Just Remember #Part I


Aku pernah mengeja bagian ini..
Ketika kau memanggilku dengan satu nama “sayang”
Aku pernah mengeja bagian ini..
Kita tertawa, melepas kerinduan dan kau kembali menghilang

Apa yang kau tawarkan dari hubungan ini?
Pernikahan?
Apakah cukup dengan kita menikah?
Lantas bagaimana pertimbangan hidup kita mendatang?
Tuhan, mengapa aku terlalu takut kehilangan dia!

Aku salah!
Yaaa, aku yang selalu menahan diri untuk menerima tawaranmu.
Bukan apa-apa, sepenuhnya karena aku mempertimbangkan hidup kita kedepannya.
Aku ingin kau yang utuh.
Aku mau segala yang ada di dirimu.
Sepenuhnya aku sadar, aku terlalu mencintaimu.

_Mrs. Dy

Bidadari Surga

Setiap Manusia Punya Rasa Cinta
Yang Mesti dijaga Kesuciannya
Namun ada kala Insan tak berdaya
Saat dusta mampir bertahta

Ku inginkan dia 
Yang punya setia
Yang mampu menjaga kemurniannya
Saat ku tak ada, ku jauh darinya
Amanahpun jadi penjaganya

Hatimu tempat berlindungku 
Dari kejahatan syahwatku
Tuhanku merestui itu
Menjadikan engkau istriku
Engkaulah... Bidadari surgaku...

Tiada yang memahami segala kekuranganku
Kecuali kamu bidadariku
Maafkanlah aku dengan kebodohanku
Yang tak bisa membimbing dirimu...

(Mendadak suka sekali lirik lagu UJE ini, Barokalloh.. Semoga bisa menjadi Bidadari Surga untuk sang Suami kelak.. Alloh, aku niatkan beribadah kepada Engkau..^_^)

_Mrs. Dy

Sebuah Monolog *part III


Langit pucat kelabu. Udara menyapu menerpa dalam hening.
Petir datang bersautan, hujan mengguyur tak tertahan.
Menghujam, mencabik kasar tanah gersang yang kian mengerang.
Langit jelas menangis! Apa yang membuat kau bersedih?

***
Aku merayap melihat hujan bertautan
Memisah jarak diantara tirai bambu yang tergantung tegak
Ah, hujan selalu tampak indah!
Secangkir coffe hadir menemaniku.
Lama dan semakin dalam aku meratap.
Hujan menyapaku lewat bisiknya,
"Apa yang sedang kau pikirkan, wanita?,"

Aku tak menjawab, hujan kembali bersuara,
"Jangan melamun, hari sudah sore, sebentar lagi adzan maghrib berkumandang, orang tua bilang tak baik! masuklah ke dalam rumah dan hangatkan badanmu,"

Aku menatap dalam ke arahnya,
“Aku tidak sedang melamun, hanya memikirkan sesuatu,”

Hujan menatap heran,
“Memikirkan apa?,”

Aku melempar pandang pada langit luas,
“Bukan apa-apa, aku hanya memikirkan sesuatu yang mungkin tak sedang memikirkanku,”

Sejenak hujan terdiam, mungkin sedang memilih pertanyaan yang tepat untukku. Sedetik kemudian dia mendekat kearahku, membuat bajuku sedikit basah. Kembali dia bertanya,
“Sesuatu? Mungkin lebih tepatnya seseorang. Apa benar?,”

Aku tak bergeming. Kembali ku lihat langit yang semakin gelap. Awan kelabu berarak semakin tebal. Hujan berseru,
“Hei wanita! jangan hanya bersungut tak menjawab. Aku perduli dengan mu,”

Aku tersenyum getir. Sedikit geli mendengar celotehan hujan,
“Kau benar. Dan mungkin dia bosan memikirkan aku yang selalu merengek merindukannya,”

Hujan semakin penasaran. Dia kembali mendekat kearahku. Aku menggeser posisi dudukku sedikit lebih jauh dari terpaannya.
“Kenapa dia harus bosan? Sungguh beruntung dia yang dirindukan oleh kaum hawa sepertimu”

Aku kembali mengembangkan senyum,
“Kau terlalu berlebihan, itu hanya persepsimu! Terlalu banyak yang menanti kehadirannya. Aku hanya segelintir orang yang terlalu fanatik menyukainya. Ya, belum tentu juga dia tau bahwa aku benar-benar ingin terus melihatnya. Aku tak pernah bisa mengatakannya”

Aku tertunduk, sementara hujan menatapku iba,
“Sudahlah, aku bisa menyimpan rindu ini dengan sempurna. Mungkin belum saatnya dia kembali. Mungkin suatu hari nanti aku bisa menyatakannya”

Aku tertawa lebar. Hujan mengecilkan volumenya,
“Kau begitu tegar wanita, aku bahkan iri pada sosok itu. Kalau boleh tau siapa dia? Mengapa dia meninggalkanmu?”

