Renungan Sesi V : Malaikat itu Kakek

Hidup adalah perjalanan. Kadang kita menapaki jalan lurus tanpa cela, namun tak jarang kita menapak pada jalan yang berliku dengan lubang di sekitarnya. Di satu sisi kita dapat berjalan dengan cepat, di sisi yang lain kita harus berhati-hati dengan terus memperhatikan langkah kita. Tak jarang kita berhenti di satu tempat untuk beristirahat. Bersandar pada hari. Atau sekedar rehat untuk kemudian kembali berjalan. Hingga pada akhirnya kita sampai pada tempat yang kita tuju. Keabadian. Kematian.

Hari ini, sambil menyesap secangkir kopi di pelukan senja, saya banyak berpikir.

Apa makna hidup yang saya jalani saat ini? Mengapa saya di ciptakan jika pada akhirnya saya harus meninggal? Mengapa saya ada dan siapa sebenarnya orang-orang di sekitar saya?

Lama saya berpikir dan berujung ‘Buntu’. Saya tidak mendapat jawabannya.

Hingga akhirnya seseorang mengetuk daun pintu rumah saya. Seorang lelaki tua dengan pakaian lusuh dan tas di bahunya. Dengan sigap, setelah mengambil uang receh di dompet saya membukakan pintu dan menyodorkan tangan saya. Bukan menerima lelaki tua itu menunduk.

“Ini kek,” sapa saya dengan hati-hati. Entahlah, hati saya sangat iba melihat pemandangan di depan saya. Si Kakek mundur perlahan. Seolah memberi jarak percakapan kami. “Silakan di terima Kek,” saya mulai panik. Takut sesuatu yang tidak saya inginkan terjadi. Maklum saja, saat itu saya berada di rumah sendiri. Umi dan Abah sedang mengajar santri di lapangan. Saya terpaku cukup lama. Menunggu reaksi dari Kakek tersebut.

“Kakek hanya lapar dan haus, bolehkah Kakek minta sesuap nasi nak?”. Jujur saya hati saya berdesir mendengar penuturan Kakek. Saya merasa bersalah telah berpikir kurang baik terhadap sosok renta itu. Saya mengangguk.

“Duduk dulu Kek, saya ambilkan makan sebentar,” ujar saya setengah terbata. Setelah mempersilakan Kakek duduk, saya bergegas mengambil makanan dan menyajikannya di atas nampan. Tak lupa segelas air putih saya tuang sedikit lebih banyak. Saya bersyukur, sebelum berangkat tadi Umi telah mempersiapkan makan siang yang belum sempat saya makan. Dengan hati-hati saya bawa hidangan ‘seadanya’ itu. “Silakan Kek,” ucap saya pelan. Masih dengan nada sangat hati-hati. Saya kembali masuk ke dalam.

Perlahan Kakek yang masih menunduk itu membuka kertas minyak yang membungkus nasi dan lauknya. Rona wajahnya terlihat cerah. Dari bibirnya terucap syukur sebelum akhirnya ia menyantap hidangan itu. Gelas di sampingnya terlihat telah kosong. Mungkin Kakek itu benar-benar kehausan. Saya masih menatap dengan mata yang mulai berkaca. Saya balik ke dapur dan mengambil teko berisi air putih. Setelah itu saya kembali ke depan. Berniat mengisi kembali gelas yang telah mengering. “Saya tambah ya Kek”. Kakek hanya mengangguk ringan sambil berterima kasih.

“Maaf Nak, Kakek merepotkan”. Dia masih menunduk. Saya tersenyum.

“Silakan di minum, Kek”.

Lama kita saling terdiam. Kakek tampak kikuk dengan terus menyatukan jemarinya di atas lutut. Tangannya bergetar. Sesekali badannya terguncang oleh batuk yang terlihat parah. Wajahnya pucat dengan rambut yang hampir sepenuhnya memutih. Aku bisa menebak usia Kakek ini. Sekitar 65 tahun.

