Langit
pucat kelabu. Udara menyapu menerpa dalam hening.
Petir
datang bersautan, hujan mengguyur tak tertahan.
Menghujam,
mencabik kasar tanah gersang yang kian mengerang.
Langit
jelas menangis! Apa yang membuat kau bersedih?
***
Aku
merayap melihat hujan bertautan
Memisah
jarak diantara tirai bambu yang tergantung tegak
Ah,
hujan selalu tampak indah!
Secangkir
coffe hadir menemaniku.
Lama
dan semakin dalam aku meratap.
Hujan
menyapaku lewat bisiknya,
"Apa
yang sedang kau pikirkan, wanita?,"
Aku
tak menjawab, hujan kembali bersuara,
"Jangan
melamun, hari sudah sore, sebentar lagi adzan maghrib berkumandang, orang tua
bilang tak baik! masuklah ke dalam rumah dan hangatkan badanmu,"
Aku
menatap dalam ke arahnya,
“Aku
tidak sedang melamun, hanya memikirkan sesuatu,”
Hujan
menatap heran,
“Memikirkan
apa?,”
Aku
melempar pandang pada langit luas,
“Bukan
apa-apa, aku hanya memikirkan sesuatu yang mungkin tak sedang memikirkanku,”
Sejenak
hujan terdiam, mungkin sedang memilih pertanyaan yang tepat untukku. Sedetik kemudian
dia mendekat kearahku, membuat bajuku sedikit basah. Kembali dia bertanya,
“Sesuatu?
Mungkin lebih tepatnya seseorang. Apa benar?,”
Aku
tak bergeming. Kembali ku lihat langit yang semakin gelap. Awan kelabu berarak
semakin tebal. Hujan berseru,
“Hei
wanita! jangan hanya bersungut tak menjawab. Aku perduli dengan mu,”
Aku
tersenyum getir. Sedikit geli mendengar celotehan hujan,
“Kau
benar. Dan mungkin dia bosan memikirkan aku yang selalu merengek merindukannya,”
Hujan
semakin penasaran. Dia kembali mendekat kearahku. Aku menggeser posisi dudukku
sedikit lebih jauh dari terpaannya.
“Kenapa
dia harus bosan? Sungguh beruntung dia yang dirindukan oleh kaum hawa sepertimu”
Aku
kembali mengembangkan senyum,
“Kau
terlalu berlebihan, itu hanya persepsimu! Terlalu banyak yang menanti
kehadirannya. Aku hanya segelintir orang yang terlalu fanatik menyukainya. Ya,
belum tentu juga dia tau bahwa aku benar-benar ingin terus melihatnya. Aku tak
pernah bisa mengatakannya”
Aku
tertunduk, sementara hujan menatapku iba,
“Sudahlah,
aku bisa menyimpan rindu ini dengan sempurna. Mungkin belum saatnya dia
kembali. Mungkin suatu hari nanti aku bisa menyatakannya”
Aku
tertawa lebar. Hujan mengecilkan volumenya,
“Kau
begitu tegar wanita, aku bahkan iri pada sosok itu. Kalau boleh tau siapa dia? Mengapa
dia meninggalkanmu?”
Aku
menatapnya hangat. Sehangat rindu yang berbunga merekah. Rona wajahku memerah.
“Senja.
Sudah beberapa hari ini dia tak hadir menemani soreku, dan aku sangat
merindukannya. Dia tak sepenuhnya meninggalkanku, karena dia tak mungkin bisa
hadir setiap saat. Dia hanya sesaat. Mungkin aku merasa terlalu nyaman
dipelukannya. Aku mencintai senja ku. Meski dia tak pernah tau.”
Hatiku
berdesir. Ada sebongkah kesedihan yang mendesak butir air mata tergenang di
mataku.
“Sebesar
itu kau mencintainya?,”
Aku
mengangguk mantap. Mengusap pelan sudut mataku sebelum bendungan itu pecah.
“kenapa?”
tanyanya lagi.
