Saat Hari -H-



*14 jam sebelum acara*

Apa aku kembali menjadi seorang pengantin? Apa benar-benar seperti pengantin baru?

Sejak pagi tadi saat pertama kali ku injakkan kembali rumah mungil milik mertuaku, suasana sedikit ramai. Semua sibuk ke sana ke mari mempersiapkan acara. Ngunduh mantu.

Aku hanya menatap mereka yang berlari ke sana ke mari menjinjing belanjaan atau membawa makanan dalam wadah besar yang sudah siap saji. Sambil beristirahat Ibu mertua menghampiriku.

“Nanti malam Ibu yang besok rias kamu datang. Mau nyiapin kamar manten sama ada sedikit posesi yang mesti kamu lakukan,” kata ibu. Aku tak terlalu bersemangat. Namun, tetap menanggapi.

“Posesi apa bu?” aku memicingkan mata penasaran. Ibu menjawab sambil terus fokus dengan pekerjaannya. Menata makanan di meja makan.

“Luluran, pijat, dan mandi kembang,” Ibu tertawa menggoda. Orang disekitarnya yang sedarai tadi mendengarkan percakapan kami juga ikut tertawa. Aku meringis tak mengerti.

“Maksudnya?,” tanyaku lagi.

“Bercanda. Ya nanti kamu ikuti aja semua posesinya. Nggak ribed kok,” Ibu tampak menyelesaikan kegiatannya. Aku masih diam dan menerka. ‘ah, apapun itu. Niatku sekarang hanya satu. Membahagiakan mertua dan suamiku’.

“Udah jangan bengong neng, istirahat dulu  saja. Capek kan perjalanan semalam,” Ibu yang lain menimpali. Aku mengangguk dan menenteng bawaanku ke dalam kamar.

***

“Neng, itu periasnya sudah datang,” seru wanita yang tengah menyapu di halaman rumah. Persis di depan panggung yang digunakan untuk acara ngunduh mantu besok.

“Ayo siap-siap neng,” serunya lagi. Aku melempar senyum ke arahnya tanpa beranjak. Piring di tanganku masih saja ku pegang untuk di tata sesuai seleraku.
“Udah, ayo masuk ke dalam,” suara Ibu mertua memaksaku untuk menjawab.

“Iya mah, nanggung. Tinggal sedikit lagi kelar,”

“Biar dikerjakan yang lain kan bisa,” paksa Ibu. Aku tetap tak beranjak. Hingga seorang Ibu dengan badan tinggi besar berkrudung sampul berjalan ke arahku. Di tangannya terdapat tas berukuran sangat besar yang entah berisi apa. Dari dandanannya aku bisa menebak dialah orangnya. Orang yang sedari tadi membuat orang menunggu. Tentunya tidak untuk aku. Yah. Dia perias itu.

“Lho.. Calon manten kok malah pegang piring?,” ujar wanita yang akrab di panggil Ibu Ross.

Aku tersenyum kaku. Mungkin dia menangkap sikap cuekku. Tapi dia tetap tersenyum. “Ayo bersiap,” tambahnya.

Aku berjalan mendahului langkah kakinya. Setelah berdiskusi kecil tentang treatment yang akan kami lakukan, akhirnya aku menyetujuinya. Untunglah, tak ada posesi mandi kembang seperti yang Ibu katakan.

Sedikit terlonjak manakala yang akan membimbingku selama posesi bukan Ibu Ross, melainkan asistennya. Dan lagi, aku harus telanjang untuk melakukan posesi itu. Ini bukan fiksi, but reall. Dan kata ibu itu, dengan tanpa busana akan memudahkan posesi yang akan di lakukan. Karena alasan yang logis, aku menurut dan meng-iyakan.

Tak butuh lama setelah bercakap sebentar dengan ibu setengah baya itu (lupa namanya) tentang daerah mana saja yang pantang untuk ia sentuh. Maklum saja, posesi pertama yang akan dilakukan oleh nya adalah memijat seluruh bagian tubuh untuk melonggarkan kembali urat syaraf yang tegang. Ia memulainya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.