Aku menatapnya hangat. Sehangat rindu yang berbunga merekah. Rona wajahku memerah.
“Senja. Sudah beberapa hari ini dia tak hadir menemani soreku, dan aku sangat merindukannya. Dia tak sepenuhnya meninggalkanku, karena dia tak mungkin bisa hadir setiap saat. Dia hanya sesaat. Mungkin aku merasa terlalu nyaman dipelukannya. Aku mencintai senja ku. Meski dia tak pernah tau.”

Hatiku berdesir. Ada sebongkah kesedihan yang mendesak butir air mata tergenang di mataku.
“Sebesar itu kau mencintainya?,”

Aku mengangguk mantap. Mengusap pelan sudut mataku sebelum bendungan itu pecah.
“kenapa?” tanyanya lagi.

Dan aku mulai kesal pada celotehannya, ringan aku menjawab,
“Aku sudah menyukainya sejak kecil. Sejak aku terbiasa bercengkrama dengan ibu lepas pulang sekolah. Ibu selalu mengajakku melihat pesona jingga di langit sore. Aku merindukannya. Merindukan keduanya. Sosok ibu dan senja. Seperti ada kehangatan yang hadir di hatiku kala senja menyapa. Senja terlalu inidah. Dimanapun aku berada, kemanapun kaki ini melangkah, senja tetap indah. Mungkin dia tak pernah tau aku begitu mengagungkannya. Dia tak akan pernah mengerti itu karena terlalu banyak yang mengaguminya. sementara aku selalu mengerti dia karena hati ini menjadi hangat atas kehadirannya. Ya, karena aku membutuhkannya,”

Hujan merasa bersalah,
“Apa itu berarti aku menyakitimu?” hujan berbisik lirih nyaris tak terdengar.

Aku menatapnya nanar. Berusaha mengartikan pertanyaannya. Aku terlonjak mengerti.
“Aku tak sepenuhnya menyalahkanmu, hanya saja aku begitu merindukan kehadirannya hari ini, aku menginginkan jingganya, itu saja”

Aku dan hujan saling terdiam, tenggelam dengan pikiran masing-masing. Hujan berdentum lirih berganti gerimis kecil.
“Apa kau juga menyukaiku?” tanya hujan sedikit terbata.

Aku tertawa, ku tatap hujan lekat-lekat hingga dia tersipu
“Kau yakin ingin mendengar jawabannya?,”

Hujan meredup surut, seolah malu atas pertanyaanku. Dia mengangguk pelan. Aku mulai menjawab.
“Kau mengajarkanku banyak hal. Darimu aku mengenal senyum dalam tangisan, aku mengenal dingin dan basah dan aku mengenal pelangi yang indah, aku sangat berterima kasih atas hadirmu,”

Hujan mengulumkan senyumnya.
“Kau tak benar-benar menjawabnya, wanita?,”

Aku menengadah.
“Aku menyukai semua ciptaan Tuhan, termasuk kamu, mentari, bintang, rembulan dan pelangi. Tapi, bukankah hidup adalah pilihan? Dan aku memilih senja untuk ku cintai. Karena, akan sangat tidak adil jika aku menginginkan semuanya. Termasuk kamu. Masih banyak orang yang mencintai kalian seperti aku mencintai senja ku,”

Hujan mengangguk mengerti. Dia tak lagi bertanya.
“Kalian seperti barang subtitusi. Kalian tak akan hadir bersamaan. Namun kalian sama. Sama-sama mahluk Tuhan yang indah dan di sukai banyak orang. Kalian sempurna!,”

Aku menegaskan kalimatku. Hujan tersenyum merekah. Aku melanjutkan.
“Aku pun tak bisa mencintai dan memiliki senja ku seutuhnya. Cinta ini aku bingkai begitu sederhana.”

Hujan mengernyitkan dahinya.
“Kenapa?” tanya hujan menyelidik

“karena DIA, Aku tak bisa egois dengan cinta ini karena ada DIA yang memiliki aku, kamu dan senja. Bahkan semuanya,” tegasku menatap lurus ke cakrawala. Ku pejamkan mataku merasakan kehadirannya. “Dialah Tuhan, Tuhan yang maha menciptakan dan memusnahkan,” Aku mencoba menerobos dimensi lain dari alam spiritualku.

Hujan menatapku. Mengikuti gerakanku , menengadah ke arah yang sama sambil memejamkan mata. “Kita sama, wanita. Akupun hadir atas titah-Nya.” Hujan tersenyum damai. Perlahan hujan berhenti bersamaan dengan kumandang adzan Maghrib yang mengalun indah mengiringinya.

“Aku pulang”.

