Cerpen (part 4): Nasihat Sahabat


Senja mengurai senyumnya. Menampakkan keindahannya di ujung cakrawala, menampilkan keindahan tak bertepi lewat jingganya yang menyinari. Ara masih terduduk di lantai tertinggi perpustakaan. Bukan untuk membaca seperti pemandangan di sekelilingnya. Dia menekuni kegetirannya dengan menulis sambil melihat senja yang tampil dengan sempurna. Nampaknya langit sangat bersahabat. Dia selalu mengerti kala Ara menunggu senja nya.

Dia masih menulis ketika tangan hangat itu menyentuh lembut bahunya. “Tiwik,” pekik Ara setengah berteriak. “Kamu sedang apa di sini?,” Ara menutup note book greeny-nya dan mengalihkan pandangan ke arah sahabatnya.

“Pinjem buku Ra, sekalian baca-baca sedikit tadi. Emangnya kamu jauh-jauh ke perpustakaan cuma numpang curhat!,” Tiwik mencubit lengan Ara.

“Awww.. ihh.. siapa yang curhat,” Ara ngedumel sendiri. Tiwik berdecak riang.

“Uuhhmm,, masih nggak ngaku. Perlu aku baca keras-keras atau......,” Tiwik mengangkat selembar kertas ke udara. Entah bagaimana caranya tulisan yang Ara buat setengah jam lalu berpindah alih ke tangan Tiwik.

“Jangan Wikk..,” ucap Ara sedikit berteriak. Beberapa pasang mata memperhatikan tingkah kedua sahabat ini. Tiwik terbahak menang.

“Makannya lain kali kalau naroh barang hati-hati jeng. Masa kertas sepenting ini kamu selipin di buku ini,” Tiwik menunjukkan buku yang dimaksud. Ara mendelik malu.

“Astaga, ampun deh, itu tadi buku Ara pinjem sebentar. Untuk alas netbook,” Tiwik masih terbahak. “Nggak sengaja itu Wik, untung kamu nemuin, coba orang lain,” ujarnya lega. kali ini Ara mengambil paksa catatan itu. Tiwik menyerahkannya.

“Kamu lagi ada masalah Ra?, suram banget isinya,” Tiwik menjatuhkan badan disamping Ara. “Ceritalah, apa gunanya kamu terus-terusan nongkrongin benda mati kaya gini, ngajak dia bicara tapi nggak menghasilkan solusi apapun,” ujarnya. “Mending kamu share sama aku, siapa tau aku bisa meringankan beban kamu Ra,” Tiwik berkata lembut. Dia tau persis gadis yang kini duduk disampingnya bukanlah orang yang mudah mencurahkan perasaan ke orang lain. Meski kenyataannya dia selalu jadi tempat curahan hati orang-orang. Ara mengulumkan senyumnya tanpa bicara. Nampaknya Tiwik mengerti perubahan gestur tubuh Ara. Dia putuskan untuk melanjutkan membacanya. Ara kembali menyalakan monitor netbooknya, dan kembali menulis dalam diam.

“Apa Ara harus menikah muda Wik?,” ujarnya tiba-tiba. Dia merebahkan tubuhnya pada dinding kursi. Tiwik tak bergeming. Dia membiarkan Ara menyelesaikan ceritanya. “Prisma meminta Ara menikah tahun ini. Dan Ara hanya punya waktu 40 hari untuk memutuskan jawabannya,” Ara menghela nafas panjang. “Apa Ara sudah pantas untuk menjalaninya Wik? Ara takut...,” kalimatnya tercekat dalam riaknya. Kabut dimata Ara mengisyaratkan gelisahnya. Tiwik meraih tangan Ara. Berharap genggamannya dapat memberikan sedikit energi positif untuk sahabatnya.

“Ara masih ragu? Kenapa?,” tanya Tiwik lembut. Suaranya yang ringan dan sifat ke-ibuannya membuat Ara merasa nyaman disisinya.

“Ara takut Wik, Ara belum bisa menjadi istri yang baik,” ratapnya. “Dengan usia semuda ini, Ara takut hanya akan menjadi beban kedepannya,” lanjutnya dengan gamang. Tiwik mengangguk saja. Entah apa yang terlintas dipikirannya. Dia terus menyimak cerita Ara. Ara sangat antusias bercerita. Meski terbata-bata Tiwik terus mendengarkannya tanpa jeda, tanpa memperhatikan buku yang berada di tangannya, tanpa perduli lalu lalang mahasiswa yang masih memadati gedung berlantai empat itu. Ara melepas pandang keluar jendela. Senja mengamatinya hangat. Burung-burung berterbangan diantaranya. Ara memejamkan matanya pelan, merasakan kehadiran senja dan menyimpannya. Sebuah potret yang ingin dia lihat seterusnya. “Aku menyayanginya Wik, sangat menyayanginya,” ujarnya kemudian. “Apa bisa aku bertahan?” Tiwik mempererat genggamannya.

“Aku tau ini sulit Ra,” Tiwik membenarkan posisi dudukanya. Mendekat kepadanya. “Aku tau persis kamu masih harus mengejar karir kamu dengan talenta yang kamu miliki saat ini. Tapi inget Ra, hidup itu berjalan. Waktu tak akan menunggu hingga kamu siap. Dan kamu harus memilih,” Jelasnya setengah berbisik. Alis matanya tegas, menandakan dia menanggapinya dengan serius. Ara menunduk. “Kamu harus bertahan Ra,” Lanjutnya “Buatlah keputusan sebijak mungkin. Tiwik yakin Prisma punya alasan sendiri mengapa dia mengajakmu menikah secepat itu,” Ara mengangguk mengerti. “Apa kamu tau Ra, jarang sekali ada lelaki tegas seperti itu. Kamu beruntung Ra,” Tiwik tersenyum lembut. Dia memeluk tubuh wanita disampingnya. “Dan dia juga beruntung memiliki kamu dan segala yang kamu miliki. Wanita yang multi talent dan tetap menjaga kehormatannya sebagai mahluk Tuhan yang baik. Bidadari bermata jeli,” Ara tersenyum dalam isak tangis di pelukannya. Tiwik, gadis yang selalu bisa melukis damai dalam sketsa hidupnya.

“Thanks Wik, Ara sekarang tau apa yang harus Ara lakukan,” ujarnya dalam haru. Tiwik mengangguk dalam pelukan. “Jangan pernah bosan mendengar cerita Ara. Tiwik sahabat terbaik Ara”.

“Pasti Ra, pasti!”.

Senja berpendar dari porosnya. Perlahan redup berganti awan petang. Langit jingga berubah pekat. Pukul 18.00. Tiwik dan Ara memutuskan untuk segera pulang. Mereka melangkah beriringan. Lorong-lorong perpustakaan tampak lengang. Hanya terdengar lirih suara petugas yang berbincang sambil merapikan buku-buku di meja peminjaman. Suasana yang mulai Ara suka dan Ara nikmati. Senja mengeja rasa dalam cerita. Hadir dalam waktu yang sama. Meski hanya sejenak, Ara telah menjadi bagian dari kisahnya. Senja, di sana terbingkai rindu dalam doa.

_Mrs. Dy

0 komentar:

Posting Komentar


up