“Maaf Kek, kalau boleh saya tahu Kakek dari mana?,” setengah canggung saya mencoba memulai pembicaraan. Untuk pertama kalinya Kakek menegakkan kepalannya. Dia menatap mata saya kemudian kembali menunduk. Astaghfirulloh, bola matanya nyaris memutih. Mungkin dia juga terganggu dengan penglihatannya. Kakek mulai bicara.

“Sebenarnya saya bukan pengemis. Saya berasal dari kota seberang. Saya biasa berjualan di daerah sini. Jualan kain ‘serbet’,” malu-malu Kakek bercerita. saya mengangguk saja. Telinga saya merekam ucapan Kakek. “Anak saya sebelas. Yang lima sudah menikah. Sedangkan yang enam masih kecil dan ikut dengan say. Ssaya tak bisa diam saja sedangkan saya harus bertahan hidup. Saya lakukan ini mumpung kaki saya masih bisa di gerakkan,” suara Kakek mengecil. Tangannya bergetar menggenggam gelas. “Sudah seminggu ini hasil jualan saya menurun. Cuma tiga kain yang terjual. Harga satu kain Rp. 5000,00 hanya cukup untuk saya makan sehari. Biasanya saya duduk di sudut pasar menjajakan barang dagangan saya. Tapi saya sudah tidak mampu menahan lapar. Hari ini saya mencoba menjajakan dagangan saya mendatangi rumah-rumah. Tetapi saya dikira pengemis. Mereka hanya memberikan saya uang receh lalu berlalu. Saya belum sempat menawarkan dagangan saya,” Saya tersentak mendengar penuturan akhir Kakek. Merasa bersalah telah berlaku demikian juga. Lelaki itu masih menunduk. Garis wajah yang termakan usia memudarkan senyumannya. “Terimakasih Nak, yang Kuasa lebih tau ganjaran yang pantas kamu dapatkan. Satu pesan saya, hidup adalah perjalanan. Jangan pernah letih untuk berjalan sebesar apapun rintangan dihadapanmu.  Karena pada akhirnya kita akan menemukan akhir dari perjalanan hidup kita. Kematian. Jadi, teruslah berbuat baik dan lanjutkan perjalanmu. Jika kamu lelah, berhentilah sejenak. Temui mereka dengan kasih sayang dan niat yang baik. Insyaalloh kamu akan di cukupkan,” nasehat Kakek. Saya mendengarkan dengan seksama. Saya terisak lirih. Sambil berdiri Kakek itu mengulurkan tangan. “Saya pamit dulu Nak, sudah hampir petang”. Saya masih terpana melihat sosok yang benar-benar seperti malaikat di depan saya. Yaa! malaikat tanpa sayap. Sedetik kemudian saya tersadar dan membalas uluran tangannya.

“Sebentar Kek,” buru-buru saya masuk ke dalam rumah setelah menjatuhkan kening saya di atas punggung tangan Kakek. Setengah berlari saya mengambil beberapa lembar uang di laci kecil almari. Segera saya masukkan ke dalam amplop dan kembali ke depan.

Sosok itu menghilang! Si Kakek tak lagi di depan. Saya berlari ke luar gerbang rumah berharap bisa melihat Kakek itu. Namun nihil. Saya tak menemukan sosoknya. Dengan hati kecewa saya kembali terduduk di teras rumah. Merapikan sisa makan dan minum si Kakek. Saya tercengang. Tiga helai kain ‘serbet’ menggantung di dinding kursi. Dia bahkan berusaha membayar apa yang saya hidangkan ‘seadanya’itu. Adzan maghrib berkumandang. Dengan mata sembab saya masuk ke dalam rumah. Malam itu, saya enggan memejamkan mata. Berharap si Kakek kembali mengetuk daun pintu. Malaikat kehidupan. Terimakasih Kek, semoga perjalanan hidupmu menyenangkan. J


_Mrs. Dy

Renungan Sesi IV : Seekor Burung

Jika kita sedang mengalami kesulitan hidup karena terhimpit beban materi, belajarlah dari seekor burung. Apa yang bisa kita pelajari dari seekor burung? Yuk di simak ...