Mrs. Dy

Sebuah Monolog *Part II


Jadi apa salah jika aku ingin mempertebal keimananku?
Apa salah jika ingin ku kokohkan pondasi agama ini?
Aku ingin menjadi wanita yang bertahta di mata Tuhan!
Itu saja, sederhana
Namun sangat sulit untuk menuju ke arah sana
Apa bisa beri aku waktu sejenak?
Apa bisa aku memiliki ruhmu dalam doaku?
Detik ini aku bercermin, bertanya pada hati
Menjawab pertanyaanmu
Akan berapa lama aku bersiap? Sampai batas apa kau menunggu?
Bayangan di cermin itu tersenyum
“Sampai kau belajar lebih banyak bersyukur, dan itu tak akan lama”

Aku kembali bertanya
Apa selama ini aku tak cukup untuk bersyukur?
Wajah di cermin itu menerawang
“Cukup atau tidak kau mampu merasakannya. Hanya saja ketika kau bersyukur kau akan tetap istiqomah dengan jalan hidup kedepannya”

Aku mengangguk pelan
“Karena kau akan memulai kehidupan baru setelahnya. Ketika kau terus bersyukur, maka kebahagiaan akan sampai kepadamu. Kepada pasanganmu dan keluarga kecilmu”

Aku terisak
“Jangan jadikan pernikahan sebuah beban, jadikan ladang ibadah untukmu. Karena kau terlahir sangat mulia sebagai wanita. Kau akan dengan mudah menggenggam Surga jika kau menjadi wanita sholehah sebagai istri dan ibu dari anak-anakmu”

Aku membisu dalam tangis
“Jadilah bidadari bermata jeli, kau akan mendapat keberkahan dunia dan akhirat!”

Masih terpaku diam
“Sekarang, lihatlah sosok wanita di cermin ini. Dia bukan lagi gadis kecil yang bisa seenak hati bertindak. Dia telah tumbuh menjadi wanita dengan guratan tegas dimatanya. Dia sudah cukup pantas dengan status barunya. Maka yakinilah kau dapat menjalaninya dengan ikhlas. Ladang pahala telah menantimu di depan mata. Tak butuh waktu lama untuk belajar lebih banyak bersyukur. Bergegaslah! Lengkapi separuh dari agamamu!”

Pandangan mataku kabur menatap samar sosok lain di cermin itu. Aku mengangguk mantap. Aku siap menjalaninya! Aku menemukan jawabannya! 

_Mrs.Dy >> Inspiring by _Mr.Ky

Sebuah Monolog *part I


Pernahkah kau bosan untuk hidup?
Pernahkah kau benci dengan kehidupan?
Aku pernah,
Yaa aku pernah merasakannya. Bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali.
Aku hanya seorang wanita yang selalu mencoba hidup tegar dan dewasa.
Membantu meringankan beban dan keluh kesah orang lain tanpa perduli dengan beban hidupku.
Well, bukan berarti aku tidak memikirkannya! Namun aku selalu berpikir aku bisa menyelesaikannya sendiri.
Tanpa harus mengeluh, bersumpah serapah, mengaduh pada orang lain
Karna pada akhirnya aku harus tetap menikmati ujian itu.
Namun taukah, terkadang menjadi kuat itu melelahkan!
Aku manusia biasa!
Aku butuh bahu, aku butuh teman untuk berbagi, aku butuh sosok yang bisa memotivasi!
Meski akhirnya aku pendam dalam hati.
Tak jarang aku bosan untuk hidup.
Hidup yang terasa semakin rumit, pahit dan cobaan datang silih berganti tiada henti.
Bukan karena aku tak tau diri, namun aku tak mengerti dengan alur Tuhan yang tak pasti.
Mengapa aku tercipta?
Pernah juga aku merasa benci dengan kehidupan.
Ketika satu persatu orang yang aku cintai menghilang dari hidupku.
Sosok ayah yang seharusnya menjadi panutanku, sosok kakek yang begitu tulus menjagaku, sosok nenek yang selalu asah asih dan asuh mendidikku, dan kini sosok mama yang terlalu jauh dimataku.
Siapa lagi setelah ini?
Aku benci dengan kehidupan! Aku benci mencintai, dan aku benci ditinggalkan!
Benci? Apakah satu kata yang tepat?
Tidak!! Aku tak membencinya.
Aku hanya takut. Yaaa, TAKUT!!
Aku takut dengan kehidupan yang aku jalani, dengan rasa cinta yang ku miliki dan kepastian bahwa suatu hari nanti aku akan ditinggalkan.
Semua datang dan pergi dengan kenangan tersendiri.
Sangat singkat, sangat cepat, sesakit ini...
Mereka datang, menjadi satu nadi dan menyatu dalam darah kehidupanku.
Menghangatkan setiap sel aktif dalam tubuhku.
Membuat ceritanya sendiri, dan aku begitu menikmati alurnya.
Terbingkai dalam tangga nada yang indah. Dan aku tak pernah bosan menyanyikannya.
Tuhan, aku merindukan puing semangat kehidupanku.
***
Dibalik itu...
Aku bersyukur masih bisa merasakan ketakutan ini.
Dari cobaan hidup yang aku jalani.
Aku sadar!
Aku tak harus mengeluh, karena Engkau selalu siap menjadi bahu saat aku bersujud
Aku tak harus mengaduh, karena Engkau tak akan memberi cobaan diluar batas kemampuanku
Aku tak harus meratap, karena Engkau tinggal dekat dalam denyut nadiku
Karena...
Dari perpisahan aku belajar makna pertemuan,
Dari kesakitan aku belajar menjadi senyum dalam tangisan,
Dari cobaan aku belajar lebih bersyukur menikmati segala yang Engkau berikan.
Meski tak selalu indah, meski jauh dari harapan, aku percaya Tuhan, yang Kau tuliskan adalah yang terbaik untuk masa depanku.
Tuhan... Ajarkan aku bersyukur!!