Pijatan yang cukup enak. Hanya saja, mungkin karena banyak urat syarafku yang tegang membuat sedikit meringis kesakitan.

Posesi selanjutnya adalah melumuri tubuhku dengan lulur. Ada dua lulur yang ia pakai. Entah apa. Yang pasti, aku sampai meneggelamkan tubuhku ke dalam bantal karna wangi yang terlalu menyengat. Tentu saja, sambil terus disertai pijatan.

Hampir 30 menit proses ‘luluran’ itu. Setelah semua daki terangkat, dan ampas dari lulur di singkirkan, posesi selanjutnya adalah menghangatkan tubuh dengan aroma terapi yang dipanaskan. Caranya, aku harus benar-benar telanjang, dan kemudian di kukup dengan menggunakan baju khusus tanpa lobang dan udara. Hanya tersisa kepalaku yang tak tertutup apapun. Namun, sekali dua kali aku harus ikut membenamkan mukaku ke dalam baju khusus itu agar wajah ikut terasa hangat. Setelah seluruh badanku terkukup, aku duduk di atas kursi plastik tanpa penyangga punggung yang dibawahnya telah dipasang aroma terapi itu. Fungsi dari posesi ini adalah mengeluarkan semua keringat yang ada di dalam tubuh agar saat acara sama sekali tidak berkeringat. Benar saja, hampir seperempat jam tubuh ini duduk di atas aroma terapi yang di panaskan. Dan rasanya benar-benar menjadi panas. Semua keringat dalam tubuh seolah keluar dan mengalir deras. Badan terasa licin oleh sisa lulur yang masih menempel di seluruh tubuh. Sampai akhirnya aku menyerah karena kepanasan. Hehe

Sambil menunggu badan yang bersimbah keringat kering, Ibu Ross mendatangiku untuk memijat bagian wajahku. Aku berbaring di atas tikar dengan hanya mengenakan kain sarung. Berbaring terlentang dengan rambut di kuncung ke atas. Sedetik kemudian, jari-jari itu telah menari lembut di atas wajahku. Tak lupa, aroma rempah-rempah dia tuang ke dalam wadah kecil sebagai campuran bahan untuk masker wajahku. Benar-benar posesi yang melelahkan.

“Besok mau pakai adat jawa murni atau jawa modern?,” tanya Ibu Ross memecah keheningan. Aku melirik kearahnya. Tak tau harus menjawab apa. Ku balas dengan gelengan pelan.

“Gimana ya, Bapak dan Ibu besok pakai adat jawa murni. Jadi pengantennya juga. Besok di paes ya,” ujarnya lagi.

“Apa itu bu?,” tanyaku balik.

“Ya kaya orang jawa itu. Pakai sanggul terus wajahnya di kasih item-item itu. Pokoknya cantik deh,” jawab Ibu Ross dengan mata menerawang.

“Saya nggak mau lepas jilbab bu,” ucapku protes.

“Kan jawa muslimah sayang,” jedanya. “Nanti tetep pakai kerudung kaya biasa, cuma belakang dikasih sanggul. Nanti deh dilihat sendiri,” sambungnya lagi.

“Iya deh Bu,” tutupku.

Badanku telah kering dan terasa ringan karena pijatan tadi. Masker di wajahku juga telah mengeras setelah hampir 15 menit menunggu. Posesi selanjutnya adalah mandi dan mengkramasi rambut yang mulai lepek. Ini adalah posesi yang aku tunggu. Selain karena tak betah dengan sisa kotoran dan wewangian yang menempel di tubuh, juga karena posesi ini adalah akhir dari posesi yang harus aku lakukan. Asik!