Setiap pagi seekor burung keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Ia sama sekali tidak memiliki tujuan ke mana dan di mana ia harus mendapat makanan. Karenanya, tak jarang ia pulang dengan tangan hampa. Ia tak dapat membawa makanan untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Namun, terkadang ia bisa pulang dengan perut kenyang dengan membawa makanan untuk keluarganya juga. Ia bahkan terbiasa ‘puasa’ karena makanan yang ia peroleh hanya cukup untuk keluarganya. 

Seekor burung sering kekurangan dan kelaparan karena ia tidak memiliki ‘kantor’ yang tetap. Sedangkan, lahan tempat ia mencari makan telah banyak di serobot dan di rusak manusia. Tapi lihatlah! Seekor burung tidak pernah mencoba bunuh diri. Ia tidak pernah dengan sengaja terbang menukik dari ketinggian dan membenturkan kepalanya ke batu cadas. Ia tidak pernah menenggelamkan diri ke dalam sungai. Ia juga tidak pernah dengan sengaja menabrakkan diri ke arah mobil yang sedang melaju di jalanan. Seekor burung selalu optimis dan yakin akan rezeki yang Tuhan janjikan.

Meski sedang kekurangan dan kelaparan, seekor burung tetap berkicau merdu dan menyambut hari dengan riangnya. Ia tampak menyadari siklus kehidupan. Adakalanya ia berada di atas, mendapat banyak makanan dan memiliki rezeki yang lebih. Namun adakalanya juga ia berada di bawah. Menahan lapar, dan hidup kekurangan. Hidupnya seringkali terancam punah. Tapi ia tak pernah mengeluh. Ia tetap menjalani harinya dengan rasa syukur.


Belajar dari seekor burung. Ini bukan soal membandingkan kemampuan manusia dengan hewan. Karena, kita tau persis bahwa hewan hanya memiliki naluri sedangkan manusia diberi akal untuk berpikir. Manusia adalah mahluk Tuhan paling sempurna. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita mulai mentelaah seberapa optimis kita dalam menjalani hidup? Jangankan kita yang memiliki akal sehat, seekor burung yang hanya punya naluri aja pantang menyerah. Mengapa kita tidak? 

Mari berbenah..

_Mrs. Dy

Renungan Sesi III : Supir Angkot

Belajar dari seorang supir angkot. Bahwasanya rezeki tak akan berpindah tangan. Karena setiap orang telah mendapat porsinya masing-masing. Dari mana asumsi diatas?

Beberapa hari ini saya tertarik untuk mengamati laju kendaraan roda empat berwarna oranye yang banyak orang menyebutnya “mikrolet” atau “kopata”. Saya sendiri lebih familiar dengan menyebutnya “angkot”. Kendaraan itu menjadi kendaraan pribadi yang selalu mengantar jemput saya setiap hari ke kantor. hehehe

Sedikit bercerita, di daerah saya tinggal memang ada banyak angkot yang beroperasi. Masing-masing angkot memiliki trayeknya masing-masing. Namun setiap trayek memiliki beberapa angkot. Sudah pasti banyak angkot yang berlomba mencari penumpang. Tak jarang ada dua hingga tiga angkot beriringan di trayek yang sama sehingga supir berusaha saling mendahului untuk mendapatkan penumpang. Kejadian yang mungkin biasa di mata kita. Tapi pernahkah kita renungkan hikmah di balik kerja keras supir angkot? Ya, ini soal rezeki Alloh SWT.

Kalian pasti pernah denger, bahwa sebenarnya rezeki masing-masing orang ada tepat di atas kepala kita. Tinggal bagaimana kita ikhtiar dan menunggu titah Alloh untuk menurunkan rezeki itu di tangan kita. Eitts, tentunya semua tak lepas dari kerja keras dan doa kita yang harus selalu diperkuat. J
Kembali ke supir angkot...