Cerpen (part 2): 40 Days - Plan ur Passion!!


"Aku ingin menikahimu tahun ini Ra," Prisma melanjutkan percakapannya dengan Ara. Sebuah percakapan yang dibuka Ara dengan ceritanya sendiri. Mulai dari masalah orangtuanya, persiapan pendadarannya, dan planning masa depannya. Mendengar penuturan Prisma, Ara tertawa pongah, seperti mendengar bisikan angin lalu yang hadir dan tiba-tiba menghilang. "Aku serius Ra, aku ingin menghalalkan hubungan kita," Tegas Prisma. Perlahan tawa Ara berhenti. Dia mulai menganggapinya dengan serius. 

“Maksudnya?,” Ara memicingkan matanya. “Kita kan sudah sepakat untuk memulai semua setelah Mama Ara pulang, kenapa jadi berubah pikiran Mas?,” ujarnya terbata. Entah mengapa riak di hatinya tiba-tiba bergemuruh kencang. Tangannya bergetar memegang handphone, suaranya tercekat dalam diam.

“Aku tau, dan ini sudah jadi plan besarku saat ini,” ujar Prisma bersemangat.

“Tapi kenapa buru-buru sekali mas?,” Ara mulai khawatir dengan nada Serius Prisma. Dia tak segera menjawab. Berusaha mengalihkan pembicaraan dengan pertanyaan yang mengganggu pikiran Ara.

“Minggu ini aku pulang, aku mau minta pertimbangan keluarga besarku soal keputusan ku ini. Setelah itu aku akan menemuimu dan meminta restu keluargamu,” Ara semakin membisu. Hanya bisa mematung dalam diam

“Mas, yang sabar dong. Kenapa harus ngobrolin ini sekarang? Ara belum lulus dan belum bisa berdiri sendiri,” Ujarnya terbata. Ada perasaan berat yang merasuk relung hatinya. ‘mengapa seperti ini?’ gumam hatinya.

“Nggak bisa Ra, aku nggak mau nunggu terlalu lama, pokoknya aku mau kita menikah tahun ini, TITIK!,” untuk kesekian kali Prisma menegaskan kalimatnya.  “Aku nggak mau penantianku sia-sia. Cobaan akan selalu ada kedepannya Ra, aku ingin kamu jadi yang halal untuk aku. Mengertilah,” Prisma menghela nafas panjang. Masih dengan perasaan memburu seolah tak ingin menyia-nyiakan waktu dan peluang ditangannya.

“Mas, berpikirlah dengan kepala dingin, dengan akal sehat,” ujar Ara pasrah.  “Ayo kita fikirkan bersama. Ini masa depan kita bersama. Jangan memutuskan sepihak seperti ini,” Ara menengadahkan pandangannya ke langit gelap. Riuh gemintang menyambutnya seolah turut merasakan kegundahan hatinya. “Ara nggak bisa mas, masih banyak yang harus Ara raih. Ara punya tanggungan, dan Ara mau nunggu Mama pulang,” ujarnya sedikit memaksa. Kabut hangat terasa di sudut matanya. ‘Ah wanita, mengapa selalu seperti ini? Terlalu menggunakan perasaannya. Mengapa aku sedemikian cengeng untuk mendengar kabar yang seharusnya membuat aku tersenyum bahagia?’ batin Ara gelisah.

“Nanti aku akan bicarakan langsung dengan orangtuamu, dengan Abah dan Umi mu, serta dengan Mamah mu lewat telephone,” Seru Prisma tak goyah. “Kalau mereka setuju kita menikah tahun ini, kamu harus siap. Oke!,” Prisma mengakhiri kalimatnya dengan mantap.

“Nggak mas, jangan. Aku tau persis apa jawaban mereka,” ujar Ara setengah memburu. Rahangnya mulai keras menahan emosi. Meski kalimat yang ia lontarkan masih bernada riang. Ara selalu pandai bermain kata. “Mereka pasti akan menyerahkan keputusannya padaku. Dan aku akan tetap pada keputusan awal kita,” sergah Ara tegas. “Aku akan tetap menerima lamaranmu tahun depan. Yang artinya kita akan menikah tahun depan!,” ujar Ara setengah memaksa.

“Nggak bisa! Aku tetap akan bicarakan ini dengan keluargamu,” Prisma tak mau kalah. “Oke kalau keputusan ada di kamu. Aku tinggal mikir gimana caranya biar keluarga kamu bujuk kamu untuk setuju,” lanjutnya masih dengan nada menggebu. “Jangan khawatir Ra, kita halalkan dulu, baru setelah Mama mu pulang kita rayakan besar-besaran”.

