Hujan
turun dengan derasnya ketika Ara menginjakkan kaki di sebuah kafe kecil
di sudut kota. Di belakangnya, tampak seorang lelaki berpawakan tinggi
mengikuti derap langkahnya. Tatapannya tegas. Lelaki itu menggunakan kemeja yang tertutup oleh jaket kulit berwarna coklat muda. Hari ini Ara pun tampak berbeda dengan dress panjang berwarna tosca. Keduanya tampak serasi. Bagaimana tidak, jika dilihat dengan kasat
mata, pasangan ini memiliki ukuran tinggi yang hampir
sama. Penampilan mereka juga tanpa direncanakan mengenakan warna baju
senada. Siapapun pasti mengira mereka adalah sepasang kekasih. Lupakan! Lelaki itu hanya Ara anggap sebagai sahabatnya. Meski sudah beberapa kali lelaki itu meminta Ara menajamkan hatinya. Meminta Ara menerima perasaannya. Ini tentang cinta. Namun
Ara masih enggan menerimanya.
Jika
di lansir lebih dalam, apa yang kurang dari lelaki itu? Lelaki cerdas dengan berbagai
pengalaman kerja dan sesekali menggarap event-event
besar di kotanya. Wawasannya yang luas membuat dia sering diterjunkan pada
berbagai olimpiade dikampusnya. Pribadi smart,
dewasa, cool dan bonus tampang diatas
rata-rata yang membuatnya banyak di incar oleh wanita. Terlebih, dia calon wisudawan
terbaik. Ah, klise!
Mungkin
untuk sebagian orang, lelaki ini adalah lelaki yang nyaris sempurna. Hampir semua
hal bisa dia miliki dengan mudah. Maklum saja, keluarganya merupakan salah satu
keluarga ternama di kotanya. Ayahnya seorang pemerhati pendidikan. Sedang ibunya
seorang wirausaha yang cukup berkelas. Tapi bagi Ara, itu bukan alasan dia bisa menerima cintanya. “Cinta tak bisa di beli dengan uang”.
kalimat yang selalu Ara lontarkan pada teman-temannya yang mulai usil bertanya
atas tindakan bodohnya.
Angin
memburu sepoi-sepoi. Hujan masih terus berkejaran. Ara memilih satu tempat di lantai
dua di sudut ruangan. Tempat yang biasa Ara singgahi sendiri untuk sekedar
melepas lelah atau menyelesaikan tugas kuliahnya. Kafe langganan Ara ini
merupakan salah satu tempat favorit yang bisa membuatnya lebih tenang dan
merasa nyaman. Sesampainya diatas Ara mengernyitkan dahi. Tak ada satupun orang
di ruang ini. Padahal biasanya kafe ini selalu dipadati pengunjung. ‘mungkin karena hujan,’ batinnya
menimpali.
Lilin
kecil menyambutnya di atas meja kecil yang telah dipersiapkan. Dengan sigap lelaki
itu menyalakan api dan menyulutnya ke atas lilin. Ara menjatuhkan tubuhnya di atas kursi dengan nafas lega.
“Kau
selalu tampak cantik dibawah lilin Ra,” tiba-tiba saja lelaki itu bergumam
kecil sesaat setalah terduduk tepat di hadapan Ara. Ara memicingkan matanya.
“Ih,
berarti biasanya nggak cantik dong,” kedua insan itu tertawa bersama, membuka percakapan
ditengah senja yang seharusnya tampak indah sore ini. Hujan membuat senja
bersembunyi di singgasananya. ‘ah senja,
kau membuatku kembali mengingatnya,’ desah Ara.
“Apa
kabarmu Ra,” Lelaki itu kembali membuka percakapan. “Rasanya sudah lama sekali ya
kita nggak ngobrol ringan kaya gini”. Ara tersenyum.
“Aku
baik kok, nih buktinya masih bisa bernafas dan ketemu kamu,” ujarnya asal.
“Waah,
kamu ini nggak pernah berubah ya, masih aja pinter Ngeles,” dia terkekeh sendiri. “Jadi
apa yang mau kamu bicarakan? Nggak biasanya kamu duluan yang ngajak ketemu,
biasanya kan aku yang harus merengek-rengek minta ketemu kamu. Yaaaa, maklumlah
kamu kan cewek hiperaktif jadi suka sibuk sendiri,” lelaki itu kembali terbahak
lepas. Wanita dihadapannya hanya menggeleng dan berdecak lirih. Enggan
menimpali.
