mama, ini untuk Mama,’pekikku sendiri.


Di akhir acara seluruh wisudawan wisudawati diminta berdiri sambil menyanyikan lagu hymne UIN Sunan Kalijaga.
U.I.N. Sunan Kalijaga islam asaz tujuanmu
Membangun citra keagungan bangsa berdasar pancasila

Intregasikan interkoneksikan agama dan ilmu semesta
Kembangkan daya patriot nusa tanah air minta baktimu
Jayalah negara jayalah bangsa UIN berkarya nyata

UIN Sunan Kalijaga Islam azas tujuanmu
Membangun citra keagungan bangsa berdasar pancasila
Intregasikan interkoneksikan agama dan ilmu semesta
Kembangkan daya patriot nusa tanah air minta baktimu
Jayalah negara jayalah bangsa UIN berkarya nyata
Amin...

Lepas acara wisuda aku bergegas pulang bersama keluarga dan juga pasanganku. Mereka datang cukup terlambat. Kita mengambil beberapa dokumentasi untuk kenang-kenangan dan makan bersama sebagai ungkapan syukur. 


Hari ini, 25 Agustus 2013. Aku resmi mendapat gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.Ikom) dan mendapat predikat Cumlaude dengan IPK 3,72.



Bagiku ini bukan sesuatu yang membanggakan. Tapi setidaknya aku bisa melukis senyum di bibir Mama. Thnks Mam. I Love You J

_Mrs. Dy

Job Seeker #Part XIII

Haii Guys.. Aku memutuskan untuk berhenti. Aku tau mungkin ini keputusan yang kurang bijak, aku memiliki tanggung jawab dan tetap harus mencoba menyelesaikan apa yang menjadi tugasku. Hmm. Tapi aku telah menyelesaikannya. Semua urusan kantor sudah aku selesaikan. Begitu pula dengan keputusanku. Aku telah mengutarakannya kepada pimpinan.

Sesuatu yang di paksakan tidak akan menuai hasil yang baik. Itulah yang saat ini aku pikirkan. Aku tidak akan bisa berkembang manakala aku tidak menikmati pekerjaanku. Minimal aku harus mencintai pekerjaanku. Tapi sampai detik ini aku tak bisa melakukannya.

Tekad sudah aku mantapkan. Hari itu juga aku ke kantor dengan membawa sepucuk surat resignku. Sangat berat. Aku tau ini sangat sulit. Mengingat kebaikan rekan-rekan kerjaku. Lingkungan kerja yang kondusif dan gaji yang cukup. Namun, hati nurani tetap mengajakku keluar. Dengan segenggam keberanian aku mengajukannya ke pimpinan. Mencoba menjelaskan duduk permasalahanku. Sekali lagi, tekadku sudah bulat. Aku berhenti.

Setelah ini, aku tahu apa yang akan terjadi. Keluarga kecil di kota ini yang menyambutku pulang tanpa ekspresi, dia yang berubah dingin dan keras seperti batu, dan rekan kantor yang menitikan air mata satu-satu. Ku nikmati setiap sudut ruang kerjaku. Bau khas aromatherapy yang menyeruak rongga penciumanku, tirai putih dan bunga lily yang mempercantik penglihatanku, dan lukisan perdesaan yang terpajang tepat di samping meja kerjaku. Haru. Sejenak mengubah keputusanku. Tapi tidak! Aku telah memutuskan, dan aku memilih tetap berhenti. Aku bersiap pulang.

Kalian, terima kasih untuk waktu dan kebersamaan ini. Juga untuk memory indah yang tertanamkan. I’m Thankful.
Aku percaya, ridho orang tua yang utama. Dan di depan sana Tuhan telah menyiapkan satu kursi untukku. Thanks God.

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.

*Tobe Continue


_Mrs. Dy

Bidadari Bermata Jeli

Tiba-tiba inget kiriman dari seorang kakak tiga tahun silam. Monggo di simak...

