Renungan Sesi VI : Peran Ibu

Baru saja membaca sebuah artikel tentang peran seorang ibu yang begitu bijak terhadap putranya. Sang Ibu meminta putrannya berhati-hati dalam memilih pasangan hidup. Simak yuk...

Rasanya ibu tidak percaya menulis surat ini untuk kalian. Seperti baru kemarin ibu menimang kalian dalam gendongan, dan sekarang kalian sudah dewasa. Membesarkan kalian adalah masa terindah dalam hidup ibu, sekalipun ibu harus melepas karir yang cukup menjanjikan saat itu. Ibu lebih bahagia dengan pilihan menjadi ibu rumah tangga dan melihat kalian tumbuh. Tidak ada penyesalan sama sekali dengan keputusan itu.

Tibalah waktunya ibu harus membicarakan hal yang penting, yaitu masalah memilih jodoh untuk kalian. Ibu tahu, selama ini banyak perempuan yang menyukai kalian, karena kalian memang pria-pria yang berkualitas.Kalian harus bangga telah dibesarkan dalam cinta, oleh orang tua yang hebat.

Tidak perlu panjang lebar, jika bicara soal memilih jodoh atau perempuan sebagai istri, contohlah ayah kalian.

Mengenai pilih-pilih perempuan, ibu sangat mengerti jika kalian bingung, ada banyak perempuan cantik, cerdas, punya karakter, inner beauty dan perempuan hebat lainnya. Yang manakah yang harus dipilih?

Ibu akan jawab dengan jujur, inner beauty memang penting, namun harus dibungkus dengan kecantikan luar yang juga baik. Sebagai seorang pria, kamu pasti ingin mengenalkan istrimu dengan bangga pada orang lain dan keluarga, sehingga inner beauty juga harus dibarengi penampilan luar yang juga baik. Jangan sampai kamu malu karena penampilan istrimu.

Mengenai status perempuan, dalam hal materi, dari dulu ibu tidak pernah membatasi kalian boleh berteman dengan siapa, yang penting dia baik dan sopan. Apapun status sosialnya, pastikan dia baik dan sopan.

Mungkin ibu sama seperti para ibu lain yang memiliki anak laki-laki, ibu akan sangat cerewet. Bukan berarti ibu ingin mengatur masa depan kalian, namun ibu ingin yang terbaik untuk kalian. Mungkin ibu tidak bisa objektif saat menilai perempuan yang akan kalian kenalkan, namun ibu berjanji untuk bersikap adil semampu ibu.

Dan jika boleh menilai, tidak akan ada perempuan lain yang cukup pantas untuk mendapatkan kalian. Mungkin ini berlebih, tapi setinggi itulah kebanggan seorang ibu pada anak laki-lakinya. Kalian juga akan merasakannya jika kelak memiliki seorang anak.

Satu hal penting, pilihlah istri dengan bijak. Ketika kamu menikahinya, kamu menikahinya untuk seumur hidup. Lalu seperti apa saat ayah kalian jatuh cinta dulu?

* Pilihlah perempuan yang memiliki pesona kuat dalam dirinya, dan itu tidak dibuat-buat. Dulu ibu berpikir bahwa ayah kalian tidak akan suka dengan ibu, karena banyak perempuan lemah lembut dan feminin lainnya. Nyatanya, ayah kalian jatuh cinta dengan ibu, karena ibu tidak takut memanjat pohon dan berkelahi saat masih muda dulu.

Ternyata yang dibutuhkan adalah chemistry, ketika kalian merasa nyaman dan jatuh cinta dengan perempuan yang menjadi dirinya sendiri. Tanyakan pada ayah kalian, ibu tidak pernah bosan mendengar ceritanya bagaimana dia jatuh cinta dengan ibu.

* Pilih perempuan yang bisa menertawakan dirinya sendiri dan bisa melihat sisi lucu dari segala sesuatu, bukan menertawakan orang lain. Pada akhirnya, cinta akan tumbuh menjadi sesuatu yang stabil. Saat tidak ada lagi getaran dan detak jantung berdebar ketika menatap matanya, perekat cinta yang paling awet adalah tertawa. Saling tertawa dan tidak terlalu kaku mengarungi bahtera rumah tangga. Kalian akan tetap merasakan cinta, kenyamanan dan menikmati serunya hidup bersama.

* Menikahlah dengan perempuan yang memiliki prinsip dalam hidupnya, dan bagaimana dia menghormati prinsip yang sudah dia buat. Kalian memang akan jadi pemimpin dan kepala keluarga, namun dia tidak harus setuju dengan semua pemikiran dan kemauan kalian. Untuk apa menikah dengan wanita yang selalu setuju dan hanya bisa mengatakan "Ya". When two partners always agree, one of them is not necessary.

* Pilihlah perempuan yang bijak menyikapi perbedaan, mau menghargai perbedaan selera dan dalam hal apapun secara adil. Dia harus mampu berkompromi. Menikahlah dengan wanita yang bicara jujur, ini untuk kebaikan kalian.

* Yang terakhir, mungkin bukan yang paling penting.. namun.. menikahlah dengan dengan perempuan yang menghormati kalian. Ibu akan sangat marah jika ada orang yang menyakiti kalian atau berbuat kasar pada kalian, terutama di depan umum. Jangan pernah membiarkan perempuan menyakiti kalian.

Kenapa ibu menulis poin terakhir dengan tegas? Karena ibu juga ingin kalian menghargai dan menghormati perempuan yang kalian cintai. Sama besarnya seperti rasa hormat kalian pada ibu. Ingatlah, cinta tanpa rasa hormat seperti mobil tanpa setir, tidak ada gunanya.

Surat ini sangat panjang dan terkesan cerewet, namun inilah bukti cinta ibu untuk kalian, anak-anak yang sangat ibu banggakan. Semoga kalian bisa mendapatkan perempuan terbaik, perempuan yang kalian cintai, perempuan yang mau hidup senang dan susah bersama, hingga hanya maut yang memisahkan.


