"Aku ingin menikahimu tahun ini Ra," Prisma melanjutkan
percakapannya dengan Ara. Sebuah percakapan yang dibuka Ara dengan ceritanya sendiri. Mulai dari masalah orangtuanya, persiapan pendadarannya, dan planning masa depannya. Mendengar penuturan Prisma, Ara tertawa pongah, seperti mendengar bisikan angin lalu yang hadir dan tiba-tiba menghilang. "Aku serius Ra, aku ingin menghalalkan hubungan kita," Tegas Prisma. Perlahan tawa Ara berhenti. Dia mulai menganggapinya dengan serius.
“Maksudnya?,” Ara memicingkan matanya. “Kita kan sudah sepakat
untuk memulai semua setelah Mama Ara pulang, kenapa jadi berubah pikiran Mas?,”
ujarnya terbata. Entah mengapa riak di hatinya tiba-tiba bergemuruh kencang. Tangannya
bergetar memegang handphone, suaranya
tercekat dalam diam.
“Aku tau, dan ini sudah jadi plan besarku saat ini,” ujar Prisma
bersemangat.
“Tapi kenapa buru-buru sekali mas?,” Ara mulai khawatir dengan
nada Serius Prisma. Dia tak segera menjawab. Berusaha mengalihkan pembicaraan dengan
pertanyaan yang mengganggu pikiran Ara.
“Minggu ini aku pulang, aku mau minta pertimbangan keluarga
besarku soal keputusan ku ini. Setelah itu aku akan menemuimu dan meminta restu
keluargamu,” Ara semakin membisu. Hanya bisa mematung dalam diam
“Mas, yang sabar dong. Kenapa harus ngobrolin ini sekarang? Ara belum
lulus dan belum bisa berdiri sendiri,” Ujarnya terbata. Ada perasaan berat yang
merasuk relung hatinya. ‘mengapa seperti
ini?’ gumam hatinya.
“Nggak bisa Ra, aku nggak mau nunggu terlalu lama, pokoknya aku
mau kita menikah tahun ini, TITIK!,” untuk kesekian kali Prisma menegaskan
kalimatnya. “Aku nggak mau penantianku sia-sia. Cobaan akan selalu ada
kedepannya Ra, aku ingin kamu jadi yang halal untuk aku. Mengertilah,” Prisma
menghela nafas panjang. Masih dengan perasaan memburu seolah tak ingin
menyia-nyiakan waktu dan peluang ditangannya.
“Mas, berpikirlah dengan kepala dingin, dengan akal sehat,” ujar
Ara pasrah. “Ayo kita fikirkan bersama. Ini masa depan kita bersama. Jangan memutuskan
sepihak seperti ini,” Ara menengadahkan pandangannya ke langit gelap. Riuh gemintang
menyambutnya seolah turut merasakan kegundahan hatinya. “Ara nggak bisa mas,
masih banyak yang harus Ara raih. Ara punya tanggungan, dan Ara mau nunggu Mama
pulang,” ujarnya sedikit memaksa. Kabut hangat terasa di sudut matanya. ‘Ah wanita, mengapa selalu seperti ini? Terlalu
menggunakan perasaannya. Mengapa aku sedemikian cengeng untuk mendengar kabar
yang seharusnya membuat aku tersenyum bahagia?’ batin Ara gelisah.
“Nanti aku akan bicarakan langsung dengan orangtuamu, dengan Abah
dan Umi mu, serta dengan Mamah mu lewat telephone,”
Seru Prisma tak goyah. “Kalau mereka setuju kita menikah tahun ini, kamu harus
siap. Oke!,” Prisma mengakhiri kalimatnya dengan mantap.
“Nggak mas, jangan. Aku tau persis apa jawaban mereka,” ujar Ara
setengah memburu. Rahangnya mulai keras menahan emosi. Meski kalimat yang ia
lontarkan masih bernada riang. Ara selalu pandai bermain kata. “Mereka pasti
akan menyerahkan keputusannya padaku. Dan aku akan tetap pada keputusan awal
kita,” sergah Ara tegas. “Aku akan tetap menerima lamaranmu tahun depan. Yang artinya
kita akan menikah tahun depan!,” ujar Ara setengah memaksa.
“Nggak bisa! Aku tetap akan bicarakan ini dengan keluargamu,”
Prisma tak mau kalah. “Oke kalau keputusan ada di kamu. Aku tinggal mikir
gimana caranya biar keluarga kamu bujuk kamu untuk setuju,” lanjutnya masih
dengan nada menggebu. “Jangan khawatir Ra, kita halalkan dulu, baru setelah
Mama mu pulang kita rayakan besar-besaran”.