Dari pengalaman sehari-hari saya naik kendaraan umum itu, saya belajar satu hal. REZEKI. Bahwa Rezeki manusia sudah ada yang mengaturnya. Masing-masing orang memiliki porsinya. Dan Rezeki tak akan pernah tertukar.

Walaupun para supir angkot berlomba-lomba mencari penumpang di tengah banyaknya kendaraan yang sama-sama satu trayek, namun Alloh telah menitipkan rezekinya pada masing-masing supir angkot. Meskipun angkot berjalan beriringan, jika Alloh tidak menghendaki penumpang menaiki angkot yang berjalan di baris pertama, maka penumpang itu akan menaiki angkot setelahnya. Bisa jadi saat angkot pertama melintasi suatu gang, si penumpang belum terlihat batang hidungnya. Namun ketika penumpang muncul di area gang, angkot berikutnya melihat dan akhirnya rezeki datang kepadanya. Begitu seterusnya. Roda kehidupan berputar dengan adil. Sekali lagi Alloh menempatkan rezeki sesuai porsinya. Dan jangan sekali-kali kita mengeluh dan mengaduh akan rezeki Alloh. Karena sesungguhnya udara yang kita hela hingga detik ini, dan nikmat sehat yang kita rasakan saat ini, merupakan rezeki yang seringkali terlupakan bahwa ia adalah rezeki termahal.


Mari kita sejenak merenung. Semoga Alloh senantiasa melimpahkan rezeki kepada kita hamba-hambanya. Barokalloh ^_^

_Mrs. Dy

Renungan Sesi II : Life is Choice

Malam ini tertarik sekali membahas mengenai “Life is Choice”. Yap, Hidup adalah pilihan. Ini bukan hanya masalah apa yang dipilih, memilih atau terpilih. Tapi lebih kepada konteks bagimana seharusnya kita bersikap manakala dihadapkan pada suatu pilihan hidup yang turut menyemarakkan hidup kita.

Dari tema diatas, saya mengutip sebuah cerita yang ada kaitannya dengan “How to make a choice for life”. Mari di simak. J

Ada dua bibit tanaman yang terhampar di sebuah ladang yang subur. Bibit yang pertama berkata, “Aku ingin tumbuh besar, aku ingin menjejakkan akarku dalam-dalam di tanah ini dan menjulangkan tunas-tunasku di atas kerasnya tanah ini. Aku ingin membentangkan semua tunasku untuk menyampaikan salam musim semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari dan kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk daunku..”

Bibit itupun tumbuh, makin lama makin menjulang...

Bibit yang kedua bergumam, “Aku takut, jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu apa yang akan ku temui di bawah sana. Bukankah di sana sangat gelap? Dan jika ku teroboskan tunasku ke atas, bukankah nanti keindahan tunas-tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak. Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba memakannya? Dan pasti jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah. Tidak! Akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman..”

Bibit itupun menunggu dalam kesendirian. Ia tak pernah terlihat tumbuh ke permukaan tanah.

Beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu, menemukan bibit yang kedua tadi dan mencaploknya segera. (anonim)

Dari cerita diatas, Apa yang dapat kita ambil hikmahnya? Well, semua orang bebas berpendapat. Kali ini, biar saya sendiri yang menanggapinya. Hehehhe

Pilihan dan Hidup menjadi penggalan kata yang akan saling terkait apa bila di satukan. “Pilihan Hidup”. Semua akan mengalaminya. Semua akan menghadapi masa dimana ia harus memilih satu diantara dua hal atau satu diantara banyak hal. Tentu hal tersebut akan memicu keraguan, kegelisahan, rasa takut atau kebimbangan-kebimbangan yang sebenarnya pikiran kita sendiri yang menciptakannya. Kita lebih cenderung sering memilih untuk menyerah dan menghindar dari sebuah pilihan. Sehingga kata yang keluar dari mulut kita mana kala dihadapkan pada sebuah pilihan: “Terserah saja”, “Aku ngikut deh”, dan yang paling kalem: “Kamu lebih tau mana yang terbaik”. 