Renungan Sesi V : Malaikat itu Kakek

Hidup adalah perjalanan. Kadang kita menapaki jalan lurus tanpa cela, namun tak jarang kita menapak pada jalan yang berliku dengan lubang di sekitarnya. Di satu sisi kita dapat berjalan dengan cepat, di sisi yang lain kita harus berhati-hati dengan terus memperhatikan langkah kita. Tak jarang kita berhenti di satu tempat untuk beristirahat. Bersandar pada hari. Atau sekedar rehat untuk kemudian kembali berjalan. Hingga pada akhirnya kita sampai pada tempat yang kita tuju. Keabadian. Kematian.

Hari ini, sambil menyesap secangkir kopi di pelukan senja, saya banyak berpikir.

Apa makna hidup yang saya jalani saat ini? Mengapa saya di ciptakan jika pada akhirnya saya harus meninggal? Mengapa saya ada dan siapa sebenarnya orang-orang di sekitar saya?

Lama saya berpikir dan berujung ‘Buntu’. Saya tidak mendapat jawabannya.

Hingga akhirnya seseorang mengetuk daun pintu rumah saya. Seorang lelaki tua dengan pakaian lusuh dan tas di bahunya. Dengan sigap, setelah mengambil uang receh di dompet saya membukakan pintu dan menyodorkan tangan saya. Bukan menerima lelaki tua itu menunduk.

“Ini kek,” sapa saya dengan hati-hati. Entahlah, hati saya sangat iba melihat pemandangan di depan saya. Si Kakek mundur perlahan. Seolah memberi jarak percakapan kami. “Silakan di terima Kek,” saya mulai panik. Takut sesuatu yang tidak saya inginkan terjadi. Maklum saja, saat itu saya berada di rumah sendiri. Umi dan Abah sedang mengajar santri di lapangan. Saya terpaku cukup lama. Menunggu reaksi dari Kakek tersebut.

“Kakek hanya lapar dan haus, bolehkah Kakek minta sesuap nasi nak?”. Jujur saya hati saya berdesir mendengar penuturan Kakek. Saya merasa bersalah telah berpikir kurang baik terhadap sosok renta itu. Saya mengangguk.

“Duduk dulu Kek, saya ambilkan makan sebentar,” ujar saya setengah terbata. Setelah mempersilakan Kakek duduk, saya bergegas mengambil makanan dan menyajikannya di atas nampan. Tak lupa segelas air putih saya tuang sedikit lebih banyak. Saya bersyukur, sebelum berangkat tadi Umi telah mempersiapkan makan siang yang belum sempat saya makan. Dengan hati-hati saya bawa hidangan ‘seadanya’ itu. “Silakan Kek,” ucap saya pelan. Masih dengan nada sangat hati-hati. Saya kembali masuk ke dalam.

Perlahan Kakek yang masih menunduk itu membuka kertas minyak yang membungkus nasi dan lauknya. Rona wajahnya terlihat cerah. Dari bibirnya terucap syukur sebelum akhirnya ia menyantap hidangan itu. Gelas di sampingnya terlihat telah kosong. Mungkin Kakek itu benar-benar kehausan. Saya masih menatap dengan mata yang mulai berkaca. Saya balik ke dapur dan mengambil teko berisi air putih. Setelah itu saya kembali ke depan. Berniat mengisi kembali gelas yang telah mengering. “Saya tambah ya Kek”. Kakek hanya mengangguk ringan sambil berterima kasih.

“Maaf Nak, Kakek merepotkan”. Dia masih menunduk. Saya tersenyum.

“Silakan di minum, Kek”.

Lama kita saling terdiam. Kakek tampak kikuk dengan terus menyatukan jemarinya di atas lutut. Tangannya bergetar. Sesekali badannya terguncang oleh batuk yang terlihat parah. Wajahnya pucat dengan rambut yang hampir sepenuhnya memutih. Aku bisa menebak usia Kakek ini. Sekitar 65 tahun.

“Maaf Kek, kalau boleh saya tahu Kakek dari mana?,” setengah canggung saya mencoba memulai pembicaraan. Untuk pertama kalinya Kakek menegakkan kepalannya. Dia menatap mata saya kemudian kembali menunduk. Astaghfirulloh, bola matanya nyaris memutih. Mungkin dia juga terganggu dengan penglihatannya. Kakek mulai bicara.

“Sebenarnya saya bukan pengemis. Saya berasal dari kota seberang. Saya biasa berjualan di daerah sini. Jualan kain ‘serbet’,” malu-malu Kakek bercerita. saya mengangguk saja. Telinga saya merekam ucapan Kakek. “Anak saya sebelas. Yang lima sudah menikah. Sedangkan yang enam masih kecil dan ikut dengan say. Ssaya tak bisa diam saja sedangkan saya harus bertahan hidup. Saya lakukan ini mumpung kaki saya masih bisa di gerakkan,” suara Kakek mengecil. Tangannya bergetar menggenggam gelas. “Sudah seminggu ini hasil jualan saya menurun. Cuma tiga kain yang terjual. Harga satu kain Rp. 5000,00 hanya cukup untuk saya makan sehari. Biasanya saya duduk di sudut pasar menjajakan barang dagangan saya. Tapi saya sudah tidak mampu menahan lapar. Hari ini saya mencoba menjajakan dagangan saya mendatangi rumah-rumah. Tetapi saya dikira pengemis. Mereka hanya memberikan saya uang receh lalu berlalu. Saya belum sempat menawarkan dagangan saya,” Saya tersentak mendengar penuturan akhir Kakek. Merasa bersalah telah berlaku demikian juga. Lelaki itu masih menunduk. Garis wajah yang termakan usia memudarkan senyumannya. “Terimakasih Nak, yang Kuasa lebih tau ganjaran yang pantas kamu dapatkan. Satu pesan saya, hidup adalah perjalanan. Jangan pernah letih untuk berjalan sebesar apapun rintangan dihadapanmu.  Karena pada akhirnya kita akan menemukan akhir dari perjalanan hidup kita. Kematian. Jadi, teruslah berbuat baik dan lanjutkan perjalanmu. Jika kamu lelah, berhentilah sejenak. Temui mereka dengan kasih sayang dan niat yang baik. Insyaalloh kamu akan di cukupkan,” nasehat Kakek. Saya mendengarkan dengan seksama. Saya terisak lirih. Sambil berdiri Kakek itu mengulurkan tangan. “Saya pamit dulu Nak, sudah hampir petang”. Saya masih terpana melihat sosok yang benar-benar seperti malaikat di depan saya. Yaa! malaikat tanpa sayap. Sedetik kemudian saya tersadar dan membalas uluran tangannya.