Setelah semua selesai, aku menuju kamar pengantin untuk veeting gaun yang akan ku kenakan besok. Gaun berwarna hijau tua dengan aksen orange yang mempermanis kombinasinya. Untunglah, gaun yang ku coba benar-benar pas di badanku. Seolah gaun yang sedang ku kenakan ini memang sengaja di buat untukku. Dan lagi, tidak membuat Ibu Ross mengecilkan atau memperbesar ukurannya. Jadi tidak perlu dua kali kerja. Hehe

Bicara soal kamar pengantin, jangan dikira kamar yang dimaksud sama seperti kamar pengantin manakala menjadi pengantin baru. Yang ada, kamar itu hanya dihias simple dengan meletakkan bucket bunga berukuran besar di tengah tempat tidur, dan mengganti sprei dengan yang berbahan licin. Adapun dinding kamar dan segala yang menempel di dinding di biarkan apa adanya. Hanya depan pintu kamar yang juga di beri bucket bunga di atas pintu berbentuk lengkung setengah lingkaran, dan menjuntai gorden hijau hingga ujung bawah pintu. Hanya itu. Sederhana bukan? Yah, karna ini hanya acara ngunduh mantu.

Setelah semua benar-benar selesai, aku tak lantas beristirahat. Dan taukah apa yang aku lakukan setelah semua posesi aku lewati? JALAN-JALAN MALAM! :D

Masih terngiang jelas di telingaku, suara Ibu Ross yang memintaku untuk langsung beristirahat agar besok tetap terlihat bugar. Apa daya, aku tak bisa beristirahat. Mata tak kunjung bisa terpejam. Beruntung suamiku mengajak keluar. Rasanya lega sekali. Aku bisa menikmati kebebasan lagi. Aku tidak terkungkung di rumah yang masih padat dengan manusia-manusia sibuk. Dan aku bisa menghindari rasa gugup dan takutku menjalani esok pagi. Terlebih, tentang rasa bersalahku pada mama. Setidaknya, dengan beranjak dari rumah sedikit bisa menepis rasa bersalahku. Lets Go!!

Pukul 23.58 aku kembali ke rumah. Masih sama. Rumah masih tampak ramai. Namun tidak seramai tadi. Beberapa orang telah terlelap dalam lelah di depan ruang kecil TV rumah. Anak-anak yang sedari tadi saling berlarian juga telah kembali ke rumah masing-masing. Hanya tersisa koki masak dan saudara-saudara suami yang masih asik saling bercakap. Aku memilih kembali ke kamarku untuk segera tidur. Berharap malam lebih panjang dari malam biasanya. Aku tak menunggu pagi nanti.

“Besok jam 6 pagi harus sudah siap,” ujar lelaki paruh baya yang membuatku menoleh sesaat. Bapak mertuaku. Aku mengangguk tak mengiyakan. Segera ku tutup pintu kamar dan bersiap memejamkan mata. Hanya doa menutup petang saat itu. Semoga bisa ku lalui hari esok dengan bersenyum.

***



Pukul 04.30.  Seperti biasa aku terbangun setelah mendengar bunyi alarm di hp. Suara yang perlahan nyaring membuat urat bawah sadarku terbangun. Bergegas ku langkahkan kaki menuju Robb yang telah menunggu di atas sana. Aku bersujud.

Pukul 06.00. Ibu Ross datang dengan senyum lebar menyambutku. Aku membalas senyumnya simpul. Menatap setengah enggan.

“Sudah siap?,” tanyanya sembari meraih lenganku yang berdiri kaku diambang pintu. Aku mengangguk tak yakin.

“Yuk, langsung kita mulai. Dandan di kamar pengantin aja. Biar untuk penerima tamu dan bapak ibu dandan di kamar depan,” dia tampak memberi aba-aba pada asistennya dan satu putrinya yang kebetulan bisa merias juga. Aku diam mengamati.

“Nah, silakan tuan putri cantik ini duduk,” ujar asisten itu mempersilakan aku duduk. “Ehmm,, ratu sehari harus banyak senyum, ndak usah tegang gitu,” sindirnya sembari mencubit halus pipiku. Sakit.

Selama beberapa waktu aku hanya diam. Mengikuti arahan Ibu Ross dan asistennya. Mereka terus bercakap untuk saling bekerja sama menata make up di wajahku.