“Maksud mas dengan menikah siri?,” sukses Ara terpancing emosi. ‘kamu kira segampang itu memutuskan menikah
mas? Aku berbeda! Aku sangat berbeda dengan keluarga yang lain. Tidak semudah
itu kamu memintaku untuk menikah, aku masih punya banyak beban hidup yang harus
aku tanggung!’. “Apa mas tau? Aku salah satu orang yang sangat membenci
pernikahan siri! Aku pernah menjadi penggerak anti nikah siri di kampusku, aku juga pernah melarang sahabatku sendiri melakukan itu dengan pasangannya. Dan
sekarang? Mas minta aku melakukannya? Oh No!! Silakan cari yang lain,” Ara
kehilangan keseimbangan bicara. Ia seolah tak lagi mengenal sosok pria di ujung
telephone sana. ‘apa sebenarnya motif kamu dibalik sana mas? Ada apa dengan dirimu?’
berbagai pertanyaan bergelanyut tanpa terucap.
“Aku sudah urus semuanya. Bahkan, surat kepindahan kartu keluarga,
persyaratan menikah, dan lain-lain sudah aku siapkan,” Prisma masih keukeuh dengan imagi-nya. “Tinggal kamu siapin diri Ra, jaga kesehatan dan jangan
suka begadang lagi, biar semuanya aku yang persiapkan. Kamu tinggal terima jadi dan
jaga stamina kamu,” Ara mlongo. Tak mampu berucap. Hilang kesadaran untuk
beberapa detik, dan kembali ke Dunianya. Mungkin jika dia menderita penyakit jantung koroner, sudah dari
tadi dia mati berdiri karenanya. Sekali lagi, Ara memandang langit yang berubah
mendung. ‘apa kau dapat merasakan
perasaanku? Apa yang harus aku lakukan jika sudah seperti ini ceritanya?’
pilunya pada langit yang masih diam.
“Ayolah mas, kita fikirkan lagi dengan kepala dingin,” Ara
mendesah pelan. “Pasti ada jalan keluar untuk masa depan kita, aku nggak akan
menuntut apapun dari kamu mas, aku janji aku tak akan mengganggu kesibukanmu dengan keluhanku. Aku.......,” Ara
menyerah. ‘apa aku harus mengakhiri semua
ini mas, jangan buru-buru karna itu membuatku takut’ kristal di matanya
mulai jatuh. Meski Ara masih sanggup mengatur ritme suaranya.
“Kamu ini aneh Ra,” potong Prisma. “Orang lain malah seneng ketika
di ajak nikah pasangannya, eh kamunya malah ketakutan gitu,” Prisma terkekeh
dengan ucapannya sendiri. “Kaya mau dipingit aja,” sambungnya, masih dengan
tawanya yang menggoda.
“Aku nggak mau mas. Itu saja. Kita kembali pada rencana awal,
menikah tahun depan,” Ara masih bertahan dengan argumennya.
“Apa yang kamu khawatirkan Ra?,” tanya Prisma, kali ini suaranya
terdengar lebih santai. “Aku janji aku tidak akan menyentuhmu sampai Mama mu
kembali nanti. Jadilah milikku seutuhnya Ra, kita jalani semua bersama. Toh, kamu pernah bilang ketika menikah, maka pintu rezeki akan
dibukakan,” guraunya sembari membujukku.
“Ara tau, tapi wanita yang akan kau nikahi ini tidak seperti
wanita lain mas. Aku wanita langka yang bahkan untuk menikahpun sulit,” Ara
mencapai klimaks emosinya. Dadanya bergemuruh mendengar celotehan yang semakin
terdengar ngelantur. “Aku berbeda mas, kamu harus tau itu!”. Tegasnya.
“Aku tau Ra,” Prisma menarik nafas panjang. “Aku sangat faham bagaimana
posisi kamu. Aku hanya mau kamu yang menerima aku apa adanya, Cuma itu!!”
“Aku belum mengenal keluarga kamu mas, sedangkan seperti yang dulu
pernah aku sampaikan, menikah bukan hanya kau dan aku tapi juga masalah
menyatukan keluarga,” ujar Ara mantap. Ia mulai mengatur emosinya kembali. Sesekali
ia menegak air putih dihadapannya. Berharap sedikit menghapus rasa takutnya.