“Maksud mas dengan menikah siri?,” sukses Ara terpancing emosi. ‘kamu kira segampang itu memutuskan menikah mas? Aku berbeda! Aku sangat berbeda dengan keluarga yang lain. Tidak semudah itu kamu memintaku untuk menikah, aku masih punya banyak beban hidup yang harus aku tanggung!’. “Apa mas tau? Aku salah satu orang yang sangat membenci pernikahan siri! Aku pernah menjadi penggerak anti nikah siri di kampusku, aku juga pernah melarang sahabatku sendiri melakukan itu dengan pasangannya. Dan sekarang? Mas minta aku melakukannya? Oh No!! Silakan cari yang lain,” Ara kehilangan keseimbangan bicara. Ia seolah tak lagi mengenal sosok pria di ujung telephone sana. ‘apa sebenarnya motif kamu dibalik sana mas? Ada apa dengan dirimu?’ berbagai pertanyaan bergelanyut tanpa terucap.

“Aku sudah urus semuanya. Bahkan, surat kepindahan kartu keluarga, persyaratan menikah, dan lain-lain sudah aku siapkan,” Prisma masih keukeuh dengan imagi-nya. “Tinggal kamu siapin diri Ra, jaga kesehatan dan jangan suka begadang lagi, biar semuanya aku yang persiapkan. Kamu tinggal terima jadi dan jaga stamina kamu,” Ara mlongo. Tak mampu berucap. Hilang kesadaran untuk beberapa detik, dan kembali ke Dunianya. Mungkin jika dia menderita penyakit jantung koroner, sudah dari tadi dia mati berdiri karenanya. Sekali lagi, Ara memandang langit yang berubah mendung. ‘apa kau dapat merasakan perasaanku? Apa yang harus aku lakukan jika sudah seperti ini ceritanya?’ pilunya pada langit yang masih diam.

“Ayolah mas, kita fikirkan lagi dengan kepala dingin,” Ara mendesah pelan. “Pasti ada jalan keluar untuk masa depan kita, aku nggak akan menuntut apapun dari kamu mas, aku janji aku tak akan mengganggu kesibukanmu dengan keluhanku. Aku.......,” Ara menyerah. ‘apa aku harus mengakhiri semua ini mas, jangan buru-buru karna itu membuatku takut’ kristal di matanya mulai jatuh. Meski Ara masih sanggup mengatur ritme suaranya.

“Kamu ini aneh Ra,” potong Prisma. “Orang lain malah seneng ketika di ajak nikah pasangannya, eh kamunya malah ketakutan gitu,” Prisma terkekeh dengan ucapannya sendiri. “Kaya mau dipingit aja,” sambungnya, masih dengan tawanya yang menggoda.

“Aku nggak mau mas. Itu saja. Kita kembali pada rencana awal, menikah tahun depan,” Ara masih bertahan dengan argumennya.

“Apa yang kamu khawatirkan Ra?,” tanya Prisma, kali ini suaranya terdengar lebih santai. “Aku janji aku tidak akan menyentuhmu sampai Mama mu kembali nanti. Jadilah milikku seutuhnya Ra, kita jalani semua bersama. Toh, kamu pernah bilang ketika menikah, maka pintu rezeki akan dibukakan,” guraunya sembari membujukku.

“Ara tau, tapi wanita yang akan kau nikahi ini tidak seperti wanita lain mas. Aku wanita langka yang bahkan untuk menikahpun sulit,” Ara mencapai klimaks emosinya. Dadanya bergemuruh mendengar celotehan yang semakin terdengar ngelantur. “Aku berbeda mas, kamu harus tau itu!”. Tegasnya.

“Aku tau Ra,” Prisma menarik nafas panjang. “Aku sangat faham bagaimana posisi kamu. Aku hanya mau kamu yang menerima aku apa adanya, Cuma itu!!”

“Aku belum mengenal keluarga kamu mas, sedangkan seperti yang dulu pernah aku sampaikan, menikah bukan hanya kau dan aku tapi juga masalah menyatukan keluarga,” ujar Ara mantap. Ia mulai mengatur emosinya kembali. Sesekali ia menegak air putih dihadapannya. Berharap sedikit menghapus rasa takutnya.

“Itu masalah gampang Ra, dua minggu sebelum kita menikah aku kenalkan kamu dengan seluruh keluarga besarku,” ujar Prisma lantang. “Aku pastikan semua akan merestui kita dan menyetujui niat baik ini Ra,” Prisma kembali tertawa renyah. ‘bagaimana bisa kamu tertawa disaat seperti ini? Bahkan hatiku sakit untuk sekedar meng-iyakan niat baikmu. Mengapa kamu berubah secepat ini mas?’.

“Apa!!,” Ara terlonjak dari posisi duduknya. “Secepat itu? Sadar mas! Nggak semudah itu untuk mengenal keluarga. Kamu terlalu memaksakan kehendak,” tandas Ara. Dia semakin heran dengan sikap Prisma hari ini. ‘Ada masalah apa kamu? Siapa yang membuatmu seperti ini? Tolong beri aku alasan yang kuat..”.