“Sebentar Kek,” buru-buru saya masuk ke dalam rumah setelah menjatuhkan kening saya di atas punggung tangan Kakek. Setengah berlari saya mengambil beberapa lembar uang di laci kecil almari. Segera saya masukkan ke dalam amplop dan kembali ke depan.

Sosok itu menghilang! Si Kakek tak lagi di depan. Saya berlari ke luar gerbang rumah berharap bisa melihat Kakek itu. Namun nihil. Saya tak menemukan sosoknya. Dengan hati kecewa saya kembali terduduk di teras rumah. Merapikan sisa makan dan minum si Kakek. Saya tercengang. Tiga helai kain ‘serbet’ menggantung di dinding kursi. Dia bahkan berusaha membayar apa yang saya hidangkan ‘seadanya’itu. Adzan maghrib berkumandang. Dengan mata sembab saya masuk ke dalam rumah. Malam itu, saya enggan memejamkan mata. Berharap si Kakek kembali mengetuk daun pintu. Malaikat kehidupan. Terimakasih Kek, semoga perjalanan hidupmu menyenangkan. J


_Mrs. Dy

Renungan Sesi IV : Seekor Burung

Jika kita sedang mengalami kesulitan hidup karena terhimpit beban materi, belajarlah dari seekor burung. Apa yang bisa kita pelajari dari seekor burung? Yuk di simak ...

Setiap pagi seekor burung keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Ia sama sekali tidak memiliki tujuan ke mana dan di mana ia harus mendapat makanan. Karenanya, tak jarang ia pulang dengan tangan hampa. Ia tak dapat membawa makanan untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Namun, terkadang ia bisa pulang dengan perut kenyang dengan membawa makanan untuk keluarganya juga. Ia bahkan terbiasa ‘puasa’ karena makanan yang ia peroleh hanya cukup untuk keluarganya. 

Seekor burung sering kekurangan dan kelaparan karena ia tidak memiliki ‘kantor’ yang tetap. Sedangkan, lahan tempat ia mencari makan telah banyak di serobot dan di rusak manusia. Tapi lihatlah! Seekor burung tidak pernah mencoba bunuh diri. Ia tidak pernah dengan sengaja terbang menukik dari ketinggian dan membenturkan kepalanya ke batu cadas. Ia tidak pernah menenggelamkan diri ke dalam sungai. Ia juga tidak pernah dengan sengaja menabrakkan diri ke arah mobil yang sedang melaju di jalanan. Seekor burung selalu optimis dan yakin akan rezeki yang Tuhan janjikan.

Meski sedang kekurangan dan kelaparan, seekor burung tetap berkicau merdu dan menyambut hari dengan riangnya. Ia tampak menyadari siklus kehidupan. Adakalanya ia berada di atas, mendapat banyak makanan dan memiliki rezeki yang lebih. Namun adakalanya juga ia berada di bawah. Menahan lapar, dan hidup kekurangan. Hidupnya seringkali terancam punah. Tapi ia tak pernah mengeluh. Ia tetap menjalani harinya dengan rasa syukur.


Belajar dari seekor burung. Ini bukan soal membandingkan kemampuan manusia dengan hewan. Karena, kita tau persis bahwa hewan hanya memiliki naluri sedangkan manusia diberi akal untuk berpikir. Manusia adalah mahluk Tuhan paling sempurna. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita mulai mentelaah seberapa optimis kita dalam menjalani hidup? Jangankan kita yang memiliki akal sehat, seekor burung yang hanya punya naluri aja pantang menyerah. Mengapa kita tidak? 

Mari berbenah..

_Mrs. Dy

Renungan Sesi III : Supir Angkot

Belajar dari seorang supir angkot. Bahwasanya rezeki tak akan berpindah tangan. Karena setiap orang telah mendapat porsinya masing-masing. Dari mana asumsi diatas?

Beberapa hari ini saya tertarik untuk mengamati laju kendaraan roda empat berwarna oranye yang banyak orang menyebutnya “mikrolet” atau “kopata”. Saya sendiri lebih familiar dengan menyebutnya “angkot”. Kendaraan itu menjadi kendaraan pribadi yang selalu mengantar jemput saya setiap hari ke kantor. hehehe

Sedikit bercerita, di daerah saya tinggal memang ada banyak angkot yang beroperasi. Masing-masing angkot memiliki trayeknya masing-masing. Namun setiap trayek memiliki beberapa angkot. Sudah pasti banyak angkot yang berlomba mencari penumpang. Tak jarang ada dua hingga tiga angkot beriringan di trayek yang sama sehingga supir berusaha saling mendahului untuk mendapatkan penumpang. Kejadian yang mungkin biasa di mata kita. Tapi pernahkah kita renungkan hikmah di balik kerja keras supir angkot? Ya, ini soal rezeki Alloh SWT.

Kalian pasti pernah denger, bahwa sebenarnya rezeki masing-masing orang ada tepat di atas kepala kita. Tinggal bagaimana kita ikhtiar dan menunggu titah Alloh untuk menurunkan rezeki itu di tangan kita. Eitts, tentunya semua tak lepas dari kerja keras dan doa kita yang harus selalu diperkuat. J
Kembali ke supir angkot...

Dari pengalaman sehari-hari saya naik kendaraan umum itu, saya belajar satu hal. REZEKI. Bahwa Rezeki manusia sudah ada yang mengaturnya. Masing-masing orang memiliki porsinya. Dan Rezeki tak akan pernah tertukar.