“Itu masalah gampang Ra, dua minggu sebelum kita menikah aku
kenalkan kamu dengan seluruh keluarga besarku,” ujar Prisma lantang. “Aku pastikan
semua akan merestui kita dan menyetujui niat baik ini Ra,” Prisma kembali tertawa renyah. ‘bagaimana bisa kamu tertawa disaat seperti
ini? Bahkan hatiku sakit untuk sekedar meng-iyakan niat baikmu. Mengapa kamu
berubah secepat ini mas?’.
“Apa!!,” Ara terlonjak dari posisi duduknya. “Secepat itu? Sadar mas!
Nggak semudah itu untuk mengenal keluarga. Kamu terlalu memaksakan kehendak,”
tandas Ara. Dia semakin heran dengan sikap Prisma hari ini. ‘Ada masalah apa kamu? Siapa yang membuatmu
seperti ini? Tolong beri aku alasan yang kuat..”.
“Semua bisa diatur Ra, kamu tenang aja,” ujar Prisma menenangkan. “Jadi,
mau ya tahun ini kita menikah?,” kali ini Prisma dengan nada bijak mulai
bertanya kembali pada Ara. “Kamu butuh waktu berapa lama untuk meyakinkan
perasaanmu? Satu minggu? Dua minggu? Atau satu bulan? Kamu harus memilih!,”
Prisma menajamkan suaranya. Yang berarti Ara memang harus memilih.
“Kamu terlalu keras kepala mas,” keluh Ara. Dia memaksakan untuk
tersenyum getir. Lama Ara terdiam untuk berfikir. “Beri Ara waktu 40 hari untuk
mempertimbangkan semuanya,” akhirnya Ara memberi jawaban. “Ara pastikan jawaban
setelah 40 hari nanti adalah jawaban yang murni tulus dari dalam hati Ara. Tanpa
paksaan,” Papar Ara ringan. Meski di sisi lain hatinya, dia masih belum yakin
dengan kalimat yang dilontarkannya. ‘yaaa,
40 hari. Aku pasti bisa memberinya jawaban atas keyakinanku, Plan ur Passion
Ra!!’ tegas batinnya.
“Oke, 40 hari bukan waktu yang lama untukku,” Prisma tersenyum
lebar. Ada perasaan lega di sana.
“Ya, dan mas harus terima apapun keputusan Ara,”
“Baiklah, setelah 40 hari nanti aku akan menemui keluargamu. Apapun
jawabannya, aku mau dengar langsung dari mereka, aku juga akan menelphone Mama
mu segera,” Ara mlongo, ‘mana ada kesepakatan
seperti itu,” gumamnya tanpa suara. “Kalau semua setuju bersiaplah. Tapi
kalau keputusannya aku harus nunggu, baiklah akan aku tunggu dan kita balik ke
plan pertama kita, gimana? Tapi aku tetap berharap kamu akan menjawa IYA,” dia
kembali tertawa renyah. Ara masih terdiam tak mengerti. “Hallo Ra...
Hallo...??,” Ara terlonjak kaget.
“Ehh, Ohh iyaa. Gimana mas?,”
“Waaah, kamu ketahuan nih ngga ndengerin aku,” rajuknya.
“Iyaa, maaf tadi nggak jelas suarannya,”
“Oooh, intinya aku tunggu jawabannya 40 hari dari sekarang. Pikirkan
baik-baik Ra,” ujar prisma lembut. “Aku sayang kamu dan berharap aku tak salah
memilih, good bye!!” tutup prisma
seketika. Ara tak bergeming. Bahkan handphone masih menempel di telinganya. Kali
ini dia benar-benar menangis. Entah untuk alasan apa. Hanya saja, perasaannya
begitu kalut. Gerimis mulai mengguyur malam yang gelap. Ara menyenderkan
tubuhnya pada batang pohon di tengah taman. ‘Tuhan,
Kau tau? Aku masih percaya semua yang terjadi adalah skenario-Mu. Jadi buatlah
ia indah...’ Ara memejamkan matanya. Menikmati selasar malam yang basah,
membiarkan tubuhnya tenggelam dalam riak gerimis. Malam ini, Tuhan terasa amat
dekat mendekapnya. Segera dia berwudhu dan bersujud dalam sepertiga malamnya. ^_^
_Mrs. Dy
_Mrs. Dy
0 komentar:
Posting Komentar