“Pesan
makanan dulu yuk, Ara laper,” ujar Ara yang tengah disibukkan memilih menu makanan
dihadapannya. Lelaki itu mengikuti arahannya.
“Coba
aku tebak, pasti kamu pesan Hot coffe
deh, iya nggak? Ih, nggak baik tau!” ucap lelaki itu. Pandangan masih terarah ke menu ditangannya.
Ara menoleh dan buru-buru membatalkan pesanan Hot Coffe yang telah ditulisnya. Lelaki itu tersenyum geli sambil mengambil
alih kertas pesanan. “Ya ampun Ra, nggak papa lagi, sekali-kali kan nggak papa. Pakek di batalin
segala,” Lelaki itu kembali menuliskan Hot
Coffe di kertas pesanan. Ara mendengus kesal.
“Dasar!!!,”
buru-buru Ara menyibak kertas pesanan itu. Namun tangan lelaki itu dengan
cekatan menarik kertas pesanannya ke udara.
“Kamu
cantik kalau lagi marah gini Ra,” lelaki itu memandang mata Ara lekat. “Aku masih sayang
kamu Ra,” ujarnya lirih, nyaris tak
terdengar. Ara tak menggubris rayuannya.
“Udah
geeh, dipesan. Udah ditunggu tuuuh sama waiters-nya,”
ujarnya, menyibak kertas itu kembali dan memberikannya ke waiters.
“Ara,
ara...kamu itu!” Lelaki itu memanyunkan bibirnya. Ara tersenyum menang. “Jadi
apa yang ingin kamu bicarakan Ra,” ujar lelaki itu tak sabar. Makanan yang kami
pesan sudah ludes dilahap. Bahkan Ara memesan Hot coffe untuk kesekian kalinya. Lelaki itu hanya
menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin dia lelah mengingatkan wanita dihadapannya
untuk mengurangi konsumsi kafein. Yang
dicemaskan hanya tertawa hambar.
Langit
sore menuju klimaksnya. Gerimis masih menyertai di langit kelabu. Ara mulai
bercerita. Mimiknya berubah serius, sedangkan lelaki itu terus menyimaknya
tanpa suara. Hanya rintik hujan yang beradu dengan suara Ara. Sebenarnya, Ara mulai menyadari
perubahan ekspresi lelaki dihadapannya. Namun ia tetap melanjutkan
ceritanya.
Hening disana, dimatamu. Ketika aku
mengungkapkan perasaanku kepadamu. Ini bukan tentang kebahagiaan, bukan pula
kesedihan. Tapi ini soal keputusan. Bukankah aku berhak memutuskan? Maafkan aku,
aku tak bisa menerima keputusanmu memilih cintaku
Lelaki
itu memalingkan wajahnya keluar ruangan. Berdiri memegang pembatas bambu sambil
terus menyimak cerita Ara. Sesekali dia menahan nafas, melihat ke arah pujaan
hatinya dan kembali menerawang ke udara.
Hujan, aku bilang aku sarat
dengan hadirnya, aku ingin selalu menenangkanmu. Dan kau Ara, kau bagai pelangi
yang datang mengindahkannya. Hujan dan pelangi. Itulah aku dan kamu. Karena kita
hidup di titik yang berbeda, pada dimensi yang berbeda, bahkan sudut yang
berlawanan. Tapi sisi baiknya, kau membuat aku menjadi lebih bermakna, kau
tercipta karena aku ada.
Ara
terdiam usai menyelesaikan ceritanya. Ia kembali menyesap Hot coffe dihadapannya. Entah sudah berapa cangkir yang dia pesan
untuk mengurangi gelisahnya. “Kamu serius Ra mau menikah semuda ini?,” Lelaki
itu mulai menanggapi ceritanya. Ara mengangguk mantap. “Shiiittt... Aku kalah
cepat!!,” dia mengumpat lirih. Jemarinya menggenggam keras secangkir milk tea pesanannya.
Suaranya bergetar menahan emosi yang menyeruak di dinding hatinya. Ara masih
bungkam. Dia kembali menyesap minumannya. “Apa salah ku Ra?,” ujarnya kemudian.
Ara mengalihkan pandangan kearah lelaki itu, masih dengan tangan masih memegang cangkir
di ujung mulutnya. Ara meletakkan minumannya dan memandangnya lekat.
“Ara
minta maaf,” kalimat itu tercekat di mulutnya. Lelaki itu balas memandang.
