Hidup adalah perjalanan.
Kadang kita menapaki jalan lurus tanpa cela, namun tak jarang kita menapak pada
jalan yang berliku dengan lubang di sekitarnya. Di satu sisi kita dapat
berjalan dengan cepat, di sisi yang lain kita harus berhati-hati dengan terus
memperhatikan langkah kita. Tak jarang kita berhenti di satu tempat untuk
beristirahat. Bersandar pada hari. Atau sekedar rehat untuk kemudian kembali
berjalan. Hingga pada akhirnya kita sampai pada tempat yang kita tuju. Keabadian.
Kematian.
Hari ini, sambil menyesap secangkir kopi di
pelukan senja, saya banyak berpikir.
Apa makna hidup yang saya jalani saat ini? Mengapa
saya di ciptakan jika pada akhirnya saya harus meninggal? Mengapa saya ada dan
siapa sebenarnya orang-orang di sekitar saya?
Lama saya berpikir dan berujung ‘Buntu’. Saya tidak
mendapat jawabannya.
Hingga akhirnya seseorang mengetuk daun pintu
rumah saya. Seorang lelaki tua dengan pakaian lusuh dan tas di bahunya. Dengan
sigap, setelah mengambil uang receh di dompet saya membukakan pintu dan
menyodorkan tangan saya. Bukan menerima lelaki tua itu menunduk.
“Ini kek,” sapa saya dengan hati-hati. Entahlah,
hati saya sangat iba melihat pemandangan di depan saya. Si Kakek mundur
perlahan. Seolah memberi jarak percakapan kami. “Silakan di terima Kek,” saya
mulai panik. Takut sesuatu yang tidak saya inginkan terjadi. Maklum saja, saat
itu saya berada di rumah sendiri. Umi dan Abah sedang mengajar santri di
lapangan. Saya terpaku cukup lama. Menunggu reaksi dari Kakek tersebut.
“Kakek hanya lapar dan haus, bolehkah Kakek
minta sesuap nasi nak?”. Jujur saya hati saya berdesir mendengar penuturan
Kakek. Saya merasa bersalah telah berpikir kurang baik terhadap sosok renta
itu. Saya mengangguk.
“Duduk dulu Kek, saya ambilkan makan sebentar,”
ujar saya setengah terbata. Setelah mempersilakan Kakek duduk, saya bergegas
mengambil makanan dan menyajikannya di atas nampan. Tak lupa segelas air putih saya
tuang sedikit lebih banyak. Saya bersyukur, sebelum berangkat tadi Umi telah
mempersiapkan makan siang yang belum sempat saya makan. Dengan hati-hati saya
bawa hidangan ‘seadanya’ itu. “Silakan Kek,” ucap saya pelan. Masih dengan nada
sangat hati-hati. Saya kembali masuk ke dalam.
Perlahan Kakek yang masih menunduk itu membuka kertas
minyak yang membungkus nasi dan lauknya. Rona wajahnya terlihat cerah. Dari bibirnya
terucap syukur sebelum akhirnya ia menyantap hidangan itu. Gelas di sampingnya
terlihat telah kosong. Mungkin Kakek itu benar-benar kehausan. Saya masih
menatap dengan mata yang mulai berkaca. Saya balik ke dapur dan mengambil teko
berisi air putih. Setelah itu saya kembali ke depan. Berniat mengisi kembali
gelas yang telah mengering. “Saya tambah ya Kek”. Kakek hanya mengangguk ringan
sambil berterima kasih.
“Maaf Nak, Kakek merepotkan”. Dia masih
menunduk. Saya tersenyum.
“Silakan di minum, Kek”.
Lama kita saling terdiam. Kakek tampak kikuk
dengan terus menyatukan jemarinya di atas lutut. Tangannya bergetar. Sesekali badannya
terguncang oleh batuk yang terlihat parah. Wajahnya pucat dengan rambut yang
hampir sepenuhnya memutih. Aku bisa menebak usia Kakek ini. Sekitar 65 tahun.
