Part I
-Sepucuk Surat
Penawar Hati-
Lima
menit yang lalu aku masih bisa merasakan pelukanmu, sebelum akhirnya kau
terlelap dalam lelahmu.
Habibi,
begitu aku mampu mengganti kata ‘sayang’ yang begitu sulit ku ucapkan. Tak
apalah. Aku senang kau tidak pernah mempersoalkannya J
Banyak
hal yang sebenarnya ingin aku sampaikan soal masa depan. Tapi entahlah. Berada
dekat disampingmu membuatku mengesampingkan topic itu. Bagiku saat ini kau ada!
Dan itu cukup membuat hati lega.
Bi,
tujuh bulan sudah kita habiskan waktu yang cukup membuat payah. Pasalnya jarak
selalu menjadi ukuran akan keyakinan dan kepercayaan kita masing-masing. Aku
yakin kamu juga merasa lelah. Hanya mungkin kau terlalu sabar menanti waktu
yang tepat tiba. Tidakkah aku sangat beruntung?
Disisi
lain, apa yang kamu harapkan kedeapannya bi? Jujur saja aku merasa sangat
bersalah dengan situasi dan kondisi hubungan kita ini. Seandainya aku terlahir
dari keluarga seperti yang lain, mungkin kau tak harus menunggu selama itu. Dan
kau tak lagi ragu menyatakan kapan dan dimana kita menikah nanti. Jujurlah. Kau
pasti segan untuk mengatakan keraguanmu pada mereka. Orang tua dan
teman-temanmu.
Maaf
bi. Aku sangat menyesal membiarkanmu terlibat dalam kondisi seperti ini.
Tidakkah kau tau aku benar-benar bersalah?
Jika
aku diberi kesempatan untuk memperbaiki hari, dan jika waktu mengizinkan
berputar mundur, kau tau apa yang ingin ku lakukan? Tentu bukan berharap aku
tak memiliki perasaan ini kepadamu. Melainkan aku ingin menunda “perceraian”
mama dan papaku. Mungkinkah? Aku tau itu sangat tak mungkin. Tapi lihatlah. Aku
menyakitimu atas peristiwa-peristiwa masa lalu yang pada akhirnya melibatkanmu.
Bi,
maaf atas ketidak sempurnaanku.
_Mrs. Dy
0 komentar:
Posting Komentar