Cerpen (part 3): Filosofi Hujan dan Pelangi


Hujan turun dengan derasnya ketika Ara menginjakkan kaki di sebuah kafe kecil di sudut kota. Di belakangnya, tampak seorang lelaki berpawakan tinggi mengikuti derap langkahnya. Tatapannya tegas. Lelaki itu menggunakan kemeja yang tertutup oleh jaket kulit berwarna coklat muda. Hari ini Ara pun tampak berbeda dengan dress panjang berwarna tosca. Keduanya tampak serasi. Bagaimana tidak, jika dilihat dengan kasat mata, pasangan ini memiliki ukuran tinggi yang hampir sama. Penampilan mereka juga tanpa direncanakan  mengenakan warna baju senada. Siapapun pasti mengira mereka adalah sepasang kekasih. Lupakan! Lelaki itu hanya Ara anggap sebagai sahabatnya. Meski sudah beberapa kali lelaki itu meminta Ara menajamkan hatinya. Meminta Ara menerima perasaannya. Ini tentang cinta. Namun Ara masih enggan menerimanya.

Jika di lansir lebih dalam, apa yang kurang dari lelaki itu? Lelaki cerdas dengan berbagai pengalaman kerja dan sesekali menggarap event-event besar di kotanya. Wawasannya yang luas membuat dia sering diterjunkan pada berbagai olimpiade dikampusnya. Pribadi smart, dewasa, cool dan bonus tampang diatas rata-rata yang membuatnya banyak di incar oleh wanita. Terlebih, dia calon wisudawan terbaik. Ah, klise!

Mungkin untuk sebagian orang, lelaki ini adalah lelaki yang nyaris sempurna. Hampir semua hal bisa dia miliki dengan mudah. Maklum saja, keluarganya merupakan salah satu keluarga ternama di kotanya. Ayahnya seorang pemerhati pendidikan. Sedang ibunya seorang wirausaha yang cukup berkelas. Tapi bagi Ara, itu bukan alasan dia bisa menerima cintanya. “Cinta tak bisa di beli dengan uang”. kalimat yang selalu Ara lontarkan pada teman-temannya yang mulai usil bertanya atas tindakan bodohnya.

Angin memburu sepoi-sepoi. Hujan masih terus berkejaran. Ara memilih satu tempat di lantai dua di sudut ruangan. Tempat yang biasa Ara singgahi sendiri untuk sekedar melepas lelah atau menyelesaikan tugas kuliahnya. Kafe langganan Ara ini merupakan salah satu tempat favorit yang bisa membuatnya lebih tenang dan merasa nyaman. Sesampainya diatas Ara mengernyitkan dahi. Tak ada satupun orang di ruang ini. Padahal biasanya kafe ini selalu dipadati pengunjung. ‘mungkin karena hujan,’ batinnya menimpali.

Lilin kecil menyambutnya di atas meja kecil yang telah dipersiapkan. Dengan sigap lelaki itu menyalakan api dan menyulutnya ke atas lilin. Ara menjatuhkan tubuhnya di atas kursi dengan nafas lega.  

“Kau selalu tampak cantik dibawah lilin Ra,” tiba-tiba saja lelaki itu bergumam kecil sesaat setalah terduduk tepat di hadapan Ara. Ara memicingkan matanya.

“Ih, berarti biasanya nggak cantik dong,” kedua insan itu tertawa bersama, membuka percakapan ditengah senja yang seharusnya tampak indah sore ini. Hujan membuat senja bersembunyi di singgasananya. ‘ah senja, kau membuatku kembali mengingatnya,’ desah Ara.

“Apa kabarmu Ra,” Lelaki itu kembali membuka percakapan. “Rasanya sudah lama sekali ya kita nggak ngobrol ringan kaya gini”. Ara tersenyum.

“Aku baik kok, nih buktinya masih bisa bernafas dan ketemu kamu,” ujarnya asal.

“Waah, kamu ini nggak pernah berubah ya, masih aja pinter Ngeles,” dia terkekeh sendiri. “Jadi apa yang mau kamu bicarakan? Nggak biasanya kamu duluan yang ngajak ketemu, biasanya kan aku yang harus merengek-rengek minta ketemu kamu. Yaaaa, maklumlah kamu kan cewek hiperaktif jadi suka sibuk sendiri,” lelaki itu kembali terbahak lepas. Wanita dihadapannya hanya menggeleng dan berdecak lirih. Enggan menimpali.