Tahap awal, mereka membersihkan seluruh wajah hingga bagian leher. Kemudian mengoleskan pelembab dan menepuk pelan wajah dengan menggunakan saput bedak. Pelan tapi pasti. Berbagai jenis warna make up menempel di wajahku. Sebagai pelengkap aksen jawa, mereka menambah paes di wajahku.

Setelah proses make over wajah selesai, mereka membuat sanggul menggunakan kerudung. Caranya? Ah, aku juga tak tau pasti. Yang pasti, awalnya mereka memakaikan penutup rambut dengan posisi atas keras dan datar dan mengaitkannya di belakang rambutku yang telah di ikat kuncung. Selanjutnya, mereka memasangkan sanggul menutup rambut bagian belakangku dan menyelipkan beberapa pengait rambut agar sanggul tak lepas dari rambutku. Walhasil, persis seperti sanggul tanpa berjilbab. 
Tampak depan

Tampak Belakang
 Selanjutnya, ku kenakan gaun pengantin berwarna hijau pekat dengan aksen emas dan warna orange di bagian pinggulnya. Gaun yang sederhana tanpa harus menjuntai laksana putri raja. Aku suka yang simple. Sederhana tapi elegan. Begitulah komentar Ibu Ross manakala gaun itu tampak pas di badanku. Sandal pengantin pun terpasang cantik di kakiku. Semua benar-benar pas.


Tiga puluh tujuh detik berlalu. Suamiku masuk ke kamar pengantin dengan senyumnya. Seperti biasa. Ia tampak gagah dengan baju yang dikenakannya. Riasan yang sederhana dengan kacamata menggantung dimatanya. Selalu aku katakana, dia tampak lebih tampan 57% manakala memakai kacamata itu. Dan memang begitu adanya.

Setelah mendapat beberapa arahan dari Ibu Ross, kami berdua berjalan berdampingan. Aku berdiri di sebelah kirinya. Mengapit tangannya. Berjalan dengan langkah pasti. Penuh percaya diri. Semua mata tertuju ke arahku. Aku tersenyum. Setidaknya aku bisa berbagi kebahagiaan bersama mereka.

Diiringi lagu nasyid aku melangkah terpatah patah. Berdiri berdampingan dengan suami di atas pelaminan. Mengikuti semua acara yang telah terjadwal. Mulai dari sambutan ngunduh mantu, doa, dan acara salam-salaman. Semua berjalan sesuai rencana. Tertib, hikmat, dan tenang.
My Wedding
Waktu berlalu. Enam jam empat puluh tiga menit. Aku dan suami masih sibuk menyalami tamu yang hadir. Rasanya mata mulai berat dan mulai lelah menopang badan. Sejak acara resmi dibuka dan doa di panjatkan, seluruh tamu yang hadir naik satu-satu untuk bersalaman dan berfoto. Dan aku tak mengira akan sebanyak ini tamu yang hadir. Meski lelah, senyum tetap harus ku kembangkan. Agar mereka ikut merasa energi kebahagiaan yang terpancar dariku. Juga suamiku.

Pukul 17.00 tepat aku dan suami diizinkan untuk mengganti pakaian dan menyudahi rangkaian acara yang ditutup oleh MC dan di meriahkan oleh suara merdu Nasyid. Rasanya lega. Meski tamu masih terus berdatangan. Rasanya lega. Karena hari ini berjalan lancar. Rasanya lega. Meski musim penghujan, namun saat hari-H cerah yang menyapa. Rasanya lega. Semua turut berbahagia atas kebahagiaan yang kami torehkan. Dan lebih terasa lega karena hari ini telah ku tunaikan kewajibanku sebagai Istri dan menantu untuk menorehkan goresan kebaikan dalam keluarga ini. Meski di sana Mama terluka, tapi Mama. Lihatlah. Anak Mama bisa menciptakan senyum di keluarga asing yang kini menjadi keluarganya. Lihatlah. Semoga Alloh juga melapangkan hati Mama di luar sana. Karena Mama. Alloh sungguh mencintai Mama. Jadi lapang dada lah. Sungguh orang kalah, orang yang melapangkan hati, dia akan diangkat derajatnya oleh Alloh ta’ala. Jadilah seperti itu Ma. Jadilah kuat seperti itu. Karna ini bukan atas dasar keinginanku. Namun caraku, putrimu mengabdi kepada suami dan keluarga baruku. Aku sayang Mama. Terimakasih atas pengertiannya.

