Cinta tak harus memiliki dan mencintai bukanlah
menguasai.
Biarlah aku mencintai dengan caraku sendiri.
“Aku
di jodohkan Ra,” ujar Prisma gamblang. Suaranya nyaris tak terdengar oleh
bising yang beradu dengan hati yang bergemuruh kencang. ‘Masyaalloh...’ batin
Ara tersentak. Dia tak percaya dengan ucapan lelaki di ujung telphone sana.
Nafasnya tertahan, matanya mulai berkaca-kaca. Dia menatap kosong pandangan
sekitar, seketika jemarinya terasa lemah, lututnya bergetar tak bertenaga. Dia
terduduk lemah. Sedetik kemudian dia melempar tawa, menutupi getir dalam kidung
hatinya. “Berjanjilah perasaanmu nggak akan berubah Ra,” Suara Prisma bergetar
pasrah. Prisma melanjutkan ceritanya. Mencoba memberi penjelasan kepadanya.
Ara
menatap rembulan yang tampak utuh malam ini. Awan tipis bergelanyut mesra
diantaranya. Rembulan yang seharusnya membuat ia tersenyum dan takjub karena
sempurnanya, namun tak mampu dirasakannya. ‘ Inikah alasanmu memaksaku menikah
buru-buru?,’ gumamnya
Angin
berhembus semilir beraturan. Sepoi-sepoi menari kecil diantara riuh pepohonan
di taman kecil tempat Ara bersandar. Lampu taman yang mulai redup berpendar
menemaninya dengan setia. Suasana tampak lengang. Hanya terdengar suara lirih
burung hantu bercengkrama dengan kawanannya. Nyanyian jangkrik meneriakkan
pujian doa-doa untuk sang malam.
“Hallo
Ra?,” Suara Prisma kembali terdengar mengagetkan.
Ada beban ditengah suaranya yang lantang. “Egghm, aku akan tetap memilih kamu
Ra,” tegasny. Ara menelan ludah dengan paksa. Menetralkan pikiran negatif yang
mulai berlarian menantangnya. Tentang berakhirnya hubungan mereka. Tentang
kepastian arah yang akan mereka tempuh. ‘Haruskah aku akhiri Tuhan?,” butiran
air mulai mengkristal di pelupuk matanya. Ara mendesah keras-keras.
“Mas
tidak perlu melakukan itu,” Ara mulai bersuara. “Bersikaplah seperti gelas
kosong yang belum terisi apapun. Datanglah kepadanya setelah kau teguk air yang
kini terisi di gelasmu. Biar dia bisa menuangkan air kedalam gelas yang sama
yang telah kau siapkan,”
“Aku
tak mengerti Ra,”
“Hmmm..
Jika air yang dia tuangkan lebih menyejukkan hatimu dari pada air yang telah
kau teguk, maka pilihlah dia. Namun jika kau masih merasa air semula lebih
menyejukkan, maka kembalilah. Aku menunggumu disini,” Ara menghela nafas
panjang. Suaranya mulai parau tercekat oleh riak di hatinya. Ingin menangis.
Ingin berteriak. Ingin menghujat. Tapi itu bukan cinta. Dia tergugu dalam diam.
“Tapi
aku telah memilihmu Ra, jadi apa salah jika aku ingin mempertahankan kamu dan
menyelamatkan hubungan kita hingga akhir?,”
“Itu
sangat wajar mas, bahkan akupun menginginkan kau akan melakukannya,” Ara
mencoba tersenyum. “Aku hanya tak ingin memaksakan hubungan ini jika
kenyataannya orang tuamu tak Ridho atas kita. Dan yakinlah, orang tuamu
menginginkan yang terbaik untuk masa depanmu”. Ara menutup kalimatnya. Pria di
seberang sana masih terdiam. Entah apa difikirannya. Setidaknya mereka telah
berusaha mengambil keputusan yang bijak dalam satu persoalan. Meski mungkin
pada akhirnya harus ada yang tersakiti.
Malam
semakin sunyi. Rembulan tertutup oleh awan sepenuhnya. Hanya menyisakan sedikit
sinar yang menampilkan gemintang di sekitarnya. Doa-doa sang malam masih
terpanjatkan. Hanya saja, angin seolah berhenti bernafas. Begitu tenang dan
damai. Ara menikmatinya.
Berkali-kali
ia memainkan jemarinya untuk membuat sketsa di cakrawala. Melukiskan mimpi dan
harapan yang kini hanya termaktub dalam doa. ‘Tuhan, jika memang apa yang ku
inginkan tak jadi kenyataan, maka ikhlaskan hatiku untuk menerimanya. Karena,
sepenuhnya aku meyakini apa yang Kau gariskan akan lebih indah dari sekedar
pengharapan’.
“Besok
aku berangkat Ra, aku pastikan akan aku kosongkan gelas ini. Namun aku juga
memastikan untuk pulang kepadamu. Dan bukankah lelaki memilih bukan dipilih? Aku
sayang kamu Ra,” Prisma menutup telephonnya bersamaan dengan seulas senyum yang
mengembang di bibir Ara.
“Aku
tau mas,” Ujarnya menutup malam.
0 komentar:
Posting Komentar