“Pesan makanan dulu yuk, Ara laper,” ujar Ara yang tengah disibukkan memilih menu makanan dihadapannya. Lelaki itu mengikuti arahannya.

“Coba aku tebak, pasti kamu pesan Hot coffe deh, iya nggak? Ih, nggak baik tau!” ucap lelaki itu. Pandangan masih terarah ke menu ditangannya. Ara menoleh dan buru-buru membatalkan pesanan Hot Coffe yang telah ditulisnya. Lelaki itu tersenyum geli sambil mengambil alih kertas pesanan. “Ya ampun Ra, nggak papa lagi, sekali-kali kan nggak papa. Pakek di batalin segala,” Lelaki itu kembali menuliskan Hot Coffe di kertas pesanan. Ara mendengus kesal.

“Dasar!!!,” buru-buru Ara menyibak kertas pesanan itu. Namun tangan lelaki itu dengan cekatan menarik kertas pesanannya ke udara.

“Kamu cantik kalau lagi marah gini Ra,” lelaki itu memandang mata Ara lekat. “Aku masih sayang kamu Ra,”  ujarnya lirih, nyaris tak terdengar. Ara tak menggubris rayuannya.

“Udah geeh, dipesan. Udah ditunggu tuuuh sama waiters-nya,” ujarnya, menyibak kertas itu kembali dan memberikannya ke waiters.

“Ara, ara...kamu itu!” Lelaki itu memanyunkan bibirnya. Ara tersenyum menang. “Jadi apa yang ingin kamu bicarakan Ra,” ujar lelaki itu tak sabar. Makanan yang kami pesan sudah ludes dilahap. Bahkan Ara memesan Hot coffe untuk kesekian kalinya. Lelaki itu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin dia lelah mengingatkan wanita dihadapannya untuk mengurangi konsumsi kafein. Yang dicemaskan hanya tertawa hambar.

Langit sore menuju klimaksnya. Gerimis masih menyertai di langit kelabu. Ara mulai bercerita. Mimiknya berubah serius, sedangkan lelaki itu terus menyimaknya tanpa suara. Hanya rintik hujan yang beradu dengan suara Ara. Sebenarnya, Ara mulai menyadari perubahan ekspresi lelaki dihadapannya. Namun ia tetap melanjutkan ceritanya.

Hening disana, dimatamu. Ketika aku mengungkapkan perasaanku kepadamu. Ini bukan tentang kebahagiaan, bukan pula kesedihan. Tapi ini soal keputusan. Bukankah aku berhak memutuskan? Maafkan aku, aku tak bisa menerima keputusanmu memilih cintaku

Lelaki itu memalingkan wajahnya keluar ruangan. Berdiri memegang pembatas bambu sambil terus menyimak cerita Ara. Sesekali dia menahan nafas, melihat ke arah pujaan hatinya dan kembali menerawang ke udara.

Hujan, aku bilang aku sarat dengan hadirnya, aku ingin selalu menenangkanmu. Dan kau Ara, kau bagai pelangi yang datang mengindahkannya. Hujan dan pelangi. Itulah aku dan kamu. Karena kita hidup di titik yang berbeda, pada dimensi yang berbeda, bahkan sudut yang berlawanan. Tapi sisi baiknya, kau membuat aku menjadi lebih bermakna, kau tercipta karena aku ada.

Ara terdiam usai menyelesaikan ceritanya. Ia kembali menyesap Hot coffe dihadapannya. Entah sudah berapa cangkir yang dia pesan untuk mengurangi gelisahnya. “Kamu serius Ra mau menikah semuda ini?,” Lelaki itu mulai menanggapi ceritanya. Ara mengangguk mantap. “Shiiittt... Aku kalah cepat!!,” dia mengumpat lirih. Jemarinya menggenggam keras secangkir milk tea pesanannya. Suaranya bergetar menahan emosi yang menyeruak di dinding hatinya. Ara masih bungkam. Dia kembali menyesap minumannya. “Apa salah ku Ra?,” ujarnya kemudian. Ara mengalihkan pandangan kearah lelaki itu, masih dengan tangan masih memegang cangkir di ujung mulutnya. Ara meletakkan minumannya dan memandangnya lekat.

“Ara minta maaf,” kalimat itu tercekat di mulutnya. Lelaki itu balas memandang.