Helllooooooooo... ini era Demokrasi. Dikasih kesempatan bersuara malah keasyikan nebeng suara. Gimana negara ini bisa maju (Nahloooo...) :D


Dari petikan kisah di atas, mari kita belajar menentukan mana yang terbaik untuk masa depan kita. Karena masa depan bukanlah tempat yang kita tuju, namun sebuah tempat yang kita ciptakan. Maka, bersiaplah untuk memilih mana yang menjadi keputusan kita untuk hidup yang lebih baik dengan sikap optimis, terencana dan bijaksana. 

_Mrs. Dy

Renungan Sesi I : Tukang Parkir

Tukang Parkir. Apa yang kamu pikirkan tentang keberadaannya?

Right. Seseorang yang bekerja dengan jasanya untuk memandu kita memparkirkan kendaraan yang kita gunakan. Orang yang menyambut kita pertama kali saat berada di suatu tempat. Orang yang mengenakan dresscode pakaian dengan rompi orange yang menggunakan gestur tubuh sebagai alat komunikasinya. Atau sekedar orang yang mencari nafkah. Saya yakin sangat banyak devinisi yang berbeda dari setiap kepala. Itu sangat wajar. Seringkali kita memaknai satu objek dengan sudut pandang dan kaca mata yang berbeda. Dan argumen setiap orang tidak dapat di salahkan. Kecuali jika hasil argumen melenceng dari fakta di lapangan. Misalnya ketika menjawab pertanyaan di atas seseorang menjawab “tukang parkir adalah orang yang setiap hari bekerja mengemudikan pesawat jet”. Itu jelas jawaban yang tidak pada tempatnya.

Jawaban-jawaban yang telah di sebutkan di atas adalah gambaran besar kegiatan tukang parkir yang dapat kita amati secara kasat mata. Dialah orang yang pertama kali menyambut kita saat tiba di suatu tempat, memandu kita memparkirkan kendaraan dengan benar, menjaga kendaraan kita dari hal-hal yang tidak kita inginkan, dan pada akhirnya mengembalikan kendaraan kita dengan kondisi utuh dengan imbalan upah yang tidak besar jumlahnya.

Dari tugas-tugas di atas, ada satu kegiatan yang terus terang saya renungi dan saya ambil pelajarannya. “Menjaga kendaraan dari kegiatan yang tidak kita inginkan”. Tugas seorang Tukang parkir tidaklah mudah. Dia diberi kepercayaan menjaga titipan orang lain. Bahkan berusaha memantau jika sewaktu-waktu terjadi kehilangan atau tindak kejahatan lainnya. Jasa Tukang parkir sangat besar bagi kita yang menyadarinya.

“Titipan”. Menjadi satu kata yang ingin saya perdalam. Seorang Tukang parkir selalu berusaha menjaga titipannya dengan sangat hati-hati. Tujuannya satu. Agar kepercayaan yang diberikan oleh sang Empunya kendaraan terselamatkan. Dia tidak pernah sombong mana kala banyak kendaraan yang di percayakan kepadanya. Dia tak pernah sedikitpun bersedih manakala kendaraan yang di jagannya kemudian di ambil kembali oleh si Empunya. Dia ikhlas menjaga titipannya meski pada akhirnya dia tak dapat memiliki seutuhnya.

Dari situlah makna hidup yang saya pelajari. Bahwasanya, apa yang ada pada diri saya dan datang kepada saya hanyalah sebuah “Titipan” dari yang Maha Kuasa. Tuhan. Dialah pemilik diri saya dan apa yang saya bisa nikmati saat ini. Kenyataannya saya adalah Tukang Parkir untuk diri saya sendiri. Saya harus berusaha menjaga “Titipan” ini dengan sebaik-baiknya. “Titipan fisik” maupun “Titipan benda”.

