Suatu hari di
perjalanan mengantar Adik ke sekolah...
“Mba,
apa itu hidup dan nikmat hidup?,” tanyanya dengan wajah polos. Maklum saja, gadis
yang duduk santai di jok belakang motor yang dikendarai saya ini baru berumur 10
tahun. Awalnya saya kikuk mendengar pertanyaan asal itu. Sedikit kagum juga atas
pertanyaannya.
“Hidup
itu saat kita masih bisa bernafas, sedangkan nikmat hidup adalah saat kita
masih diberi kesehatan” jawab saya ringan. Terlihat di kaca spion dia
mengangguk pelan. Entah mengerti atau ragu dengan jawaban saya. Dia tampak
berfikir. Saya tersenyum dan melanjutkan kalimat tadi. “Ketika kita masih bisa
bernafas dan diberi kesehatan bukankah kita bisa melakukan apapun? Kita masih
bisa makan dan minum, masih bisa belajar dan yang lebih penting masih bisa
beribadah kepada Tuhan,” imbuh saya. Lagi-lagi dia mengangguk.
“Cuma
itu mba?,” tanyanya lagi. Kali ini dia terlihat menerka-nerka sambil memandang
ke arah cakrawala. Saya mengangguk.
“Dengan
beribadah, hidup yang kita jalani akan terasa lebih bermakna. Karena Tuhan
menciptakan kita untuk beribadah, bukan hanya bermain,” saya menekankan kalimat
terakhir saya. Entah gadis kecil di balik punggung saya mengerti atau tidak.
Dia terlihat masih canggung dengan jawaban saya. “Begini saja sayang, bayangkan
kalau kehidupan itu seperti secangkir gelas kosong, kemudian gelas kosong itu
dituang dengan air. Air itulah nikmat hidup. Apapun bentuk air itu, itulah
nikmat hidup yang kita maknai sendiri,” saya sedikit menggunakan bahasa yang
mudah dia mengerti. Dia tampak lebih sumringah sekarang.
“Terus,
air itu di apakan lagi Mba?,”
“Emmmmmm..
Itulah tahapan hidup yang selanjutnya. Setelah kita diberi nafas oleh Tuhan,
kita di beri nikmat berupa kesehatan, yang harus kita lakukan adalah
mensyukurinya,” Saya sedikit memperlambat laju motor saya. Jam di tangan masih
menunjukkan pukul 06.30, jadi saya agak santai. Lagian, gadis kecil ini
nampaknya masih butuh klarifikasi tentang filosofi saya. Terbukti dia kembali
bertanya.
“Apa
hubungannya bersyukur dengan secangkir gelas kosong tadi Mba?,”
“Cerdas
kamu Dek!,” seru saya. “Tadi kita sudah sampai pada air yang tertuang di gelas
kosong itu kan? Nah, sekarang apa yang tertuang di gelas kosong itu adalah cara
kita mensyukuri kehidupan,” papar saya sedikit lebih bersemangat. Dia masih
saja hanya mengangguk ringan. “Adek pasti seringkan buat minuman? Entah itu
susu, teh, kopi atau malah hanya air putih”. Dia tampak meng-iyakan. “Sama
dengan kehidupan, Dek. Air yang dituang dalam gelas kosong itulah yang disebut
nikmat hidup, ada yang berbentuk air susu, air teh, kopi atau hanya sekedar air
putih,” jelas saya. “Dari situlah kita belajar bersyukur. Untuk apa? Untuk mensyukuri
apapun air yang tertuang dalam gelas itu. mensyukuri apapun yang terjadi di
kehidupan kita”. Tutup saya dengan anggukan. Jujur saja, filosofi itu spontan
saya utarakan. Jadi saya manggut-manggut sendiri ikut meng-iyakan kalimat saya.
“Benar
begitu Mba?,” tanyanya memastikan. Saya mengangguk mantap.
“Iya,”
tegas saya. Dia nampak mengembangkan senyumnya dengan wajah berbinar.
“Besok
mau aku pakai untuk tugas sekolah ya Mba, lumayan dapet satu pencerahan. Soalnya susah sih. Makasih
Mba,” dia mengeratkan peganggannya di pinggang saya. Dan motor saya berhenti di
depan sekolahnya. Dia mengecup punggung tangan saya sambil berlari riang ke
dalam sekolah.
'Dia tetap anak kecil,’ gumam saya sambil berbalik arah untuk pulang.
0 komentar:
Posting Komentar