“Tapi mengapa secepat ini Ra,” Ara masih terdiam, dia mengalihkan pandangan ke ruas jalan. Ada getir di sudut mata itu hingga Ara takut dan ragu melihatnya. “Bahkan aku belum membuktikan apapun atas kesungguhanku, aku benar-benar berharap kamu menjadi yang terakhir untuk aku Ra,” Ara masih terdiam. Hatinya bergemuruh menahan tangis. Ia bahkan tak tau akan berapa banyak lelaki lagi yang akan dibuatnya seperti ini. ‘Alloh, beri kekuatan pada hamba-Mu. Aku terlampau lemah menghadapi ini,’ ratapnya menahan getir. Ia kembali menatap lelaki dihadapannya. Lelaki itu tampak sedikit lebih tenang, dia menyesap milk-tea nya perlahan.

“Kamu pasti akan mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari Ara,” kali ini Ara beranikan diri untuk tersenyum, menampakkan lesung pipinya yang samar terlihat. Lelaki itu kembali menatapnya. Dia balas tersenyum dengan senyum yang sedikit dipaksakan, kemudian mengangguk ringan.

“Kamu benar Ra,” Ujar lelaki itu menerawang “kamu yang berhak memutuskan kepada siapa hatimu akan tertambat dan aku hanya seorang lelaki yang menawarkan hati ini atas cintaku,” dia menghela nafas panjang dan kembali melanjutkan “lama aku menunggumu, memang ini tanpa kau suruh. Bahkan secara sadar aku tau sudah sejak lama kau mengusir hatiku dari hidupmu. Tapi aku tak mampu melakukan apapun Ra, hati ini terus mencarimu. Berharap suatu saat nanti kau akan membuka hati,” dia tersenyum kecut mengejek dirinya sendiri. “Mungkin memang hujan hanya bisa bersanding dengan teduh, bukan pelangi,” tutupnya. Ara menyimaknya dengan setia. Mengingat kebelakang, lelaki yang dikenalnya dari sebuah event besar itu, sudah sejak setahun yang lalu memintanya. Namun Ara tak bisa menerimanya. Bukan apa-apa, namun perasaannya enggan menyambut hatinya. Meski lelaki itu tak pernah menyerah meminta cinta Ara. Ara tersenyum getir.

“Apa yang bisa Ara lakukan untuk menebus rasa bersalah Ara?,” Ara menarik tubuhnya berdiri. Memandang pada langit yang masih gelap oleh mendung.

“Berbahagialah Ra,” ujarnya seketika. “Kamu nggak perlu minta maaf, karna dari awal aku yang memulai,” dia tampak tegar dengan ucapannya. “Trimakasih untuk sekelumit kisah ini Ra, aku tak pernah menyesal pernah mencintai kamu, Aku.....” kalimatnya tercekat dalam diam.

“Aku juga merasa terhormat atas perasaan yang kamu beri,” potong Ara. “Mengertilah, cinta adalah keputusan. Dan aku telah memutuskan untuk mencintainya. Tanpa ingin menyakitimu,” Ara kembali terduduk di kursinya. Menyesap sisa Hot coffe terakhirnya dan mengajak lelaki itu pulang.

“Jadi, kita tetap berteman kan Ra,” tanya lelaki itu sambil bersiap. “Waah, sial banget nasib ku kalau nggak dapet dua-duanya,” Ara mengernyitkan dahi.

“Maksudnya?”

“Pertama nggak dapetin cinta kamu dan kedua nggak dapetin sahabat kaya kamu,” untuk kedua kalinya kita terbahak bersama.

‘Terimakasih untuk pengertiannya. Aku yakin kamu akan mendapatkan seseorang yang jauh lebih tepat di sampingmu kelak. Doaku selalu ada untuk bahagia mu,’ batin Ara ditengah gelak tawanya.

“Iya, kita akan selamanya berteman,” jawab Ara riang.

‘Mungkin hujan akan tetap menjadi hujan yang getir. Namun, kau tetap akan menjadi pelangi terindahku. Ara, seperti pelangi kau tak selalu hadir saat hujan datang. Namun aku percaya kau selalu ada dan akan selalu melukis keindahan dalam hidupku. Meski tanpa memilikimu,’ ratap lelaki itu sembari tersenyum tipis.

Masih dalam hujan, kedua insan itu melenggang pulang. Tanpa sadar, di ujung langit sana pelangi muncul dengan senyumnya. Mereka memandang kearahnya. Tersenyum dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pelangi pun semakin pudar dan akhirnya mengihilang. Hujan dan pelangi, mereka punya ceritanya sendiri. 

_Mrs. Dy

0 komentar:

Posting Komentar


up