“Maaf Kek, kalau boleh saya tahu Kakek dari
mana?,” setengah canggung saya mencoba memulai pembicaraan. Untuk pertama
kalinya Kakek menegakkan kepalannya. Dia menatap mata saya kemudian kembali
menunduk. Astaghfirulloh, bola matanya nyaris memutih. Mungkin dia juga
terganggu dengan penglihatannya. Kakek mulai bicara.
“Sebenarnya saya bukan pengemis. Saya berasal
dari kota seberang. Saya biasa berjualan di daerah sini. Jualan kain ‘serbet’,”
malu-malu Kakek bercerita. saya mengangguk saja. Telinga saya merekam ucapan
Kakek. “Anak saya sebelas. Yang lima sudah menikah. Sedangkan yang enam masih kecil
dan ikut dengan say. Ssaya tak bisa diam saja sedangkan saya harus bertahan
hidup. Saya lakukan ini mumpung kaki saya masih bisa di gerakkan,” suara Kakek
mengecil. Tangannya bergetar menggenggam gelas. “Sudah seminggu ini hasil
jualan saya menurun. Cuma tiga kain yang terjual. Harga satu kain Rp. 5000,00 hanya
cukup untuk saya makan sehari. Biasanya saya duduk di sudut pasar menjajakan
barang dagangan saya. Tapi saya sudah tidak mampu menahan lapar. Hari ini saya mencoba
menjajakan dagangan saya mendatangi rumah-rumah. Tetapi saya dikira pengemis. Mereka
hanya memberikan saya uang receh lalu berlalu. Saya belum sempat menawarkan
dagangan saya,” Saya tersentak mendengar penuturan akhir Kakek. Merasa bersalah
telah berlaku demikian juga. Lelaki itu masih menunduk. Garis wajah yang
termakan usia memudarkan senyumannya. “Terimakasih Nak, yang Kuasa lebih tau
ganjaran yang pantas kamu dapatkan. Satu pesan saya, hidup adalah perjalanan. Jangan
pernah letih untuk berjalan sebesar apapun rintangan dihadapanmu. Karena pada akhirnya kita akan menemukan akhir
dari perjalanan hidup kita. Kematian. Jadi, teruslah berbuat baik dan lanjutkan
perjalanmu. Jika kamu lelah, berhentilah sejenak. Temui mereka dengan kasih
sayang dan niat yang baik. Insyaalloh kamu akan di cukupkan,” nasehat Kakek. Saya
mendengarkan dengan seksama. Saya terisak lirih. Sambil berdiri Kakek itu
mengulurkan tangan. “Saya pamit dulu Nak, sudah hampir petang”. Saya masih terpana
melihat sosok yang benar-benar seperti malaikat di depan saya. Yaa! malaikat
tanpa sayap. Sedetik kemudian saya tersadar dan membalas uluran tangannya.
“Sebentar Kek,” buru-buru saya masuk ke dalam
rumah setelah menjatuhkan kening saya di atas punggung tangan Kakek. Setengah
berlari saya mengambil beberapa lembar uang di laci kecil almari. Segera saya
masukkan ke dalam amplop dan kembali ke depan.
Sosok itu menghilang! Si Kakek tak lagi di
depan. Saya berlari ke luar gerbang rumah berharap bisa melihat Kakek itu.
Namun nihil. Saya tak menemukan sosoknya. Dengan hati kecewa saya kembali
terduduk di teras rumah. Merapikan sisa makan dan minum si Kakek. Saya tercengang.
Tiga helai kain ‘serbet’ menggantung di dinding kursi. Dia bahkan berusaha
membayar apa yang saya hidangkan ‘seadanya’itu. Adzan maghrib berkumandang. Dengan
mata sembab saya masuk ke dalam rumah. Malam itu, saya enggan memejamkan mata. Berharap
si Kakek kembali mengetuk daun pintu. Malaikat kehidupan. Terimakasih Kek,
semoga perjalanan hidupmu menyenangkan. J
0 komentar:
Posting Komentar