Ia mutiara terindah dunia Bunga terharum sepanjang masa Ada cahaya di wajahnya Betapa indah pesonanya Bidadari bermata jeli pun cemburu padanya Kelak, ia menjadi bidadari surga Terindah dari yang ada (hanan)
***
Pernahkah kamu melihat seorang bidadari? Bidadari yang bermata jeli. Yang kabarnya sangat indah dan jelita. Saya yakin kita semua belum pernah melihatnya. Kalau begitu mari kita ikuti percakapan antara Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha tentang sifat-sifat bidadari yang bermata jeli. —- Imam Ath-Thabrany mengisahkan dalam sebuah hadist, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, jelaskanlah kepadaku firman Allah tentang bidadari-bidadari yang bermata jeli’.”
Beliau menjawab, “Bidadari yang kulitnya putih, matanya jeli dan lebar, rambutnya berkilau seperti sayap burung nasar.”
Saya berkata lagi, “Jelaskan kepadaku tentang firman Allah, ‘Laksana mutiara yang tersimpan baik’.” (Al-waqi’ah : 23)
Beliau menjawab, “Kebeningannya seperti kebeningan mutiara di kedalaman lautan, tidak pernah tersentuh tangan manusia.” Saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik’.” (Ar-Rahman : 70)
Beliau menjawab, “Akhlaknya baik dan wajahnya cantik jelita”
Saya berkata lagi, Jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Seakan-akan mereka adalah telur (burung onta) yang tersimpan dengan baik’.” (Ash-Shaffat : 49)
Beliau menjawab, “Kelembutannya seperti kelembutan kulit yang ada di bagian dalam telur dan terlindung kulit telur bagian luar, atau yang biasa disebut putih telur.”
Saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Penuh cinta lagi sebaya umurnya’.” (Al-Waqi’ah : 37)
Beliau menjawab, “Mereka adalah wanita-wanita yang meninggal di dunia pada usia lanjut, dalam keadaan rabun dan beruban. Itulah yang dijadikan Allah tatkala mereka sudah tahu, lalu Dia menjadikan mereka sebagai wanita-wanita gadis, penuh cinta, bergairah, mengasihi dan umurnya sebaya.”
Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?”
Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”
Saya bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?”
Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.’.”
Saya berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang wanita di antara kami pernah menikah dengan dua, tiga, atau empat laki-laki lalu meninggal dunia. Dia masuk surga dan mereka pun masuk surga pula. Siapakah di antara laki-laki itu yang akan menjadi suaminya di surga?”
Beliau menjawab, “Wahai Ummu Salamah, wanita itu disuruh memilih, lalu dia pun memilih siapa di antara mereka yang akhlaknya paling bagus, lalu dia berkata, ‘Wahai Rabb-ku, sesungguhnya lelaki inilah yang paling baik akhlaknya tatkala hidup bersamaku di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya’. 
Wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan akhirat.” —- Sungguh indah perkataan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam yang menggambarkan tentang bidadari bermata jeli. Namun betapa lebih indah lagi dikala beliau mengatakan bahwa wanita dunia yang taat kepada Allah lebih utama dibandingkan seorang bidadari. Ya, bidadari saudaraku.
Sungguh betapa mulianya seorang muslimah yang kaffah diin islamnya. Mereka yang senantiasa menjaga ibadah dan akhlaknya, senantiasa menjaga keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah. Sungguh, betapa indah gambaran Allah kepada wanita shalehah, yang menjaga kehormatan diri dan suaminya. Yang tatkala cobaan dan ujian menimpa, hanya kesabaran dan keikhlasan yang ia tunjukkan. Di saat gemerlap dunia kian dahsyat menerpa, ia tetap teguh mempertahankan keimanannya.
Sebaik-baik perhiasan ialah wanita salehah. Dan wanita salehah adalah mereka yang menerapkan islam secara menyeluruh di dalam dirinya, sehingga kelak ia menjadi penyejuk mata bagi orang-orang di sekitarnya. Senantiasa merasakan kebaikan di manapun ia berada. Bahkan seorang “Aidh Al-Qarni menggambarkan wanita sebagai batu-batu indah seperti zamrud, berlian, intan, permata, dan sebagainya di dalam bukunya yang berjudul “Menjadi wanita paling bahagia”.
Subhanallah. Tak ada kemuliaan lain ketika Allah menyebutkan di dalam al-quran surat an-nisa ayat 34, bahwa wanita salehah adalah yang tunduk kepada Allah dan menaati suaminya, yang sangat menjaga di saat ia tak hadir sebagaimana yang diajarkan oleh Allah.
Dan bidadari pun cemburu kepada mereka karena keimanan dan kemuliaannya. Bagaimana caranya agar menjadi wanita salehah? Tentu saja dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala laranganNya. Senantiasa meningkatkan kualitas diri dan menularkannya kepada orang lain. Wanita dunia yang salehah kelak akan menjadi bidadari-bidadari surga yang begitu indah.
Thanks kak.. Renungan yang menggugah hati.. ^_^


Cerpen (part 8) : Diary Ara

Jika ‘kata’ adalah hal mudah yang bisa ku ucap di hadapanmu, bukan kata ‘cinta’ yang selalu ingin dengan mudah ku kecap. Melainkan ‘maaf ’. Maaf untuk ketidaksempurnaan aku yang mencintaimu. Maka, sempurnakanlah cintaku.

Aku adalah seorang penulis. Kau tau persis, terlalu sulit untuk ku kemas sebuah rasa dalam kata. Hidupku terlalu dekat dengan tema. Dengan huruf yang tersusun rapi menjadi sebuah kalimat dan bukan sekedar kata-kata. Jadi maaf, jika dari kebiasaanku kau meragukan keyakinanku.

