Sebuah Monolog *part III


Langit pucat kelabu. Udara menyapu menerpa dalam hening.
Petir datang bersautan, hujan mengguyur tak tertahan.
Menghujam, mencabik kasar tanah gersang yang kian mengerang.
Langit jelas menangis! Apa yang membuat kau bersedih?

***
Aku merayap melihat hujan bertautan
Memisah jarak diantara tirai bambu yang tergantung tegak
Ah, hujan selalu tampak indah!
Secangkir coffe hadir menemaniku.
Lama dan semakin dalam aku meratap.
Hujan menyapaku lewat bisiknya,
"Apa yang sedang kau pikirkan, wanita?,"

Aku tak menjawab, hujan kembali bersuara,
"Jangan melamun, hari sudah sore, sebentar lagi adzan maghrib berkumandang, orang tua bilang tak baik! masuklah ke dalam rumah dan hangatkan badanmu,"

Aku menatap dalam ke arahnya,
“Aku tidak sedang melamun, hanya memikirkan sesuatu,”

Hujan menatap heran,
“Memikirkan apa?,”

Aku melempar pandang pada langit luas,
“Bukan apa-apa, aku hanya memikirkan sesuatu yang mungkin tak sedang memikirkanku,”

Sejenak hujan terdiam, mungkin sedang memilih pertanyaan yang tepat untukku. Sedetik kemudian dia mendekat kearahku, membuat bajuku sedikit basah. Kembali dia bertanya,
“Sesuatu? Mungkin lebih tepatnya seseorang. Apa benar?,”

Aku tak bergeming. Kembali ku lihat langit yang semakin gelap. Awan kelabu berarak semakin tebal. Hujan berseru,
“Hei wanita! jangan hanya bersungut tak menjawab. Aku perduli dengan mu,”

Aku tersenyum getir. Sedikit geli mendengar celotehan hujan,
“Kau benar. Dan mungkin dia bosan memikirkan aku yang selalu merengek merindukannya,”

Hujan semakin penasaran. Dia kembali mendekat kearahku. Aku menggeser posisi dudukku sedikit lebih jauh dari terpaannya.
“Kenapa dia harus bosan? Sungguh beruntung dia yang dirindukan oleh kaum hawa sepertimu”

Aku kembali mengembangkan senyum,
“Kau terlalu berlebihan, itu hanya persepsimu! Terlalu banyak yang menanti kehadirannya. Aku hanya segelintir orang yang terlalu fanatik menyukainya. Ya, belum tentu juga dia tau bahwa aku benar-benar ingin terus melihatnya. Aku tak pernah bisa mengatakannya”

Aku tertunduk, sementara hujan menatapku iba,
“Sudahlah, aku bisa menyimpan rindu ini dengan sempurna. Mungkin belum saatnya dia kembali. Mungkin suatu hari nanti aku bisa menyatakannya”

Aku tertawa lebar. Hujan mengecilkan volumenya,
“Kau begitu tegar wanita, aku bahkan iri pada sosok itu. Kalau boleh tau siapa dia? Mengapa dia meninggalkanmu?”

Aku menatapnya hangat. Sehangat rindu yang berbunga merekah. Rona wajahku memerah.
“Senja. Sudah beberapa hari ini dia tak hadir menemani soreku, dan aku sangat merindukannya. Dia tak sepenuhnya meninggalkanku, karena dia tak mungkin bisa hadir setiap saat. Dia hanya sesaat. Mungkin aku merasa terlalu nyaman dipelukannya. Aku mencintai senja ku. Meski dia tak pernah tau.”

Hatiku berdesir. Ada sebongkah kesedihan yang mendesak butir air mata tergenang di mataku.
“Sebesar itu kau mencintainya?,”

Aku mengangguk mantap. Mengusap pelan sudut mataku sebelum bendungan itu pecah.
“kenapa?” tanyanya lagi.