“Semua bisa diatur Ra, kamu tenang aja,” ujar Prisma menenangkan. “Jadi, mau ya tahun ini kita menikah?,” kali ini Prisma dengan nada bijak mulai bertanya kembali pada Ara. “Kamu butuh waktu berapa lama untuk meyakinkan perasaanmu? Satu minggu? Dua minggu? Atau satu bulan? Kamu harus memilih!,” Prisma menajamkan suaranya. Yang berarti Ara memang harus memilih.

“Kamu terlalu keras kepala mas,” keluh Ara. Dia memaksakan untuk tersenyum getir. Lama Ara terdiam untuk berfikir. “Beri Ara waktu 40 hari untuk mempertimbangkan semuanya,” akhirnya Ara memberi jawaban. “Ara pastikan jawaban setelah 40 hari nanti adalah jawaban yang murni tulus dari dalam hati Ara. Tanpa paksaan,” Papar Ara ringan. Meski di sisi lain hatinya, dia masih belum yakin dengan kalimat yang dilontarkannya. ‘yaaa, 40 hari. Aku pasti bisa memberinya jawaban atas keyakinanku, Plan ur Passion Ra!!’ tegas batinnya.  

“Oke, 40 hari bukan waktu yang lama untukku,” Prisma tersenyum lebar. Ada perasaan lega di sana.

“Ya, dan mas harus terima apapun keputusan Ara,”

“Baiklah, setelah 40 hari nanti aku akan menemui keluargamu. Apapun jawabannya, aku mau dengar langsung dari mereka, aku juga akan menelphone Mama mu segera,” Ara mlongo, ‘mana ada kesepakatan seperti itu,” gumamnya tanpa suara. “Kalau semua setuju bersiaplah. Tapi kalau keputusannya aku harus nunggu, baiklah akan aku tunggu dan kita balik ke plan pertama kita, gimana? Tapi aku tetap berharap kamu akan menjawa IYA,” dia kembali tertawa renyah. Ara masih terdiam tak mengerti. “Hallo Ra... Hallo...??,” Ara terlonjak kaget.

“Ehh, Ohh iyaa. Gimana mas?,”

“Waaah, kamu ketahuan nih ngga ndengerin aku,” rajuknya.

“Iyaa, maaf tadi nggak jelas suarannya,”

“Oooh, intinya aku tunggu jawabannya 40 hari dari sekarang. Pikirkan baik-baik Ra,” ujar prisma lembut. “Aku sayang kamu dan berharap aku tak salah memilih, good bye!!” tutup prisma seketika. Ara tak bergeming. Bahkan handphone masih menempel di telinganya. Kali ini dia benar-benar menangis. Entah untuk alasan apa. Hanya saja, perasaannya begitu kalut. Gerimis mulai mengguyur malam yang gelap. Ara menyenderkan tubuhnya pada batang pohon di tengah taman. ‘Tuhan, Kau tau? Aku masih percaya semua yang terjadi adalah skenario-Mu. Jadi buatlah ia indah...’ Ara memejamkan matanya. Menikmati selasar malam yang basah, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam riak gerimis. Malam ini, Tuhan terasa amat dekat mendekapnya. Segera dia berwudhu dan bersujud dalam sepertiga malamnya. ^_^

_Mrs. Dy

My Real World !!


 “Saudari Drara Novia Dwi Astrini dinyatakan LULUS!”

>> 08 April 2013

Pagi pukul 03.00 WIB seperti biasa aku melakukan rutinitas harianku. Bertahajud lalu melanjutkan belajar hingga shubuh menjelang. Hari ini memang hari yang cukup penting dalam sejarah kehidupanku. Kenapa? Karena hari ini aku akan mendapat gelar dan status baru. Gelar sarjana dan status fresh graduate S.Ikom menambah rentetan nama belakangku yang sudah cukup panjang. Setelah satu bulan ini aku bergelut dengan satu kata yang menentukan hari ini. Skripsi!

Mungkin akan berbeda dengan orang lain, aku menganggap skripsi hanyalah sebuah tugas kampus yang akan aku kerjakan jika aku mau. Terkadang, aku bisa menyelesaikan revisi dari dosen hanya dalam waktu semalam. Namun jika aku enggan mengerjakan, maka aku tak akan menyentuhnya sama sekali. Skripsi yang menjadi sebuah karya monumental mahasiswa seakan tak begitu berarti untukku. Karena aku selalu menilai akan sangat tidak adil jika waktu satu bulan untuk mengerjakan skripsi mengalahkan tiga setengah tahun perjuanganku sebagai Mahasiswi di kampus putih ini. Itu sebabnya aku tak terlalu antusias mengerjakannya.