Dan
aku mulai kesal pada celotehannya, ringan aku menjawab,
“Aku
sudah menyukainya sejak kecil. Sejak aku terbiasa bercengkrama dengan ibu lepas
pulang sekolah. Ibu selalu mengajakku melihat pesona jingga di langit sore. Aku
merindukannya. Merindukan keduanya. Sosok ibu dan senja. Seperti ada kehangatan
yang hadir di hatiku kala senja menyapa. Senja terlalu inidah. Dimanapun aku
berada, kemanapun kaki ini melangkah, senja tetap indah. Mungkin dia tak pernah
tau aku begitu mengagungkannya. Dia tak akan pernah mengerti itu karena terlalu
banyak yang mengaguminya. sementara aku selalu mengerti dia karena hati ini
menjadi hangat atas kehadirannya. Ya, karena aku membutuhkannya,”
Hujan
merasa bersalah,
“Apa
itu berarti aku menyakitimu?” hujan berbisik lirih nyaris tak terdengar.
Aku
menatapnya nanar. Berusaha mengartikan pertanyaannya. Aku terlonjak mengerti.
“Aku
tak sepenuhnya menyalahkanmu, hanya saja aku begitu merindukan kehadirannya
hari ini, aku menginginkan jingganya, itu saja”
Aku
dan hujan saling terdiam, tenggelam dengan pikiran masing-masing. Hujan berdentum
lirih berganti gerimis kecil.
“Apa
kau juga menyukaiku?” tanya hujan sedikit terbata.
Aku
tertawa, ku tatap hujan lekat-lekat hingga dia tersipu
“Kau
yakin ingin mendengar jawabannya?,”
Hujan
meredup surut, seolah malu atas pertanyaanku. Dia mengangguk pelan. Aku mulai
menjawab.
“Kau
mengajarkanku banyak hal. Darimu aku mengenal senyum dalam tangisan, aku mengenal
dingin dan basah dan aku mengenal pelangi yang indah, aku sangat berterima
kasih atas hadirmu,”
Hujan
mengulumkan senyumnya.
“Kau
tak benar-benar menjawabnya, wanita?,”
Aku
menengadah.
“Aku
menyukai semua ciptaan Tuhan, termasuk kamu, mentari, bintang, rembulan dan
pelangi. Tapi, bukankah hidup adalah pilihan? Dan aku memilih senja untuk ku
cintai. Karena, akan sangat tidak adil jika aku menginginkan semuanya. Termasuk
kamu. Masih banyak orang yang mencintai kalian seperti aku mencintai senja ku,”
Hujan
mengangguk mengerti. Dia tak lagi bertanya.
“Kalian
seperti barang subtitusi. Kalian tak akan hadir bersamaan. Namun kalian sama. Sama-sama
mahluk Tuhan yang indah dan di sukai banyak orang. Kalian sempurna!,”
Aku
menegaskan kalimatku. Hujan tersenyum merekah. Aku melanjutkan.
“Aku
pun tak bisa mencintai dan memiliki senja ku seutuhnya. Cinta ini aku bingkai
begitu sederhana.”
Hujan
mengernyitkan dahinya.
“Kenapa?”
tanya hujan menyelidik
“karena
DIA, Aku tak bisa egois dengan cinta ini karena ada DIA yang memiliki aku, kamu
dan senja. Bahkan semuanya,” tegasku menatap lurus ke cakrawala. Ku pejamkan
mataku merasakan kehadirannya. “Dialah Tuhan, Tuhan yang maha menciptakan dan
memusnahkan,” Aku mencoba menerobos dimensi lain dari alam spiritualku.
Hujan
menatapku. Mengikuti gerakanku , menengadah ke arah yang sama sambil memejamkan
mata. “Kita sama, wanita. Akupun hadir atas titah-Nya.” Hujan tersenyum damai. Perlahan
hujan berhenti bersamaan dengan kumandang adzan Maghrib yang mengalun indah
mengiringinya.
“Aku
pulang”.
Mrs. Dy