KREATIF TAPI
KURANG BERETIKA
02 April...
Keberadaan
iklan bagaimanapun sangat penting dan berpengaruh dalam menentukan posisi
sebuah produk (barang dan Jasa). Tujuan
iklan adalah untuk memperkenalkan produk dengan segala fungsi dan kelebihannya,
sehingga pada akhirnya konsumen tertarik untuk membeli atau menggunakannya.
Karena itu, iklan adalah “roh” bagi produk itu sendiri.
Begitu pentingnya periklanan, bahkan ada yang menyebut tanpa iklan sebuah
produk akan sulit bersaing. Produk juga sulit memposisikan dirinya dalam
‘belantara’ persaingan regional apalagi global jika melupakan iklan.
Tuntutan dan kebutuhan untuk beriklan didukung begitu
beragamnya produk barang dan jasa, membuat ruang publik kita dipenuhi oleh
iklan. Mulai dari iklan televisi yang nyaris tak pernah terputus, radio, koran,
majalah, spanduk dan billboard,
bahkan hingga ke gang dan warung-warung kecil.
Padatnya ‘lalu lintas’ iklan ini mendorong
penyedia dan pembuat iklan untuk membuat iklan semenarik mungkin agar mampu mencuri perhatian publik.
Sayangnya, iklan yang ‘menarik’ ini seringkali diterjemahkan ke dalam bentuk
iklan yang mengangkat tema-tema bombastis dan mengada-ada. Banyak iklan yang kemudian melupakan etika dan
norma-norma dengan menampilkan tema yang tidak sesuai dengan budaya kita.
Dari segi kreatifitas, para pembuat iklan kita
dianggap sudah cukup kreatif. Sutiman, seorang penjual jajanan mengakui hal
itu. “Sebenarnya iklan di Indonesia itu bagus-bagus, bisa dilihat dari tayangan
televisi dan spanduk-spanduk yang ada. Kalau bisa, saya juga mau dibuatkan
iklan untuk dagangan saya dan jualan jamu istri saya,” katanya sambil tertawa.
Hanya saja, dari segi konten
masih banyak yang mempertanyakan, bahkan ada yang merasa dirugikan oleh iklan.
“Saya pernah terjebak dengan iklan gratis ringtone.
Saya kira benar-benar gratis, ternyata setelah itu pulsa saya terkuras oleh SMS
(layanan pesan singkat) yang tidak saya butuhkan,” kata Maman, seorang penjahit
keliling. “Itu sih penipuan. Saya kapok, akhirnya saya buang saja
kartunya dan beli yang baru,” tambahnya.
Indah Sulistyowati, mahasiswa Jurusan Kependidikan Islam
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta melihat
iklan di Indonesia
saat ini banyak yang
tidak beretika. “Bukannya mengangkat keunggulan produknya,
tetapi malah saling
menjatuhkan.
Ini kan menimbulkan
pesan dari komunikasi yang kurang baik,” katanya. Menurut Indah, contoh
iklan yang kurang beretika adalah
iklan sebuah provider telepon seluler, “Yang satu membuat iklan, yang satu mengejeknya.
Tidak ada etika yang baik dalam beriklan dan
berkompetisi.”
Senada dengan Indah, Bangiati Kurniastuti, S.Pd, mengatakan iklan kita masih kurang mendidik. Kalaupun ada
jumlahnya masih sedikit. “Pembuat iklan boleh saja berkreatifitas, tetapi
harusnya bisa mendorong motivasi dan mengandung pelajaran yang bisa dipetik,” papar
Guru SMK Putra Samoedra Yogyakarta ini.
Bangiati
juga menilai iklan telah menimbulkan dampak yang besar
tehadap gaya hidup
masyarakat. Meski
begitu, ia mengaku jarang tertarik membeli barang dari iklan di TV, “Saya lebih suka melihat
iklan di majalah atau bertanya langsung ke penjual sebagai pertimbangan membeli
produk,” tambahnya.
Zulaena Elsita, mahasiswa Pascasarjana Psikologi
Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta menambahkan,
belum ada iklan yang benar-benar
mendidik bagi masyarakat. “Walaupun
itu Iklan
Layanan
Masyarakat, pada
akhirnya hanya bertujuan membangun image
atau citra suatu instansi tertentu,” jelasnya. “Walaupun kontennya diisi dengan hal-hal yang berbau positif, intinya tetap
satu, promosi produk,” tambah Zulaena.
Febrian Zulkarnain melihat adanya dualisme pada iklan
kita. “Banyak iklan yang bagus tapi tidak mendidik, tetapi ada juga iklan yang
mendidik, tetapi tidak menarik,” kata mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan
Kalijaga ini. Menurutnya, Iklan Layanan Masyarakat sudah mendidik, tapi
penyampaiannya terlalu formal, “Kurang greget!
Saya jadi ingin belajar membuat iklan yang mendidik masyarakat agar tidak
terpengaruh oleh konsumerisme, dan menjadi lebih produktif,” tambahnya.
Hak Masyarakat
Anggota Layanan Konsumen Yogyakarta (LKY), R. Dwi Priyono, SH berpendapat, sudah banyak iklan yang baik, yang
menonjolkan segi keagamaan atau pengetahuan. Namun ada juga iklan yang tidak
sehat yang melanggar kode etik. Untuk itu, ia menyoroti pentingnya peran serta
masyarakat. “Semua kembali ke kesadaran masyarakat untuk melihat iklan dengan
lebih bijak, walaupun di sisi lain, masyarakat juga berhak untuk mendapatkan
iklan yang baik dan mendidik,” tegasnya. “Karena itu, LKY
telah bekerjasama dengan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah untuk mensosialisasikan iklan yang baik kepada masyarakat,” tambahnya.
Terkait dengan hak masyarakat, Dr. Iswandi Syahputra,
M.Si, anggota KPI Pusat menyatakan bahwa masyarakat berhak untuk mengadukan
iklan yang sekiranya melanggar etika atau merugikan. “KPI mempunyai layanan
pengaduan masyarakat tentang isi siaran, termasuk iklan. Jadi kalau ada iklan
seperti itu, adukan saja kepada KPI, kita akan menindaklanjutinya,” tegasnya.
0 komentar:
Posting Komentar