Artikel : Nasib Buku di Era Digital 'Dari Sekadar Pajangan Hingga Bajakan'


Akademia, 03 September...

Dalam tradisi ilmu pengetahuan, buku merupakan jembatan bagi tersampainya sebuah gagasan, penemuan, ataupun keilmuan kepada khalayak tanpa harus ada pertemuan fisik dengan penemunya (ilmuan). Lewat buku, tanpa dialog langsung orang bisa memahami suatu gagasan dari orang lain. Buku menjadi pintu gerbang dimana jalan menuju pemahaman tentang keilmuan terbentang lebar dihadapannya. Sehingga keberadaanhyfnya dalam menunjang kemajuan ilmu pengetahuan mutlak adanya.
Sejak puluhan abad yang lalu, para pemikir pun telah menggunakan buku sebagai wahana dialog dan “museum” pemikiran-pemikiranya. Aristoteles, Plato, adalah nama-nama yang hidup sekitar tahun 300 SM. Tapi, hingga kini kita masih bisa merasakan gaung pemikiran-pemikiranya. Itu tidak lain adalah karena buku. Begitu pentingnya buku hingga seorang bijak mengatakan, untuk menghancurkan suatu bangsa tidak perlu memerangi bangsa itu, cukup larang mereka membaca buku, maka kehancuran akan sendirinya menghampiri bangsa itu. Tapi masalahnya sekarang, sudahkah kita menyadari hal itu?
Dalam penelusuran yang dilakukan Tim Akademia UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ada beberapa temuan menarik seputar permasalahan minat baca mahasiswa di Yogyakarta. Dalam satu kasus, Tim UIN menemukan adanya indikasi buku mulai digunakan sebagai penunjang gengsi.
Salah satunya adalah Muh. Muhlisin. Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menyatakan, sebagian besar mahasiswa ada yang belum sadar pentingnya buku. “Mahasiswa cenderung malas untuk membaca. Untuk membeli buku memang rajin, tapi setelah dibeli hanya ditaruh. Ya, Agar dikira orang pintar saja,” ujarnya.
Pengakuan senada juga keluar dari Rika. Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan A. Yani Yogyakarta ini mengaku, dirinya tidak terlalu gemar membaca buku. Kesadaran pentingnya membaca memang ada, sayangnya kesadaran itu tidak dibarengi dengan minat untuk membaca. “Saya sendiri sudah berusaha untuk menumbuhkan minat baca saya dengan menarget minimal dua kali membaca buku dalam seminggu. Tapi kenyataannya, sampai sekarang masih belum kesampaian. Waktu luang yang ada lebih saya gunakan untuk berkumpul dan ngobrol bersama teman-teman,” akunya.
Bagi sebagian orang, bertambah ataupun menurunnya minat baca mahasiswa memang tidak begitu dirasa. Tapi bagi Masril, hal itu sangat berdampak baginya. Pria yang membuka toko buku di Komplek Taman Pintar Yogyakarta ini mengungkapkan, dulu waktu tahun 90-an minat baca bisa dikatakan cukup tinggi. Kesadaran masyarakat akan pentingnya buku lumayan tinggi. Tapi, memasuki tahun 2000-an, minat baca cenderung turun. “Tapi sebenarnya Ya naik-turun. Fluktuatif kayak gitu,” akunya. Hal serupa juga dirasakan Muh. Taufiq. Pria yang telah merintis usaha toko bukunya sejak 1998 ini mengaku, dari tahun ke tahun omset penjualan bukunya cenderung menurun. “Ya ini karena banyak hal. Bisa masalah tempat, atau juga masalah minat baca masyarakatnya,” ujarnya.

Bajakan
            Pertanyaannya, apa sebenarnya yang menyebabkan menurunnya minat baca mahasiswa? Menurut Acep Maltas Mawardi, pimpinan salah satu penerbit dan distributor ini menyatakan, banyak hal yang menyebabkan turunnya minat baca. Diantaranya adalah buku bukan merupakan kebutuhan pokok seperti makanan, yang jika tidak dipenuhi kita akan mati. Sehingga, sebagian besar masyarakat tidak begitu menganggapnya penting.
Selain itu, menurut Acep, maraknya kasus-kasus pembajakan sebenarnya juga sangat berpengaruh terhadap minat baca. “Hubungannya pada penerbit. Ketika buku-buku dibajak, maka penerbit pun akan merasakan dampaknya. Masyarakat lebih suka beli yang bajakan karena lebih murah, sehingga penerbit pun omsetnya menurun dan dampaknya lama-lama ia akan bangkrut dan tutup. Kalau satu penerbit tutup, berarti satu sumber ilmu telah buntu,” jelasnya.
            Selain faktor-faktor di atas, faktor lain seperti perkembangan teknologi digital sebenarnya juga berpengaruh besar. Munculnya teknologi digital yang seharusnya memberi dampak positif bagi perkembangan minat baca ternyata berbalik. Dengan digitalisasi, masyarakat dapat lebih mudah menemukan buku bacaan di internet. “Tapi sayang perkembangan ini tidak dibarengi dengan kesadaran. Sehingga, keberadaan buku digital atau e-book pun sia-sia,” ujarnya.
            Muhammad, pemerhati kepustakaan di Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta menyatakan, perkembangan dunia buku memang sejak dulu timbul tenggelam. Banyak penerbit yang terkadang asal cetak tapi tidak tahu pasarnya dulu. “Ini berpengaruh pada kelangsungan penerbit tersebut,” ungkapnya. Disamping itu, lanjutnya, ketegasan hukum di negara ini juga tidak pernah benar-benar ditegakkan. Tingginya biaya produksi penerbit tidak dibarengi dengan pengamanan yang ketat. Pembajakan dibiarkan tanpa ada tindakan yang nyata. “Padahal itu kan jelas-jelas melanggar hukum, tapi kenapa hanya didiamkan?” gugatnya.

1 komentar:

Muhammad Adam Hussein, S.Pd mengatakan...

Sedih dong kalau ada pembajakan, tapi selalu ada pengamanan yang terbaik dari pihak profesional. Saya juga udah menjual buku digital di google play

Posting Komentar


up