Dan aku mulai kesal pada celotehannya, ringan aku menjawab,
“Aku sudah menyukainya sejak kecil. Sejak aku terbiasa bercengkrama dengan ibu lepas pulang sekolah. Ibu selalu mengajakku melihat pesona jingga di langit sore. Aku merindukannya. Merindukan keduanya. Sosok ibu dan senja. Seperti ada kehangatan yang hadir di hatiku kala senja menyapa. Senja terlalu inidah. Dimanapun aku berada, kemanapun kaki ini melangkah, senja tetap indah. Mungkin dia tak pernah tau aku begitu mengagungkannya. Dia tak akan pernah mengerti itu karena terlalu banyak yang mengaguminya. sementara aku selalu mengerti dia karena hati ini menjadi hangat atas kehadirannya. Ya, karena aku membutuhkannya,”

Hujan merasa bersalah,
“Apa itu berarti aku menyakitimu?” hujan berbisik lirih nyaris tak terdengar.

Aku menatapnya nanar. Berusaha mengartikan pertanyaannya. Aku terlonjak mengerti.
“Aku tak sepenuhnya menyalahkanmu, hanya saja aku begitu merindukan kehadirannya hari ini, aku menginginkan jingganya, itu saja”

Aku dan hujan saling terdiam, tenggelam dengan pikiran masing-masing. Hujan berdentum lirih berganti gerimis kecil.
“Apa kau juga menyukaiku?” tanya hujan sedikit terbata.

Aku tertawa, ku tatap hujan lekat-lekat hingga dia tersipu
“Kau yakin ingin mendengar jawabannya?,”

Hujan meredup surut, seolah malu atas pertanyaanku. Dia mengangguk pelan. Aku mulai menjawab.
“Kau mengajarkanku banyak hal. Darimu aku mengenal senyum dalam tangisan, aku mengenal dingin dan basah dan aku mengenal pelangi yang indah, aku sangat berterima kasih atas hadirmu,”

Hujan mengulumkan senyumnya.
“Kau tak benar-benar menjawabnya, wanita?,”

Aku menengadah.
“Aku menyukai semua ciptaan Tuhan, termasuk kamu, mentari, bintang, rembulan dan pelangi. Tapi, bukankah hidup adalah pilihan? Dan aku memilih senja untuk ku cintai. Karena, akan sangat tidak adil jika aku menginginkan semuanya. Termasuk kamu. Masih banyak orang yang mencintai kalian seperti aku mencintai senja ku,”

Hujan mengangguk mengerti. Dia tak lagi bertanya.
“Kalian seperti barang subtitusi. Kalian tak akan hadir bersamaan. Namun kalian sama. Sama-sama mahluk Tuhan yang indah dan di sukai banyak orang. Kalian sempurna!,”

Aku menegaskan kalimatku. Hujan tersenyum merekah. Aku melanjutkan.
“Aku pun tak bisa mencintai dan memiliki senja ku seutuhnya. Cinta ini aku bingkai begitu sederhana.”

Hujan mengernyitkan dahinya.
“Kenapa?” tanya hujan menyelidik

“karena DIA, Aku tak bisa egois dengan cinta ini karena ada DIA yang memiliki aku, kamu dan senja. Bahkan semuanya,” tegasku menatap lurus ke cakrawala. Ku pejamkan mataku merasakan kehadirannya. “Dialah Tuhan, Tuhan yang maha menciptakan dan memusnahkan,” Aku mencoba menerobos dimensi lain dari alam spiritualku.

Hujan menatapku. Mengikuti gerakanku , menengadah ke arah yang sama sambil memejamkan mata. “Kita sama, wanita. Akupun hadir atas titah-Nya.” Hujan tersenyum damai. Perlahan hujan berhenti bersamaan dengan kumandang adzan Maghrib yang mengalun indah mengiringinya.

“Aku pulang”.

Mrs. Dy

0 komentar:

Posting Komentar


up