Cerpen (part 5): Ku serahkan Cinta pada sang Pencipta Cinta

Cinta tak harus memiliki dan mencintai bukanlah menguasai.

Biarlah aku mencintai dengan caraku sendiri.

“Aku di jodohkan Ra,” ujar Prisma gamblang. Suaranya nyaris tak terdengar oleh bising yang beradu dengan hati yang bergemuruh kencang. ‘Masyaalloh...’ batin Ara tersentak. Dia tak percaya dengan ucapan lelaki di ujung telphone sana. Nafasnya tertahan, matanya mulai berkaca-kaca. Dia menatap kosong pandangan sekitar, seketika jemarinya terasa lemah, lututnya bergetar tak bertenaga. Dia terduduk lemah. Sedetik kemudian dia melempar tawa, menutupi getir dalam kidung hatinya. “Berjanjilah perasaanmu nggak akan berubah Ra,” Suara Prisma bergetar pasrah. Prisma melanjutkan ceritanya. Mencoba memberi penjelasan kepadanya.

Ara menatap rembulan yang tampak utuh malam ini. Awan tipis bergelanyut mesra diantaranya. Rembulan yang seharusnya membuat ia tersenyum dan takjub karena sempurnanya, namun tak mampu dirasakannya. ‘ Inikah alasanmu memaksaku menikah buru-buru?,’ gumamnya

Angin berhembus semilir beraturan. Sepoi-sepoi menari kecil diantara riuh pepohonan di taman kecil tempat Ara bersandar. Lampu taman yang mulai redup berpendar menemaninya dengan setia. Suasana tampak lengang. Hanya terdengar suara lirih burung hantu bercengkrama dengan kawanannya. Nyanyian jangkrik meneriakkan pujian doa-doa untuk sang malam.

“Hallo Ra?,”  Suara Prisma kembali terdengar mengagetkan. Ada beban ditengah suaranya yang lantang. “Egghm, aku akan tetap memilih kamu Ra,” tegasny. Ara menelan ludah dengan paksa. Menetralkan pikiran negatif yang mulai berlarian menantangnya. Tentang berakhirnya hubungan mereka. Tentang kepastian arah yang akan mereka tempuh. ‘Haruskah aku akhiri Tuhan?,” butiran air mulai mengkristal di pelupuk matanya. Ara mendesah keras-keras.

“Mas tidak perlu melakukan itu,” Ara mulai bersuara. “Bersikaplah seperti gelas kosong yang belum terisi apapun. Datanglah kepadanya setelah kau teguk air yang kini terisi di gelasmu. Biar dia bisa menuangkan air kedalam gelas yang sama yang telah kau siapkan,”

“Aku tak mengerti Ra,”

“Hmmm.. Jika air yang dia tuangkan lebih menyejukkan hatimu dari pada air yang telah kau teguk, maka pilihlah dia. Namun jika kau masih merasa air semula lebih menyejukkan, maka kembalilah. Aku menunggumu disini,” Ara menghela nafas panjang. Suaranya mulai parau tercekat oleh riak di hatinya. Ingin menangis. Ingin berteriak. Ingin menghujat. Tapi itu bukan cinta. Dia tergugu dalam diam.

“Tapi aku telah memilihmu Ra, jadi apa salah jika aku ingin mempertahankan kamu dan menyelamatkan hubungan kita hingga akhir?,”

“Itu sangat wajar mas, bahkan akupun menginginkan kau akan melakukannya,” Ara mencoba tersenyum. “Aku hanya tak ingin memaksakan hubungan ini jika kenyataannya orang tuamu tak Ridho atas kita. Dan yakinlah, orang tuamu menginginkan yang terbaik untuk masa depanmu”. Ara menutup kalimatnya. Pria di seberang sana masih terdiam. Entah apa difikirannya. Setidaknya mereka telah berusaha mengambil keputusan yang bijak dalam satu persoalan. Meski mungkin pada akhirnya harus ada yang tersakiti.

Malam semakin sunyi. Rembulan tertutup oleh awan sepenuhnya. Hanya menyisakan sedikit sinar yang menampilkan gemintang di sekitarnya. Doa-doa sang malam masih terpanjatkan. Hanya saja, angin seolah berhenti bernafas. Begitu tenang dan damai. Ara menikmatinya.

Berkali-kali ia memainkan jemarinya untuk membuat sketsa di cakrawala. Melukiskan mimpi dan harapan yang kini hanya termaktub dalam doa. ‘Tuhan, jika memang apa yang ku inginkan tak jadi kenyataan, maka ikhlaskan hatiku untuk menerimanya. Karena, sepenuhnya aku meyakini apa yang Kau gariskan akan lebih indah dari sekedar pengharapan’.

“Besok aku berangkat Ra, aku pastikan akan aku kosongkan gelas ini. Namun aku juga memastikan untuk pulang kepadamu. Dan bukankah lelaki memilih bukan dipilih? Aku sayang kamu Ra,” Prisma menutup telephonnya bersamaan dengan seulas senyum yang mengembang di bibir Ara.


“Aku tau mas,” Ujarnya menutup malam.

0 komentar:

Posting Komentar


up