Dituntut
Melahirkan SDM yang Mandiri
30 April...
Globalisasi telah membuat batas-batas antar negara
menjadi semakin kabur. Kini masyarakat dunia telah menjadi satu komunitas,
pergerakan orang dan barang tidak lagi terhalang oleh sekat politis dan
geografis. Orang dapat berpindah dari suatu belahan dunia ke belahan dunia lain
dalam hitungan menit. Barang-barang hasil produksi suatu negara dengan mudah
dapat ditemui di negara lain yang letaknya berjauhan. Hal tersebut meningkatkan
ketergantungan antar negara untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Kondisi
inilah yang mendorong dibukanya era pasar bebas.
Salah satu tindak lanjut dari adanya pasar bebas yakni
penandatanganan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). ACFTA adalah perjanjian
perdagangan bebas antara ASEAN dengan China, dimana negara-negara ASEAN bisa
dengan bebas menjual produknya di China, begitu pun sebaliknya. Idealnya, ada
keseimbangan pasar antara China dengan ASEAN. Akan tetapi kenyataannya, justru
produk China yang lebih mendominasi pasar ASEAN, terutama di Indonesia.
Sementara produk kita, tidak banyak yang bisa menembus pasar China.
Data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia menunjukkan, ada beberapa
sektor yang terkena dampak perjanjian ACFTA, di antaranya
elektronika, furnitur, produk
logam, permesinan, dan tekstil. Produk-produk China tampil
dengan harga yang lebih murah. Hal ini yang kemudian
menyebabkan produk China mudah diterima konsumen Indonesia. Romli, seorang
pengelola warung makan yang menggunakan handphone
buatan China membenarkan hal ini. “Disamping murah, produk China banyak
pilihannya. Selain itu fiturnya lengkap dan tampilannya tidak kalah dengan merk
ternama,” tuturnya.
Kondisi ini jelas mengancam keberlangsungan industri
kecil dan menengah dalam negeri. Apalagi produk China mulai menyaingi produk
lokal seperti mainan anak-anak, pakaian, hingga peralatan rumahtangga
sederhana. Bahkan, batik yang sudah diakui sebagai warisan budaya asli
Indonesia, mulai disaingi oleh produk batik buatan China yang membanjiri pasar dengan
harga yang lebih murah. “Untungnya, orang sudah tahu mana batik yang
kualitasnya bagus dan mana yang murahan,” ungkap Parmi, pengrajin batik tulis
di Pasar Beringharjo Yogyakarta, yang mengaku sementara ini belum merasa
terancam dengan kehadiran batik buatan China.
Akan tetapi bila pemerintah membiarkan hal ini, tentu
banyak UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dalam negeri yang terancam
keberlangsungan usahanya. Menurut
Rara Wulan Dwi, untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap
produk luar dan tergulingnya UKM dari pasar bebas,
pemerintah harus ikut turun tangan. ”Harus
ada bantuan dari pemerintah dan dukungan dari
semua elemen masyarakat agar UKM dapat bertahan,” ujar mahasiswi STIE YKPN Yogyakarta ini.
Terkait hal ini, Budi Santoso, Kepala Sub-Direktorat
Ekonomi Kreatif Kementerian Perdagangan RI menuturkan bahwa pemerintah telah
melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing produk lokal, seperti
dengan mengikutkan produk-produk Indonesia dalam World Expo 2010.
Budi menambahkan, pemerintah telah melakukan
antisipasi dengan membentuk Tim Peningkatan Daya Saing. Salah satu programnya
adalah gerakan ‘Aku Cinta Indonesia’ yang bertujuan meningkatkan kecintaan masyarakat
terhadap produk dalam negeri. “Kadang-kadang ketika produk dan kualitas sama,
kita masih memilih produk dari luar. Jika kita mau mengamankan pasar dalam
negeri, tentu kita harus mau menggunakan produk bangsa sendiri. Pola pikir inilah
yang harus kita rubah!” tandas Budi.
SDM Mandiri
Kalangan pengusaha juga harus memiliki rasa percaya
diri dengan produk yang dihasilkannya. Begitupun dengan mahasiswa, sebagai
calon entrepreneur muda jangan takut
untuk terus berkreasi. Wahyu Aditya, pemilik studio Hello;Motion mencontohkan animasi adalah produk kreatif yang tidak
memerlukan modal besar tetapi sangat potensial. “Salah satu produk animasi saya
digunakan sebagai media promosi pariwisata ASEAN. Kalau ini digarap serius,
potensinya sangat besar. Di
Jepang, produk animasi seperti ‘Pokemon’
bisa menghasilkan total Rp. 150 trilliun,” paparnya.
Menurut Wahyu kuncinya adalah percaya diri. “Kita jangan terlalu minder atau mudah menyerah karena
alasan-alasan klise, misalnya kita
hanya seorang mahasiswa
yang belum punya modal,” tutur pemenang International Young Creative Entrepreneur 2007 dari British Council ini.
Gagasan mendorong SDM yang kreatif dan produktif,
didukung oleh Prof. Dr. H. Musa Asy’arie,
pengusaha yang juga Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menurut Musa dunia pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam mencetak
lulusan yang kreatif, produktif, dan mandiri. “Pendidikan harus memberi bekal kepada
mahasiswa untuk dapat membaca trend
dari kehidupan masyarakat, sehingga bisa membaca peluang-peluang bisnis ke depan.
Bangsa kita memerlukan entrepreneur
yang berpendidikan agar bisa bersaing dengan pelaku bisnis global yang pada
umumnya berpendidikan tinggi,” tegasnya. Tim UIN
0 komentar:
Posting Komentar