Jika melihat kebelakang, aku cukup dipermudah oleh yang Kuasa. Berawal saat aku megajukan satu judul skripsi dan langsung mendapat ACC dari Dosen pembimbing akademik ku. Kemudian, aku memperoleh pembimbing skripsi yang sudah seperti ayah sendiri hingga akhirnya aku mendapat penguji seminar yang memang cukup dekat denganku. Yaaach, Just Lucky! Hanya butuh waktu satu minggu pasca pengajuan judul, aku mengajukan diri untuk seminar proposal. Dan great! Pembimbingku meng-ACC dan seminar berjalan sangat lancar.

Berbeda dengan teman-teman sejawatku. Mereka harus mengajukan beberapa judul untuk mendapat ACC pembimbing akademik. Tak jarang juga mereka yang komplain karena pembimbing skripsinya terlampau susah ditemui atau kurang sepaham dengan ide yang mereka tuangkan. Untuk menuju seminar proposal saja mereka membutuhkan waktu hingga satu bulan, bahkan banyak yang lebih. Sekali lagi just lucky! Mungkin Tuhan sedang memihakku.

Lepas seminar, aku sedikit mengendorkan urat sarafku untuk mengerjakan skripsi. Aku berusaha menikmati detik-detik terakhirku berada di Kampus putih ini. Sebuah kampus yang memberiku nama baik dan mengajariku banyak hal. Kampus perjuangan! Kampus yang menorehkan banyak kenangan manis didalamnya. Persahabatan, persaingan, hingga kisah percintaan. Semua terbingkai indah menjadi sebuah cerita yang tak ada habisnya untuk diceritakan. Terlalu indah!

Satu minggu pasca seminar, aku melakukan penelitian di kota Kretek. Hampir dua minggu aku berada di sana. Padahal aku hanya membutuhkan waktu dua hari untuk menyelesaikan penelitianku. Refresh! Itu yang ada di benakku. Aku ingin lebih lama berada di kota ini. Satu kota yang mungkin tak lagi aku singgahi ke depannya. Dan di kota ini aku menemukan keluarga.

Usai penelitian, aku kembali menikmati draft skripsiku. Revisi demi revisi aku jalani tanpa beban. Hampir dua hari sekali aku menemui dosen pembimbingku untuk meminta arahan. Beruntung karena aku bisa leluasa datang ke rumah beliau. Itu sebabnya selama mengerjakan skripsi aku tak pernah konsultasi dengan pembimbing di Kampus. Hal itu yang menjadi pemicu pertanyaan banyak dosen lainnya. Tak jarang mereka bertanya, “Skripsi kamu gimana Ra, kok nggak ada kabarnya?” “Waah, kenapa belum skripsi Ra?” “Besok kalau sudah tertarik skripsi pembimbingnya Bapak saja ya” “Dek, yang lain sudah mulai skripsi kok kamu tenang-tenang saja?” dan masih banyak komentar lain. Aku yang ditanya hanya terdiam enggan menanggapi. “Saya sudah hampir selesai pak, bu!,” batinku tergelak.

Kurang lebih selama dua minggu aku berkutat dengan revisiku. Waktu dua minggu itu aku habiskan lebih banyak untuk menulis artikel dan novelku. Setiap harinya aku hanya menyisihkan waktu dua hingga tiga jam untuk mengerjakan skripsi. Sisanya free time! Dan kini tanggal 08 April 2013 aku bersiap untuk duduk di kursi persidangan. Menjelaskan isi skripsiku dan menjabarkan hasil risetku.

Sekali lagi just Lucky! Tapi entahlah, apakah ini tepat dikatakan sebuah keberuntungan. Skripsi ku dinobatkan sebagai trendseter di fakultas. Pasalnya aku menggabungkan ilmu umum dengan ilmu agama yang aku analisis menjadi satu kesatuan “integrasi-interkoneksi” keilmuan. Dari keistimewaan itu penguji yang biasanya hanya dua orang, khusus untuk pendadaranku menghadirkan empat orang penguji. Aku sempat khawatir di awal. Namun, setelah dipikir lebih dalam apa yang harus aku takutkan. Ini murni skripsiku, aku melakukan penelitian dan analisis sendiri. Jadi apa yang aku cemaskan?

Waktu terasa cepat berlalu, adzan shubuh mulai berkumandang. Aku bergegas mengambil air wudhu dan bersujud panjang. Pagi ini aku mendapat banyak pesan singkat dari keluarga dan sahabat dekat. Setidaknya motivasi mereka cukup mengisi stamina dan menambah semangat ku menyambut hari ini. Barokalloh! Semoga hari ini menjadi hari yang bersejarah untukku.

Tepat pukul 07.00 aku berangkat ke Kampus. Mempersiapkan diri untuk sidang hari ini. Beruntung, kakak angkatanku banyak membantu persiapanku. Mulai dari bagaimana bersikap saat presentasi, bagaimana menjawab pertanyaan, hingga hal-hal sepele seperti menyiapkan ruangan dan menjemput ketua sidang dan penguji. Dia amat membantu! Big Thanks for you sist...