Walaupun para supir angkot berlomba-lomba mencari penumpang di tengah banyaknya kendaraan yang sama-sama satu trayek, namun Alloh telah menitipkan rezekinya pada masing-masing supir angkot. Meskipun angkot berjalan beriringan, jika Alloh tidak menghendaki penumpang menaiki angkot yang berjalan di baris pertama, maka penumpang itu akan menaiki angkot setelahnya. Bisa jadi saat angkot pertama melintasi suatu gang, si penumpang belum terlihat batang hidungnya. Namun ketika penumpang muncul di area gang, angkot berikutnya melihat dan akhirnya rezeki datang kepadanya. Begitu seterusnya. Roda kehidupan berputar dengan adil. Sekali lagi Alloh menempatkan rezeki sesuai porsinya. Dan jangan sekali-kali kita mengeluh dan mengaduh akan rezeki Alloh. Karena sesungguhnya udara yang kita hela hingga detik ini, dan nikmat sehat yang kita rasakan saat ini, merupakan rezeki yang seringkali terlupakan bahwa ia adalah rezeki termahal.


Mari kita sejenak merenung. Semoga Alloh senantiasa melimpahkan rezeki kepada kita hamba-hambanya. Barokalloh ^_^

_Mrs. Dy

Renungan Sesi II : Life is Choice

Malam ini tertarik sekali membahas mengenai “Life is Choice”. Yap, Hidup adalah pilihan. Ini bukan hanya masalah apa yang dipilih, memilih atau terpilih. Tapi lebih kepada konteks bagimana seharusnya kita bersikap manakala dihadapkan pada suatu pilihan hidup yang turut menyemarakkan hidup kita.

Dari tema diatas, saya mengutip sebuah cerita yang ada kaitannya dengan “How to make a choice for life”. Mari di simak. J

Ada dua bibit tanaman yang terhampar di sebuah ladang yang subur. Bibit yang pertama berkata, “Aku ingin tumbuh besar, aku ingin menjejakkan akarku dalam-dalam di tanah ini dan menjulangkan tunas-tunasku di atas kerasnya tanah ini. Aku ingin membentangkan semua tunasku untuk menyampaikan salam musim semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari dan kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk daunku..”

Bibit itupun tumbuh, makin lama makin menjulang...

Bibit yang kedua bergumam, “Aku takut, jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu apa yang akan ku temui di bawah sana. Bukankah di sana sangat gelap? Dan jika ku teroboskan tunasku ke atas, bukankah nanti keindahan tunas-tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak. Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba memakannya? Dan pasti jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah. Tidak! Akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman..”

Bibit itupun menunggu dalam kesendirian. Ia tak pernah terlihat tumbuh ke permukaan tanah.

Beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu, menemukan bibit yang kedua tadi dan mencaploknya segera. (anonim)

Dari cerita diatas, Apa yang dapat kita ambil hikmahnya? Well, semua orang bebas berpendapat. Kali ini, biar saya sendiri yang menanggapinya. Hehehhe

Pilihan dan Hidup menjadi penggalan kata yang akan saling terkait apa bila di satukan. “Pilihan Hidup”. Semua akan mengalaminya. Semua akan menghadapi masa dimana ia harus memilih satu diantara dua hal atau satu diantara banyak hal. Tentu hal tersebut akan memicu keraguan, kegelisahan, rasa takut atau kebimbangan-kebimbangan yang sebenarnya pikiran kita sendiri yang menciptakannya. Kita lebih cenderung sering memilih untuk menyerah dan menghindar dari sebuah pilihan. Sehingga kata yang keluar dari mulut kita mana kala dihadapkan pada sebuah pilihan: “Terserah saja”, “Aku ngikut deh”, dan yang paling kalem: “Kamu lebih tau mana yang terbaik”. 

Helllooooooooo... ini era Demokrasi. Dikasih kesempatan bersuara malah keasyikan nebeng suara. Gimana negara ini bisa maju (Nahloooo...) :D


Dari petikan kisah di atas, mari kita belajar menentukan mana yang terbaik untuk masa depan kita. Karena masa depan bukanlah tempat yang kita tuju, namun sebuah tempat yang kita ciptakan. Maka, bersiaplah untuk memilih mana yang menjadi keputusan kita untuk hidup yang lebih baik dengan sikap optimis, terencana dan bijaksana. 

_Mrs. Dy

Renungan Sesi I : Tukang Parkir

Tukang Parkir. Apa yang kamu pikirkan tentang keberadaannya?

Right. Seseorang yang bekerja dengan jasanya untuk memandu kita memparkirkan kendaraan yang kita gunakan. Orang yang menyambut kita pertama kali saat berada di suatu tempat. Orang yang mengenakan dresscode pakaian dengan rompi orange yang menggunakan gestur tubuh sebagai alat komunikasinya. Atau sekedar orang yang mencari nafkah. Saya yakin sangat banyak devinisi yang berbeda dari setiap kepala. Itu sangat wajar. Seringkali kita memaknai satu objek dengan sudut pandang dan kaca mata yang berbeda. Dan argumen setiap orang tidak dapat di salahkan. Kecuali jika hasil argumen melenceng dari fakta di lapangan. Misalnya ketika menjawab pertanyaan di atas seseorang menjawab “tukang parkir adalah orang yang setiap hari bekerja mengemudikan pesawat jet”. Itu jelas jawaban yang tidak pada tempatnya.

Jawaban-jawaban yang telah di sebutkan di atas adalah gambaran besar kegiatan tukang parkir yang dapat kita amati secara kasat mata. Dialah orang yang pertama kali menyambut kita saat tiba di suatu tempat, memandu kita memparkirkan kendaraan dengan benar, menjaga kendaraan kita dari hal-hal yang tidak kita inginkan, dan pada akhirnya mengembalikan kendaraan kita dengan kondisi utuh dengan imbalan upah yang tidak besar jumlahnya.