“Tapi
mengapa secepat ini Ra,” Ara masih terdiam, dia mengalihkan pandangan ke ruas
jalan. Ada getir di sudut mata itu hingga Ara takut dan ragu melihatnya. “Bahkan
aku belum membuktikan apapun atas kesungguhanku, aku benar-benar berharap kamu
menjadi yang terakhir untuk aku Ra,” Ara masih terdiam. Hatinya bergemuruh
menahan tangis. Ia bahkan tak tau akan berapa banyak lelaki lagi yang akan dibuatnya
seperti ini. ‘Alloh, beri kekuatan pada
hamba-Mu. Aku terlampau lemah menghadapi ini,’ ratapnya menahan getir. Ia
kembali menatap lelaki dihadapannya. Lelaki itu tampak sedikit lebih tenang,
dia menyesap milk-tea nya perlahan.
“Kamu
pasti akan mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari Ara,” kali ini Ara
beranikan diri untuk tersenyum, menampakkan lesung pipinya yang samar terlihat.
Lelaki itu kembali menatapnya. Dia balas tersenyum dengan senyum yang sedikit
dipaksakan, kemudian mengangguk ringan.
“Kamu
benar Ra,” Ujar lelaki itu menerawang “kamu yang berhak memutuskan kepada siapa
hatimu akan tertambat dan aku hanya seorang lelaki yang menawarkan hati ini atas
cintaku,” dia menghela nafas panjang dan kembali melanjutkan “lama aku
menunggumu, memang ini tanpa kau suruh. Bahkan secara sadar aku tau sudah sejak
lama kau mengusir hatiku dari hidupmu. Tapi aku tak mampu melakukan apapun Ra,
hati ini terus mencarimu. Berharap suatu saat nanti kau akan membuka hati,” dia
tersenyum kecut mengejek dirinya sendiri. “Mungkin memang hujan hanya bisa
bersanding dengan teduh, bukan pelangi,” tutupnya. Ara menyimaknya dengan
setia. Mengingat kebelakang, lelaki yang dikenalnya dari sebuah event besar itu, sudah sejak setahun
yang lalu memintanya. Namun Ara tak bisa menerimanya. Bukan apa-apa, namun
perasaannya enggan menyambut hatinya. Meski lelaki itu tak pernah menyerah
meminta cinta Ara. Ara tersenyum getir.
“Apa
yang bisa Ara lakukan untuk menebus rasa bersalah Ara?,” Ara menarik tubuhnya
berdiri. Memandang pada langit yang masih gelap oleh mendung.
“Berbahagialah
Ra,” ujarnya seketika. “Kamu nggak perlu minta maaf, karna dari awal aku yang
memulai,” dia tampak tegar dengan ucapannya. “Trimakasih untuk sekelumit kisah
ini Ra, aku tak pernah menyesal pernah mencintai kamu, Aku.....” kalimatnya
tercekat dalam diam.
“Aku
juga merasa terhormat atas perasaan yang kamu beri,” potong Ara. “Mengertilah,
cinta adalah keputusan. Dan aku telah memutuskan untuk mencintainya. Tanpa
ingin menyakitimu,” Ara kembali terduduk di kursinya. Menyesap sisa Hot coffe terakhirnya dan mengajak
lelaki itu pulang.
“Jadi,
kita tetap berteman kan Ra,” tanya lelaki itu sambil bersiap. “Waah, sial
banget nasib ku kalau nggak dapet dua-duanya,” Ara mengernyitkan dahi.
“Pertama
nggak dapetin cinta kamu dan kedua nggak dapetin sahabat kaya kamu,” untuk
kedua kalinya kita terbahak bersama.
‘Terimakasih untuk pengertiannya.
Aku yakin kamu akan mendapatkan seseorang yang jauh lebih tepat di sampingmu
kelak. Doaku selalu ada untuk bahagia mu,’ batin Ara
ditengah gelak tawanya.
“Iya,
kita akan selamanya berteman,” jawab Ara riang.
‘Mungkin hujan akan tetap menjadi
hujan yang getir. Namun, kau tetap akan menjadi pelangi terindahku. Ara,
seperti pelangi kau tak selalu hadir saat hujan datang. Namun aku percaya kau selalu
ada dan akan selalu melukis keindahan dalam hidupku. Meski tanpa memilikimu,’
ratap lelaki itu sembari tersenyum tipis.
Masih
dalam hujan, kedua insan itu melenggang pulang. Tanpa sadar, di ujung langit
sana pelangi muncul dengan senyumnya. Mereka memandang kearahnya. Tersenyum dan
tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pelangi pun semakin pudar dan akhirnya
mengihilang. Hujan dan pelangi, mereka punya ceritanya sendiri.