Dari situ saya mulai bertanya, apa yang akan terjadi jika Tuhan ingin mengambil “Titipan” ini? Apa hak saya untuk menghardik-Nya? Memintanya mengembalikan sesuatu yang bukan menjadi milik saya sepenuhnya. Apa pantas jika saya memaki Tuhan? Apalagi men-dikte Tuhan untuk membuat abadi apa yang saya miliki saat ini. Bukankah itu mengkufurkan hidup saya?

Tuhan memberi saya fisik yang sangat biasa. Saya bersyukur karena saya terlahir normal. Tuhan memberi saya keluarga terbaik. Saya bersyukur memilikinya. Tuhan memberi saya banyak teman. Saya bersyukur karena saya tidak sendiri. Tuhan memberi saya materi yang cukup. Saya bersyukur karena saya masih bisa berbagi dengan sesama. Tuhan memberi saya lebih dan lebih. Lantas, apa alasan saya yang masih terus merasa kurang?

Belajar dari Tukang parkir. Tuhan memberi saya upah berupa pahala dan keberkahan hidup mana kala saya mampu menjaga barang “Titipan”nya. Namun, saya harus bersiap mana kala Tuhan mengambil satu di antaranya. Saya harus siap kehilangan. Saya harus bisa meng-ikhlaskan. Saya harus pandai bersyukur atas “Titipan” ini. Lantas, apa yang bisa saya sombongkan saat ini?

Kecantikan fisik pasti akan pudar. Mata dengan bulu mata yang lentik akan semakin kabur dan kehilangan cahayannya. Hidung yang terlihat mancung dengan bibir seksi yang semakin indah dengan senyumanpun akan berubah mana kala usia semakin senja. Kulit halus menjadi keriput. Dan yang kuat menjadi lemah. Inikah yang saya banggakan!

Keluarga, Teman, dan orang-orang yang saya sayangi. Mereka hanya “Titipan”. Satu persatu akan menghadap-Nya. Layaknya daun yang berguguran dari pohon. Mereka pergi dan hanya akan meninggalakan sebuah memory yang telah kita ciptakan sendiri jalan ceritanya.

Terutama materi. Harta, uang, kekayaan, jabatan, kesenangan duniawi hanyalah sebuah elegi semu yang seringkali melenakan. Seolah kita memiliki slogan “Hidup untuk Materi”. Kita lupa sedekah, lupa beribadah, lupa diri dan parahnya lagi lupa hati. Materi juga menjadi pemicu utama tindakan kejahatan. Orang berkelahi karena materi, orang bercerai karena materi, orang saling mendengki karena materi. Padahal kenyataannya, materi hanya sesaat. Tuhan tidak pernah memandang kita dari kacamata materi tetapi dari ibadah yang kita jalankan. Keyakinan yang kita pegang dan keimanan yang kita tanam dalam diri dan sanubari.


Mungkin Tuhan terlalu sayang. Tuhan terlampau bijaksana. Tuhan menciptakan semua hal yang menggembirakan hati. Tuhan menitipkan apa yang menjadi miliknya. Yaap. Semua hanya sebuah “Titipan”. Dan hanya menunggu “waktu” hingga Tuhan mengambil “Titipan” itu. 

_Mrs. Dy

Job Seeker #Part XV

Aku kembali mengikuti interview tahap 2. Kali ini dengan bahasa inggris. Dengan tetap percaya diri aku mencoba menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang di lontarkan. “I’m a native”. Hatiku menegaskan. Yap, aku bukan orang asli inggris, so pasti aku harus berpikir sebelum berkata. Hehehehe

Tapi cukup seru. Untuk masalah writing english aku memang jago. Tapi untuk speaking? Oh.. aku harus banyak berlatih lagi. Mungkin satu tahun stay di luar negeri bisa membantu. LOL

Berharap mendapat hasil terbaik. Kali ini serahkan rezekiku pada yang di atas. Jika memang pekerjaan ini baik untukku, Tuhan menyiapkannya untukku. Namun jika tidak, ini bukan jodohku.

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.

*Tobe Continue

_Mrs. Dy

up