Dari tugas-tugas di atas, ada satu kegiatan yang terus terang saya renungi dan saya ambil pelajarannya. “Menjaga kendaraan dari kegiatan yang tidak kita inginkan”. Tugas seorang Tukang parkir tidaklah mudah. Dia diberi kepercayaan menjaga titipan orang lain. Bahkan berusaha memantau jika sewaktu-waktu terjadi kehilangan atau tindak kejahatan lainnya. Jasa Tukang parkir sangat besar bagi kita yang menyadarinya.

“Titipan”. Menjadi satu kata yang ingin saya perdalam. Seorang Tukang parkir selalu berusaha menjaga titipannya dengan sangat hati-hati. Tujuannya satu. Agar kepercayaan yang diberikan oleh sang Empunya kendaraan terselamatkan. Dia tidak pernah sombong mana kala banyak kendaraan yang di percayakan kepadanya. Dia tak pernah sedikitpun bersedih manakala kendaraan yang di jagannya kemudian di ambil kembali oleh si Empunya. Dia ikhlas menjaga titipannya meski pada akhirnya dia tak dapat memiliki seutuhnya.

Dari situlah makna hidup yang saya pelajari. Bahwasanya, apa yang ada pada diri saya dan datang kepada saya hanyalah sebuah “Titipan” dari yang Maha Kuasa. Tuhan. Dialah pemilik diri saya dan apa yang saya bisa nikmati saat ini. Kenyataannya saya adalah Tukang Parkir untuk diri saya sendiri. Saya harus berusaha menjaga “Titipan” ini dengan sebaik-baiknya. “Titipan fisik” maupun “Titipan benda”.

Dari situ saya mulai bertanya, apa yang akan terjadi jika Tuhan ingin mengambil “Titipan” ini? Apa hak saya untuk menghardik-Nya? Memintanya mengembalikan sesuatu yang bukan menjadi milik saya sepenuhnya. Apa pantas jika saya memaki Tuhan? Apalagi men-dikte Tuhan untuk membuat abadi apa yang saya miliki saat ini. Bukankah itu mengkufurkan hidup saya?

Tuhan memberi saya fisik yang sangat biasa. Saya bersyukur karena saya terlahir normal. Tuhan memberi saya keluarga terbaik. Saya bersyukur memilikinya. Tuhan memberi saya banyak teman. Saya bersyukur karena saya tidak sendiri. Tuhan memberi saya materi yang cukup. Saya bersyukur karena saya masih bisa berbagi dengan sesama. Tuhan memberi saya lebih dan lebih. Lantas, apa alasan saya yang masih terus merasa kurang?

Belajar dari Tukang parkir. Tuhan memberi saya upah berupa pahala dan keberkahan hidup mana kala saya mampu menjaga barang “Titipan”nya. Namun, saya harus bersiap mana kala Tuhan mengambil satu di antaranya. Saya harus siap kehilangan. Saya harus bisa meng-ikhlaskan. Saya harus pandai bersyukur atas “Titipan” ini. Lantas, apa yang bisa saya sombongkan saat ini?

Kecantikan fisik pasti akan pudar. Mata dengan bulu mata yang lentik akan semakin kabur dan kehilangan cahayannya. Hidung yang terlihat mancung dengan bibir seksi yang semakin indah dengan senyumanpun akan berubah mana kala usia semakin senja. Kulit halus menjadi keriput. Dan yang kuat menjadi lemah. Inikah yang saya banggakan!

Keluarga, Teman, dan orang-orang yang saya sayangi. Mereka hanya “Titipan”. Satu persatu akan menghadap-Nya. Layaknya daun yang berguguran dari pohon. Mereka pergi dan hanya akan meninggalakan sebuah memory yang telah kita ciptakan sendiri jalan ceritanya.

Terutama materi. Harta, uang, kekayaan, jabatan, kesenangan duniawi hanyalah sebuah elegi semu yang seringkali melenakan. Seolah kita memiliki slogan “Hidup untuk Materi”. Kita lupa sedekah, lupa beribadah, lupa diri dan parahnya lagi lupa hati. Materi juga menjadi pemicu utama tindakan kejahatan. Orang berkelahi karena materi, orang bercerai karena materi, orang saling mendengki karena materi. Padahal kenyataannya, materi hanya sesaat. Tuhan tidak pernah memandang kita dari kacamata materi tetapi dari ibadah yang kita jalankan. Keyakinan yang kita pegang dan keimanan yang kita tanam dalam diri dan sanubari.


Mungkin Tuhan terlalu sayang. Tuhan terlampau bijaksana. Tuhan menciptakan semua hal yang menggembirakan hati. Tuhan menitipkan apa yang menjadi miliknya. Yaap. Semua hanya sebuah “Titipan”. Dan hanya menunggu “waktu” hingga Tuhan mengambil “Titipan” itu. 

_Mrs. Dy

Job Seeker #Part XV

Aku kembali mengikuti interview tahap 2. Kali ini dengan bahasa inggris. Dengan tetap percaya diri aku mencoba menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang di lontarkan. “I’m a native”. Hatiku menegaskan. Yap, aku bukan orang asli inggris, so pasti aku harus berpikir sebelum berkata. Hehehehe

Tapi cukup seru. Untuk masalah writing english aku memang jago. Tapi untuk speaking? Oh.. aku harus banyak berlatih lagi. Mungkin satu tahun stay di luar negeri bisa membantu. LOL

Berharap mendapat hasil terbaik. Kali ini serahkan rezekiku pada yang di atas. Jika memang pekerjaan ini baik untukku, Tuhan menyiapkannya untukku. Namun jika tidak, ini bukan jodohku.

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.

*Tobe Continue

_Mrs. Dy

Job Seeker #Part XIV

Lepas wisuda aku kembali mencoba peruntungan. Kali ini bukan di kota industri, melainkan kota tempat aku menyelesaikan studyku. Mungkin hal yang sangat sulit untuk mencari pekerjaan di sini. Mengingat jarang sekali terdapat perusahaan yang bonafide dengan penawaran posisisi yang menarik. But, aku tetap mencoba. Setidaknya, orangtuaku menghendaki itu.