Waktu pun merangkak cepat. Tiba saatnya aku berdiri sendiri di ruang tertutup ini. Hanya ada ketua sidang dan penguji yang menatapku tajam. Yaaach, aku tau itu hanya sebuah gertakan. Aku segera memulai sidang pagi itu. Satu jam aku berada di sana. Mempresentasikan isi skripsiku dan menjawab dengan singkat pertanyaan penguji. Cukup melelahkan. Akhirnya, sambil menunggu keputusan sidang, aku diminta keluar ruangan. Dan WAW!! Di luar sana banyak teman-teman dan adek-adek angkatan yang menungguku. Menantikan keputusan terbaik dari ketua sidang. Aku berhenti sejenak di depan ruang itu. sedikit terhenyak dan terharu. Entah untuk alasan apa, Tuhan menciptakan terlalu banyak orang yang menyayangiku. Aku masih terpaku saat pelukan itu menghangatkan sudut mataku. Gadis itu berbisik lirih, mempererat pelukannya. “Selamat Ra!”. Akupun membalas erat pelukannya. Sementara teman-teman yang lain tak sabar menanti ceritaku.

Tak berapa lama, aku kembali dipanggil kedalam ruangan yang cukup luas itu. Aku benar-benar tak merasa gentar sedikitpun. Kembali ku jatuhkan tubuh ini diatas kursi sidang itu. satu persatu wajah dihadapanku ku amati. Mereka sibuk dengan blanko penilaian dihadapan mereka. Sedangkan ketua sidang sibuk bercakap dengan penguji di sampingnya. Mungkin membahas keputusan akhirnya. Suasana berubah serius. Aku masih pada posisi yang sama. Menikmati dentuman suara-suara mereka beradu satu sama lain. Hingga akhirnya :

“Saudari Drara Novia Dwi Astrini, Anda dinyatakan LULUS!”

Aku tak bergeming. Hanya tersenyum lega. Satu persatu dari mereka mengucapkan satu dua patah kalimat yang menyatakan selamat. Samar aku mendengarnya. Pikiranku tak lagi berada di sana. Aku ingin segera menghubungi satu nama. MAMA!

Usai kami berfoto aku bergegas meninggalkan ruangan. Menyambut hangat ucapan demi ucapan selamat dari teman-teman yang aku temui dan segera ku kirim pesan singkat : “Mam, anakmu LuLus!” detik itu juga mama menelpon, memberi selamat dan meluapkan rasa bangganya. Suaranya samar terdengar, aku tau itu karna berbaur dengan riak dan airmatanya. “Mama, Terimakasih” hanya itu yang mampu terucap lirih oleh bibirku.

Welcome to Real World Ra..!!

Cinta itu...


Cinta seringkali datang tanpa alasan. Tanpa diduga, tanpa direncanakan. Cinta menyesap alamiah kedalam sanubari. Terpatri erat disini. Dihati kita. Kau dan Aku.

Seringkali, seseorang datang dan bertanya: “Mengapa kau mencintainya?,” atau “Mengapa kau menerimanya?”. Dan masih banyak pertanyaan serupa.

Berbicara soal cinta, apa makna luhur dibalik satu kata itu? satu kata yang membuat banyak orang lupa diri, lupa tujuan hidup bahkan lupa akhir dari kehidupan pada akhirnya meninggalkan orang yang dicintainya. Pada akhirnya cinta hanyalah sebuah ilusi yang diciptakan oleh diri sendiri. Mengalir, dan kita hanya bisa merasakannya.

Cinta, cinta dan cinta. Menjadi sajak penuh makna dari ribuan kata mutiara di Dunia. Semua memuja cinta. Orang miskin menjadi kaya karena cinta, orang sakit menjadi sehat karena cinta, orang putus asa kembali bersemangat juga karena cinta. Apakah cinta selalu berlandaskan pada hubungan sebab akibat? Entahlah, namun cinta berhasil menjadi kata penyihir yang bisa menjadi penguat dan pelengkap kebutuhan. Namun tak jarang pula kata cinta menjadi benalu dan sembilu ketika disalah artikan.

Cinta, apa makna mu sebenarnya? Siapa yang tahu. Karena cinta hanya sebuah ilusi, dan ilusi itu yang membentuk sebuah cinta. Ilusi yang memaknai lahirnya cinta. Apakah ia sebuah kebahagiaan atau sebuah luka. Yang pasti cinta selalu datang tanpa alasan! Kau dan Aku..

Mrs_Dy

.....


Ku lihat ada Prasangka dihatimu
Melihat Diriku saat ini
Karena Terpisahkan diri

Dengarkanlah Hatiku
Yang Masih Tetap Merinduimu

Aku Masih Seperti Yg Dulu
Mencintaimu Dengan Rasa Imanku
Sampai Kini Semua Belum Berubah
Sebab Cintaku Bukan Karena Dunia

Cinta Kita Karena Satu Tubuh
Yang Tak Terbatas
Jarak Dan Waktu
Andai Ada Kata Berpisah
Cukuplah Ia hanya sampai Di Mata…

Doa Cinta Ini…

up