-The End-

 

H-1

*24 Jam sebelum hari-H* 

-Dalam kereta Argo Bromo Anggrek-

Aku melihat keluar jendela. Gelap. Hanya lampu di dalam kereta yang dibiarkan menyala. Padahal, ingin sekali ku pejamkan mata ini untuk melepas lelah. But, aku tak bisa melakukannya. Sorot lampu yang berpendar tepat di atasku memaksaku untuk tetap terjaga.

Kembali ku lempar pandangan mata ini ke luar jendela. Lampu-lampu perumahan mulai terlihat berkelap kelip seperti bintang. Meski hanya nyala redup, aku bisa sedikit menikmati pemandangan itu. Cukup menenangkan hatiku yang masih saja ingin brontak dan berlari kembali ke dalam mimpiku. Mimpi yang aku pastikan hanya akan menjadi mimpi.

Kereta melaju sangat cepat.Di dalam kereta, tak ada lagi petugas peron yang berlari ke sana ke mari. Takada gi penjual keliling yang menawarkan makanan. Yang tersisa hanya dingin Ac yang menyelimuti dinding kaca jendela, dan suara nafas memburu penumpang yang tampak terlelap dalam. Juga, suara gesekan roda kereta dengan rel di bawahnya. Ini yang tak ku suka menggunakan kendaraan berlabel ‘exekutif’ ini. Aku tak menemukan nafas kehidupan di sini.

Rasa kantuk tak jua menyergapku. Sedang semua orang sudah terlelap dalam mimpinya. Apa hanya aku?

Entahlah! Tapi ini lebih baik. Aku menyukai kesunyian, kesendirian dan rasa damai.

-24 Jam sebelum hari-H-

Waktu merambat sangat cepat. Pukul 05.30 kereta tiba di stasiun jatinegara. Tinggal satu stasiun lagi aku akan sampai di stasiun gambir. Tempat aku harus menyudahi perjalanan by kereta ini.

Mentari berpendar sedikit-sedikit. Hiruk pikuk kehidupan mulai terasa. Ada yang sibuk mempersiapkan diri untuk turun, ada pula yang sekedar bersiap-siap untuk turun di stasiun berikutnya. Suasana di luar juga tak beda. Mulai terlihat aktifitas warga kampung yang bersiap bekerja. Beberapa bocah terlihat asik bermain dengan kawannya. Tak heran, ini adalah akhir pekan yang hangat. Udara cerah dan bersahabat. Siapa yang tak suka?

Aku tertawa kecil manakala melihat sekilas bocah kecil yang melambaikan tangan ke arah kereta ini. Seolah ia melepas kepergian saudarannya dengan tawa. Ia sedikit berlari kecil di bimbing lelaki tua di belakangnya. Gadis kecil berusia 4 tahunan. Aku sampai menoleh ke arah belakang kaca jendela sampai gadis itu menghilang dari pelupuk mata. Setelahnya, perasaan ini kembali seperti semula. Datar dan tak bernyawa.

Rasanya ingin ku nikmati perjalanan ini. Namun tak bisa.

Aku takut. Aku tak ingin mengecewakan siapapun. Sungguh! Bila saja bisa, ingin rasanya ku belah dua sisi tubuhku. Agar adil. Agar tak ada kecemburuan dan perselisihan. Dan lagi-lagi, aku harus tetap berjalan. Memilih. Meski menyakiti satu pihak. Aku tau itu.

Maafkan aku..


_Mrs. Dy

up