Hari ini aku melakukan interview pertamaku di sebuah perusahaan hosting yang letaknya tak begitu jauh dari rumah. Aku sendiri tak sengaja membaca lowongan itu yang terpampang di situs web kampusku. Padahal sebelum sebelumnya aku sama sekali tidak tertarik membukannya. Hehehehe

Ini baru awal. Masih ada 3-4 kali interview. Dan itu berarti aku harus menunggu selama satu bulan penuh. Tak apalah, kenyataannya masih banyak yang harus aku kerjakan sambil menunggu waktu itu.

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.

*Tobe Continue


_Mrs. Dy 

The End - Aku Sarjana!

”Aku Sarjana!!”

Begitulah teriakan teman-teman di sekelilingku. Memaknai satu masa dimana mungkin hanya akan dialami sekali dalam hidup. Memulai rantai kehidupan baru. Hidup yang sesungguhnya. Hidup yang benar-benar untuk mencari penghidupan. Dan kata itu seolah menjadi harapan dalam doa yang menyatu bersama kebahagiaan dari sorot-sorot mata mereka.

>> 25 Agustus 2013

Pagi pukul 04.00 aku terbangun dari tidur. Seperti biasa ku tunaikan kewajiban yang telah menjadi kebutuhanku dan bergegas mandi. Hari ini aku akan di wisuda. Tapi pikiranku masih tak bisa berada di sana. Aku kehilangan semangat untuk mengikuti acara besar itu. Mama. Seandainya dia di sini..

Selesai mandi aku terdiam cukup lama di depan cermin. ‘Apa yang harus aku lakukan dengan tubuhku,’aku tersenyum getir. Ku tatap lekat tubuhku dari ujung rambut sampai telapak kaki. Tubuh yang terbalut lilitan handuk ini menolak mengenakan kebaya yang masih menggantung di dalam lemari kayu.

Aku tau, mungkin aku bukan satu-satunya orang yang wisuda tanpa di hadiri orang tua. Tapi, apa gunanya namaku di panggil pertama kali di atas podium jika tak ada yang mendengar? Apa gunanya aku menjadi sarjana putri terbaik di fakultasku? Nothing! Aku menyerah atas pertanyaanku sendiri.

Pukul 05.00. Handphone ku ramai berdenyit sedari tadi. Banyak sekali sms masuk. Satu persatu ku baca pesan mereka.

“Ra, ayooo bangun. Aku sudah mau meluncur ke salon nih. See u there yaaa..”

“Ra, akhirnya dandan dimana nih? Aku sudah mulai di make-up,”

“Kamu sudah bersiap Ra? Pakai kebaya atau baju hitam putih nih? Ahahahaha,”

“Dandan yang cantik Ra, aku tunggu di kampus,”

“Neng, aku sudah siapin satu bunga khusus untuk kamu. Dandan yang cantik ya,”

“Nduk, hari ini wisuda ya. Selamat. Oh ya, nanti kirim yang banyak ya ke kontak mba,”

“Jeng Ara.. Selamat jeng. Akhirnya dapat gelar juga. Heehehhe. Aku tunggu di kampus. Be the best. Kita potret bareng. Narsis.,”

“Araaaaaaaaaaaa. Idih wisuda nggak kasih kabar nih. Tau gitu aku cancel ke luar kotanya. :( . Selamat Ra, jangan lupa sama aku yang masih menunggumu sampai sejauh ini,”

“Assskum Ara, sedang dimana? aku sudah sampai di tempat temenku nih. Aku minta riasin dia. Malu mau ke salon. Ara nyalon dimana ini? Sampai ketemu di podium ya,”


Aku menutup pesan yang masih tersisa beberapa. Ku letakkan kembali di atas meja tidurku. Aku merenung sejenak. Mencoba mengerti apa yang terjadi pada diri. Ku nyalakan musik Jazz sambil membereskan kamar tidur. 

Satu jam kemudian kubuka almari dan mengambil kebaya merahku. Ku kenakan sambil terus mematuk-matukkan pantulan tubuhku di cermin. Ku poles tipis wajahku untuk menghilangkan rona pucat. Aroma creamy lipstik orange merekahkan senyumku. ‘Lumayan bagus’gumamku. Ku kenakan jilbab yang senada dengan kebaya. Agar terlihat lebih berwarna kusematkan bross bulu berwarna orange yang telah ku persiapkan sebelumnya. Cukup eksotis. Hahaha 



Tepat pukul 07.00 aku siap di jemput pasanganku ke kampus. Parah. Dia datang dan aku belum siap juga. Rasanya tubuh ini tidak biasa. Benar-benar berjalan lebih lambat, beraktivitas lebih lambat, dan lebih banyak merenung dari pada mengerjakan. Aku kehilangan selera di moment besar ku sendiri. Arrrgghh!!!

Dia mengenakan baju kotak-kotak. Baju yang sebenarnya tak cukup ku suka jika di pakai oleh pria. But, apa hak ku untuk melarang? Bukankah selera masing-masing orang berbeda? :D







Salah satu yang membuat aku sedikit menyimpan senyum tidak lain karena kehadirannya. Bagaimana tidak, dia meluangkan sedikit waktunya untuk aku saja sudah cukup baik rasanya. Karena aku tak pernah meminta apapun selain pertahanan hubungan ini. For him, Thanks for coming. Thanks for living.







Aku sampai di depan gedung wisuda sekitar pukul 07.15. Dia memilih untuk kembali ke tempat adekku dan akan kembali lagi bersamanya. Aku sendiri. Berdiri diantara puluhan orang yang bergerombol sendiri-sendiri. Mereka bersama keluarganya. Aku mendengus pasrah. Tak lama kemudian handphoneku berbunyi.

