*24 Jam sebelum hari-H*
-Dalam kereta Argo Bromo Anggrek-
Aku melihat keluar jendela. Gelap. Hanya lampu
di dalam kereta yang dibiarkan menyala. Padahal, ingin sekali ku pejamkan mata
ini untuk melepas lelah. But, aku tak bisa melakukannya. Sorot lampu yang
berpendar tepat di atasku memaksaku untuk tetap terjaga.
Kembali ku lempar pandangan mata ini ke luar
jendela. Lampu-lampu perumahan mulai terlihat berkelap kelip seperti bintang. Meski
hanya nyala redup, aku bisa sedikit menikmati pemandangan itu. Cukup menenangkan
hatiku yang masih saja ingin brontak dan berlari kembali ke dalam mimpiku. Mimpi
yang aku pastikan hanya akan menjadi mimpi.
Kereta melaju sangat cepat.Di dalam kereta, tak
ada lagi petugas peron yang berlari ke sana ke mari. Takada gi penjual keliling
yang menawarkan makanan. Yang tersisa hanya dingin Ac yang menyelimuti dinding
kaca jendela, dan suara nafas memburu penumpang yang tampak terlelap dalam. Juga,
suara gesekan roda kereta dengan rel di bawahnya. Ini yang tak ku suka
menggunakan kendaraan berlabel ‘exekutif’ ini. Aku tak menemukan nafas
kehidupan di sini.
Rasa kantuk tak jua menyergapku. Sedang semua
orang sudah terlelap dalam mimpinya. Apa hanya aku?
Entahlah! Tapi ini lebih baik. Aku menyukai
kesunyian, kesendirian dan rasa damai.
-24 Jam sebelum hari-H-
Waktu merambat sangat cepat. Pukul 05.30
kereta tiba di stasiun jatinegara. Tinggal satu stasiun lagi aku akan sampai di
stasiun gambir. Tempat aku harus menyudahi perjalanan by kereta ini.
Mentari berpendar sedikit-sedikit. Hiruk pikuk
kehidupan mulai terasa. Ada yang sibuk mempersiapkan diri untuk turun, ada pula
yang sekedar bersiap-siap untuk turun di stasiun berikutnya. Suasana di luar
juga tak beda. Mulai terlihat aktifitas warga kampung yang bersiap bekerja. Beberapa
bocah terlihat asik bermain dengan kawannya. Tak heran, ini adalah akhir pekan
yang hangat. Udara cerah dan bersahabat. Siapa yang tak suka?
Aku tertawa kecil manakala melihat sekilas
bocah kecil yang melambaikan tangan ke arah kereta ini. Seolah ia melepas
kepergian saudarannya dengan tawa. Ia sedikit berlari kecil di bimbing lelaki
tua di belakangnya. Gadis kecil berusia 4 tahunan. Aku sampai menoleh ke arah
belakang kaca jendela sampai gadis itu menghilang dari pelupuk mata. Setelahnya,
perasaan ini kembali seperti semula. Datar dan tak bernyawa.
Rasanya ingin ku nikmati perjalanan ini. Namun
tak bisa.
Aku takut. Aku tak ingin mengecewakan
siapapun. Sungguh! Bila saja bisa, ingin rasanya ku belah dua sisi tubuhku. Agar
adil. Agar tak ada kecemburuan dan perselisihan. Dan lagi-lagi, aku harus tetap
berjalan. Memilih. Meski menyakiti satu pihak. Aku tau itu.
Maafkan aku..
_Mrs. Dy
0 komentar:
Posting Komentar