“Saya masih ingin sekolah! Saya masih ingin
senang-senang! Masih ingin ini dan itu!”
Begitulah.
Seperti itu dulu saya berpikir. Dunia terlalu cepat untuk saya berkembang.
Tumbuh dan besar.
Rasanya,
baru hari kemarin saya menikmati masa taman kanak-kanak. Bermain ayunan dengan
teman-teman, bergelanyut manja di punggung ibu, dan minta ini itu dengan
rengekan dan tangisan. Sudah biasa! Sejak kecil saya memang terkenal cengeng
dan manja.
Masih
di hari kemarin, saya menginjakkan kaki di bangku sekolah yang bernama Sekolah
Dasar. Disana saya belajar membaca dengan lancar, berhitung dan mengaji. “Alif,
Ba’, Ta’, Tsa’, Jim….” Begitu guru agama saya mengeja lafal demi lafal yang
sekarang mulai terbiasa saya kecap dan baca. Rasa syukur membuncah di hati
saya. Saya bangga dengan guru-guru saya. Mereka membuat saya kaya akan ilmu.
Pandai ilmu umum dan pandai mengaji.
Lain
cerita dengan hari kemarin saat saya mengenakan baju seragam putih dan biru.
Masa itu saya duduk di sebuah Madrasah Tsanawiah, bukan Sekolah Menengah
Pertama seperti kakak dan adik. Entahlah. Saya memang beda. Saya selalu berbuat
sesuai nurani saya. Tentunya atas dorongan Ibu saya. Tapi lihatlah. Itu yang
membuat saya bisa tahu sedikit banyak tentang agama. Minimal saya bisa menularkannya
kepada orang di sekitar saya. Menyenangkan!
Masih
di hari kemarin, saat usia saya 16 tahun, masuklah saya di sebuah Sekolah
Menengah Kejuruan di kota saya. Jangan salah! meski hanya sebuah sekolah
kejuruan, itu merupakan sekolah kejuruan negeri favorit di tempat saya. Saya belajar banyak di sana. Salah satunya
tentang kewirausahaan, kemandirian dan kerja produktif. Ya, karena memang
sekolah kejuruan di peruntukkan untuk mencetak pribadi siap kerja di perusahaan-perusahaan
negeri maupun swasta. Setidaknnya, saya bisa mendapat ilmu lebih, baik ilmu teoritik
maupun ilmu terapan dan produktif. Ilmu-ilmu itu yang membuat saya memiliki skill baik di dunia kerja. Seperti saat
ini.
Di
hari kemarin, saya bukan anak cerdas apalagi pintar. Saya hanya beruntung!
Sekali lagi saya tekankan, saya hanya beruntung. “just lucky!” kalau kata orang barat.
Setelah
di hari kemarin selama tiga tahun saya belajar dan menyerap ilmu secukupnya di
kejuruan, saya bertekad masuk di salah satu universitas negeri. Apa mungkin?
Sedangkan ilmu IPA atau IPS tidak pernah secara lengkap saya dapatkan. Paling
hanya pengantar yang membuat saya jengah mendengarkan dan memilih bermain
dengan teman sebangku atau terkantuk-kantuk sendiri di balik buku yang saya
biarkan tegak berdiri. Apa bisa saya lolos kalau nilai saya tidak bisa
dikatakan baik pada dua pelajaran itu. Apa mungkin saya lolos dengan hanya
bermodalkan tumpukan buku yang hampir setiap hari habis saya pelajari. Apa
mungkin saya lolos jika ternyata dua pelajaran itu merupakan disiplin ilmu yang
wajib dan sangat menentukan. Apa mungkin? Ah, terlalu banyak kata itu bermain
di memori saya. Kata hati mengatakan tak mungkin. Namun semangat Ibu yang
meletup-letup menemani saya tak tidur hingga dini hari demi munajad doa-doannya.
Motivasi Ibu yang selalu berkata saya anak paling cerdas dan pintar yang sangat
Ibu cintai. Kata-kata Ibu yang selalu terngiang di telinga saya bahwa Ibu akan
bangga jika saya bisa lolos. Hanya itu yang membuat saya ingin mencoba. Yaaa,
apapun hasilnya. Saya telah berusaha dan Tuhan yang menilai layak atau tak
layak nantinya.
Masih
di hari kemarin. Saat saya membuka situs universitas tersebut lewat internet.
Lagi dan lagi saya tekankan saya hanya beruntung. Saya lolos semua seleksi
perguruan negeri yang saya daftar. Saya tinggal memilih, menetapkan,
memantapkan. Alhamdulillah.
Alloh
sayang. Alloh cinta. Mungkin bukan hanya dengan saya. Namun pada Ibu yang
selalu menyebut nama saya dalam doanya. Lahaulaa
Walaa Quwwataa Illa Billah..
Jejak
hari kemarin benar-benar masih terasa. Ketika pertama kali saya merasakan
kebebasan menjadi seorang mahasiswa. Meraup lebih banyak ilmu. Menerapkannya
dan tiga tahun tujuh bulan saya berhasil melewati masa itu. Masa yang panjang,
namun begitu singkat dalam ingatan. Sangat singkat! Seperti ketika nafas dalam
setiap detik terbuang. Seperti itu. Hidup yang berlalu tak pernah lagi akan
kembali. Hari kemarin akan tetap menjadi hari kemarin. Bersyukur saya masih
memiliki memory untuk mengingat. Merasakan setiap detik yang dulu menjadi
bagian hidup saya. Dan dihari-hari berikutnya saya yakin akan indah. Tentu
saja! Karena Alloh selalu memiliki rencana indah dibalik doa dan harapan
hambanya. Termasuk saya.
0 komentar:
Posting Komentar