“Ra, dimana?,”tanya seseorang di sebrang telphone.
“Di depan gedung. Kamu dimana jeng?,”
“Bentar lagi nyampek. Aku sama keluargaku. Nanti aku samperin kamu. Jangan sedih, aku temenin kamu,”ujarnya gamblang. Aku tersenyum.
“No matter Dear. I’m fine, nggak usah keburu, aku tunggu kamu,”ujarku mengakhiri pembicaraan.

Aku melangkah mengikuti arus wisudawan wisudawati ke serambi gedung. Mengikuti rangkaian acara foto bersama dan berbaris sesuai urutan cumlaude. Aku tampil di barisan depan mengenakan pakaian togaku. Semua melangkah dengan bangga. Dengan senyum yang mengembang dan dengan dada sedikit di busungkan. Aku berbalik melihat barisan yang berjejer di belakangku. Semua tampak menawan. Wisudawan mengenakan celana hitam dan kemeja putih beserta dasinya. Wisudawati mengenakan kebaya dengan beragam model dandanan kerudung dan riasan wajah yang semakin membuat tampak menonjol. Cantik. Semua tertutup jubah kebesaran bernama “Toga”. Jubah yang mungkin hanya akan digunakan sekali seumur hidup. Terkecuali untuk mereka yang akan melanjutkan studinya. Aku mengangguk mengerti. Ini fenomena sosial yang patut di soroti.

Aku dan semua wisudawan wisudawati mulai di arak untuk masuk ke dalam gedung. Semua berjalan secantik dan segagah mungkin. Dengan senyum yang terus di sunggingkan ke kanan dan ke kiri. Banyak keluarga di depan yang menyambut posesi ini dan mengabadikannya. Aku tertunduk sendiri. ‘Mam, lihatlah. Aku bisa menjadi putri kebanggaan semua orang. Apa aku bisa jadi putri kebanggaan Mama juga? Aku bisa Mam’. Ku tegakkan kembali pandangan mataku. Mengikuti alur yang telah terekam di benakku. Tersenyum dan menganggukkan kepala ke sekeliling. ‘Aku ada di depan, aku tak boleh menunduk,’gertak batinku. Beberapa saat kemudian aku berhasil menjatuhkan pantatku di bangku yang telah di sediakan.

Di dalam gedung ini suasana begitu ramai. Barisan wisudawan wisuda wati duduk rapi di dalam gedung. Sedang untuk wali mahasiswa berada tepat di kursi yang telah di siapkan di atas layaknya di sebuah stadion yang dapat melihat langsung posesi wisuda di laksanakan. Entah apa yang membuat mataku berkaca-kaca. Rasa haru menyeruak dan memecahkan gemuruh yang lama ku tahan. Aku harus kuat.

Pukul 10.00 satu persatu wisudawan wisudawati dipersilakan naik keatas podium untuk pemindahan tali Toga. Dan sebentar lagi giliran fakultasku. Namaku dipanggil pertama kali. Aku berjalan mendekat ke arah dekan dan wakil dekanku. “Selamat Ra,”ujar Bapak Dekan yang memang cukup dekat denganku. Aku mengangguk pelan. Merasakan gemuruh di dada kembali bergetar. Dan sukses! Aku menjatuhkan air mata tepat saat pemindahan tali togaku. Rasa haru menyelimuti ruang hati. ‘Mama, ini untuk Mama,’pekikku sendiri.


Di akhir acara seluruh wisudawan wisudawati diminta berdiri sambil menyanyikan lagu hymne UIN Sunan Kalijaga.
U.I.N. Sunan Kalijaga islam asaz tujuanmu
Membangun citra keagungan bangsa berdasar pancasila

Intregasikan interkoneksikan agama dan ilmu semesta
Kembangkan daya patriot nusa tanah air minta baktimu
Jayalah negara jayalah bangsa UIN berkarya nyata

UIN Sunan Kalijaga Islam azas tujuanmu
Membangun citra keagungan bangsa berdasar pancasila
Intregasikan interkoneksikan agama dan ilmu semesta
Kembangkan daya patriot nusa tanah air minta baktimu
Jayalah negara jayalah bangsa UIN berkarya nyata
Amin...

Lepas acara wisuda aku bergegas pulang bersama keluarga dan juga pasanganku. Mereka datang cukup terlambat. Kita mengambil beberapa dokumentasi untuk kenang-kenangan dan makan bersama sebagai ungkapan syukur. 


Hari ini, 25 Agustus 2013. Aku resmi mendapat gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.Ikom) dan mendapat predikat Cumlaude dengan IPK 3,72.



Bagiku ini bukan sesuatu yang membanggakan. Tapi setidaknya aku bisa melukis senyum di bibir Mama. Thnks Mam. I Love You J

_Mrs. Dy

Job Seeker #Part XIII

Haii Guys.. Aku memutuskan untuk berhenti. Aku tau mungkin ini keputusan yang kurang bijak, aku memiliki tanggung jawab dan tetap harus mencoba menyelesaikan apa yang menjadi tugasku. Hmm. Tapi aku telah menyelesaikannya. Semua urusan kantor sudah aku selesaikan. Begitu pula dengan keputusanku. Aku telah mengutarakannya kepada pimpinan.

Sesuatu yang di paksakan tidak akan menuai hasil yang baik. Itulah yang saat ini aku pikirkan. Aku tidak akan bisa berkembang manakala aku tidak menikmati pekerjaanku. Minimal aku harus mencintai pekerjaanku. Tapi sampai detik ini aku tak bisa melakukannya.

Tekad sudah aku mantapkan. Hari itu juga aku ke kantor dengan membawa sepucuk surat resignku. Sangat berat. Aku tau ini sangat sulit. Mengingat kebaikan rekan-rekan kerjaku. Lingkungan kerja yang kondusif dan gaji yang cukup. Namun, hati nurani tetap mengajakku keluar. Dengan segenggam keberanian aku mengajukannya ke pimpinan. Mencoba menjelaskan duduk permasalahanku. Sekali lagi, tekadku sudah bulat. Aku berhenti.