Aku tak mudah mengatakan kata ‘cinta’. Bahkan lebih sering mengabaikannya. Mungkin aku gengsi! Aku terlalu kaku mengucapkannya. Jadi maaf, aku egois dengan memaksamu mengerti perasaanku.

Aku sayang kamu. Itu yang selalu ingin ku katakan setiap pagi menyapa. Entahlah. Aku hanya bisa menulisnya. Menjadikanmu sebuah tema dalam episode kisah cintaku. Dan hanya kamu. Kau inspirasi yang tertuang dalam kisahku. Sekali lagi, aku menyayangimu dengan rasa dan bukan kata.

Aku begitu gaduh. Aku suka bicara. Bercerita apapun tentang hidup dan kehidupan. Tapi tidak soal rasa. Dan aku suka mendengar. Mendengarkanmu. Apapun yang kau ceritakan. Kesibukanmu hari ini, masalah yang kau hadapi, tentang keluargamu, teman-temanmu, hingga masa lalumu. Aku suka saat kau bicara. Meski orang bilang kau begitu pendiam. Namun bagiku kau tak jauh berbeda denganku. Kita sama-sama gaduh!

Kita berbeda. Itu jelas tersirat dan tersurat. Sayang, apa itu berarti kita tak berjodoh? Orang bilang jodoh kita cerminan diri kita. Entahlah. Aku tak ingin memikirkannya. Bagiku beda bukan berarti tak sama. Namun perbedaan itu saling melengkapi dan mengisi. Beda itu warna. Jadi, adakah alasan yang membuat jeda perasaanmu?

Apa kau ingat? Aku pernah berkata “wanita itu dipilih bukan memilih”. Jika boleh meminta, sudikah kau memilihku? Aku ingin meresmikan hubungan kita dalam ikatan cinta yang suci. Atas nama sang pencipta cinta. Sehingga tak lagi ada ragu menjadi riak hubungan kita. Bisakah kau memilihku?


Maaf. Hanya maaf yang ingin ku katakan saat ini. Maaf atas ke-acuh-an ku yang kau pasti menyadarinya. Maaf atas egoku untuk memaksamu mengerti perasaanku. Maaf aku tak bisa mengeja rasa menjadi kata ‘cinta’. Maaf atas ketidaksempurnaan aku dan cintaku. Tapi percayalah, aku mencintamu dengan caraku sendiri. Dengan rasa yang ku bangun sendiri. Hanya rasa dan bukan kata. Maka maafkan aku dan sempurnakanlah cintaku. Kini dan nanti.

Job Seeker #Part XII

Aku masih mencoba beradaptasi di kantor baruku. Cukup lama. Bukan berarti aku orang yang susah untuk tinggal di tempat yang baru. Aku beradaptsi dengan pekerjaan yang baru-baru ini aku sadar sangat jauh dari yang ku harapkan. Ini bukan masalah gaji yang ku terima atau lingkungan kerja. Ini murni karena sikap idealisku yang masih kekanak-kanakan. Aku tak bisa bekerja seperti ini. Ini bukan bidangku dan aku tak mau menjajakan ke –aku- an ku demi mendapat materi.

Sangat jelas terasa. Di luar aku merasa bahagia, namun di dalam aku semakin tertekan. Seringkali kegiatan di luar kota memaksaku untuk maju di garda depan. Bertemu dengan beberapa orang untuk menawarkan produk yang aku jajakan.

Aku tersenyum getir manakala di beri trik dan tip khusus untuk mendapat relasi. Antara mengerti dan meragu. Apa setiap hari harus bergelut dengan hati?

Oh ya, di luar masalah pekerjaan. Aku kira keputusanku untuk tinggal di kota ini sangat tepat mengingat aku bisa lebih dekat dengannya. Tapi ternyata salah. Salah besar! Setelah beberapa bulan bekerja rasanya sama saja seperti dulu. Sama sekali tak ada yang berubah. Pertemuan kami hanya dua sampai tiga minggu sekali. Itupun kalau kami benar-benar bisa meluangkan waktu. 

Kesibukan yang berbeda, jadwal kerja yang padat dan tuntutan perusahaan pada diri kami masing-masing sangat menguji kesabaranku untuk bertahan di sini. Bagaimana tidak, dia salah satu alasan aku berjuang berada di sini. Tapi sudahlah. Aku sangat memakluminya.

Mungkin itu dulu. Aku belum punya nyali untuk mengambil keputusan besar. Akan lanjut atau berhenti di sini. Yaap. “Get Big or Go Home!”.

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.

*Tobe Continue


_Mrs. Dy

up