Setelah ini, aku tahu apa yang akan terjadi. Keluarga kecil di kota ini yang menyambutku pulang tanpa ekspresi, dia yang berubah dingin dan keras seperti batu, dan rekan kantor yang menitikan air mata satu-satu. Ku nikmati setiap sudut ruang kerjaku. Bau khas aromatherapy yang menyeruak rongga penciumanku, tirai putih dan bunga lily yang mempercantik penglihatanku, dan lukisan perdesaan yang terpajang tepat di samping meja kerjaku. Haru. Sejenak mengubah keputusanku. Tapi tidak! Aku telah memutuskan, dan aku memilih tetap berhenti. Aku bersiap pulang.

Kalian, terima kasih untuk waktu dan kebersamaan ini. Juga untuk memory indah yang tertanamkan. I’m Thankful.
Aku percaya, ridho orang tua yang utama. Dan di depan sana Tuhan telah menyiapkan satu kursi untukku. Thanks God.

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.

*Tobe Continue


_Mrs. Dy

Bidadari Bermata Jeli

Tiba-tiba inget kiriman dari seorang kakak tiga tahun silam. Monggo di simak...

Ia mutiara terindah dunia Bunga terharum sepanjang masa Ada cahaya di wajahnya Betapa indah pesonanya Bidadari bermata jeli pun cemburu padanya Kelak, ia menjadi bidadari surga Terindah dari yang ada (hanan)
***
Pernahkah kamu melihat seorang bidadari? Bidadari yang bermata jeli. Yang kabarnya sangat indah dan jelita. Saya yakin kita semua belum pernah melihatnya. Kalau begitu mari kita ikuti percakapan antara Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha tentang sifat-sifat bidadari yang bermata jeli. —- Imam Ath-Thabrany mengisahkan dalam sebuah hadist, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, jelaskanlah kepadaku firman Allah tentang bidadari-bidadari yang bermata jeli’.”
Beliau menjawab, “Bidadari yang kulitnya putih, matanya jeli dan lebar, rambutnya berkilau seperti sayap burung nasar.”
Saya berkata lagi, “Jelaskan kepadaku tentang firman Allah, ‘Laksana mutiara yang tersimpan baik’.” (Al-waqi’ah : 23)
Beliau menjawab, “Kebeningannya seperti kebeningan mutiara di kedalaman lautan, tidak pernah tersentuh tangan manusia.” Saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik’.” (Ar-Rahman : 70)
Beliau menjawab, “Akhlaknya baik dan wajahnya cantik jelita”
Saya berkata lagi, Jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Seakan-akan mereka adalah telur (burung onta) yang tersimpan dengan baik’.” (Ash-Shaffat : 49)
Beliau menjawab, “Kelembutannya seperti kelembutan kulit yang ada di bagian dalam telur dan terlindung kulit telur bagian luar, atau yang biasa disebut putih telur.”
Saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Penuh cinta lagi sebaya umurnya’.” (Al-Waqi’ah : 37)
Beliau menjawab, “Mereka adalah wanita-wanita yang meninggal di dunia pada usia lanjut, dalam keadaan rabun dan beruban. Itulah yang dijadikan Allah tatkala mereka sudah tahu, lalu Dia menjadikan mereka sebagai wanita-wanita gadis, penuh cinta, bergairah, mengasihi dan umurnya sebaya.”
Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?”
Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”
Saya bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?”
Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.’.”
Saya berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang wanita di antara kami pernah menikah dengan dua, tiga, atau empat laki-laki lalu meninggal dunia. Dia masuk surga dan mereka pun masuk surga pula. Siapakah di antara laki-laki itu yang akan menjadi suaminya di surga?”
Beliau menjawab, “Wahai Ummu Salamah, wanita itu disuruh memilih, lalu dia pun memilih siapa di antara mereka yang akhlaknya paling bagus, lalu dia berkata, ‘Wahai Rabb-ku, sesungguhnya lelaki inilah yang paling baik akhlaknya tatkala hidup bersamaku di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya’. 
Wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan akhirat.” —- Sungguh indah perkataan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam yang menggambarkan tentang bidadari bermata jeli. Namun betapa lebih indah lagi dikala beliau mengatakan bahwa wanita dunia yang taat kepada Allah lebih utama dibandingkan seorang bidadari. Ya, bidadari saudaraku.
Sungguh betapa mulianya seorang muslimah yang kaffah diin islamnya. Mereka yang senantiasa menjaga ibadah dan akhlaknya, senantiasa menjaga keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah. Sungguh, betapa indah gambaran Allah kepada wanita shalehah, yang menjaga kehormatan diri dan suaminya. Yang tatkala cobaan dan ujian menimpa, hanya kesabaran dan keikhlasan yang ia tunjukkan. Di saat gemerlap dunia kian dahsyat menerpa, ia tetap teguh mempertahankan keimanannya.
Sebaik-baik perhiasan ialah wanita salehah. Dan wanita salehah adalah mereka yang menerapkan islam secara menyeluruh di dalam dirinya, sehingga kelak ia menjadi penyejuk mata bagi orang-orang di sekitarnya. Senantiasa merasakan kebaikan di manapun ia berada. Bahkan seorang “Aidh Al-Qarni menggambarkan wanita sebagai batu-batu indah seperti zamrud, berlian, intan, permata, dan sebagainya di dalam bukunya yang berjudul “Menjadi wanita paling bahagia”.
Subhanallah. Tak ada kemuliaan lain ketika Allah menyebutkan di dalam al-quran surat an-nisa ayat 34, bahwa wanita salehah adalah yang tunduk kepada Allah dan menaati suaminya, yang sangat menjaga di saat ia tak hadir sebagaimana yang diajarkan oleh Allah.
Dan bidadari pun cemburu kepada mereka karena keimanan dan kemuliaannya. Bagaimana caranya agar menjadi wanita salehah? Tentu saja dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala laranganNya. Senantiasa meningkatkan kualitas diri dan menularkannya kepada orang lain. Wanita dunia yang salehah kelak akan menjadi bidadari-bidadari surga yang begitu indah.
Thanks kak.. Renungan yang menggugah hati.. ^_^



up