Rasa dan Kata

Segan, masihkah pantas terucapkan?
Sedang aku telah berdiri pada sebuah keputusan
Meyakinimu dengan segala pengorbananku.
Lantas, mengapa kau masih tanyakan?
Apa mungkin tak layak apa yang sudah ku perjuangkan?
Bisa jadi,
Mungkin memang semua ini tak bisa kau rasakan.

Tak apa, aku tak akan menyerah atas keputusanku.
Tak akan menggoyahkan keyakinanku.
Mencintaimu tanpa syarat dan babibu ucapan semu.
Karena aku mencintaimu dengan rasa bukan kata.

Segan, masihkah pantas terucapkan?
Karena dihati kita masih tersingkap kabut dan tirai penghalang.
Ego..
Idealisme..
Empirisme..
atau, apalah itu! 

Mencintaimu dengan Rasa, dan bukan Kata.
Ya, mungkin begitu.
Karna memang begitu adanya.
Aku tak mampu berucap hanya berharap kau merasakan.
Maka jangan biarkan hatimu mati Rasa, tak mampu dan tak lagi bisa merasa.
Tidak! Kau tak boleh melakukannya.
Karena cintaku bukan sekedar kata-kata belaka.
Aku menyayangimu dengan segenap RASA.
Bukan KATA.

_Mr. Ky & _Mrs. Dy

Job Seeker #Part VII

Siapa yang sangka. Bermula dari iseng jalan-jalan, dapet tawaran kerja dan akhirnya aku lolos seleksi tahap awal. Walk interview. Dari 250 peserta hanya 40 orang yang lolos dan aku salah satunya. Ini benar-benar barokah.

Eiittss.. masih berlanjut lho ceritanya. Jangan dikira aku bisa langsung lolos kerja. Hadeh!!

Berhubung ini sama sekali tidak di rencanakan, usaha yang ku lakukan pun seadanya dan sebisanya. Sampai akhirnya hari ini 27 Mei tepat di hari ULTAH Mama aku melaksanakan tes psikotes dan wawancara. Tes psikotes menggunakan sistem gugur dan harus melalui tiga kali tahap proses seleksi. Mantap!! Pada tahap psikotes aku bisa lolos dengan mudah, tetapi ketika tahap wawancara..... Taraaaaaaaaaaaaaaaaaa...... ditanya gaji bung!! Nominalnya pula.. Idiiihhh... mana belum belajar negosiasi yang baik. kontan aja aku diem seribu bahasa. (kebanyakan mikir) :D

Yapp, berhubung hanya diambil beberapa orang aku sangat bersyukur... Bersyukur karena bukan aku yang terpilih. Hehehehehee

Guys, tetep aja umi bilang kerja di bank itu nggak baik. Mungkin umi nggak kasih aku restu kali ya.. J

Hari ini, aku harus memulai dari awal lagi. Berjuang, berusaha, bekerja keras lagi. Tapi satu hal yang bikin hari ini amat istimewa. Dia ada disampingku dan aku bisa sedikit mengurangi penyesalanku karena belum bisa memberi kado yang indah untuk Mama. Tenang saja Guys, aku sama sekali tak mengeluh padanya. Aku akan bertahan sendiri. Karena aku yang telah memutuskan mendekatkan diri kepadanya. Aku akan berjuang untuk masa depan dan cintaku. Karena dia aku berusaha menyeimbangkan hidup dan masa depan. Untuk keluarga, cita-cita dan cinta.

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.


*Tobe Continue

_Mrs. Dy

Job Seeker #Part VI

Masih berlanjut. Masih mencari. Masih berjuang.

Guys, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kota Atlas. Berharap masih ada peluang karir untukku di sana. Sekali lagi, aku hanya berharap!! Ada kisah menarik lagi nih.. Simak ya...

Hari ini, tepatnya senin 20 Mei. Aku bersama kakak sepupuku pergi ke Mall. Seperti biasa, karena tak ada aktivitas yang berarti di rumah dan hanya Mall satu-satunya tempat yang bikin adem dan terjangkau, akhirnya kita memutuskan untuk ke sana. Akunya juga heran, jengah dan bosan terus-terusan nge-Mall setiap waktu senggang, yang nyatanya aku dulunya benar-benar tidak suka keluar masuk Mall. Tapi apa boleh buat. Satu-satunya hiburan di kota ini ya hanya Mall yang dipadati manusia dari berbagai kalangan itu. ckckckkk

Setelah capek muter-muter tanpa arah kita kelaparan dan memutuskan untuk berjalan agak jauh menuju salah satu resto yang letaknya di pinggir jalan gajah mada. Ya, lumayanlah. Satu porsi nasi plus nila bakar dan sambal terong berhasil memenuhi lorong-lorong perutku. Belum lagi satu cup besar es degan murni semakin membuat perutku tak mampu menahan. Mual! Hahahahhaaha

Selesai mengisi perut aku iseng mengajak sepupuku untuk berjalan kaki untuk mencari perusahaan-perusahaan yang kira-kira bisa masuk daftar listku. Ajaibnya dia meng-iyakan tanpa babibu ragu. Alhasil kita berjalan lagi menyusuri kota Atlas ini. Ku ambil buku catatan kecilku dan pena yang setia nangkring di saku celanaku. Luar biasa! dandananku yang menggunakan pakaian kerja dengan alat tulis di tanganku benar-benar menjadi sorotan. Bukan karena aku menarik tapi karena penampilanku tak jauh dari Sales Marketing. Sorot mata mereka bermakna aneh dan Freak ke arahku. Bodo ah! Aku berjalan dengan cueknya sambil terus menulis.

Hujan perlahan turun. Kita masih melanjutkan perjalanan. Dan Uppppssss, semakin derasss cuy! Pakaianku nyaris basah kuyup, sedangkan sepupuku yang mengenakan jaket lumayan terlindungi. Kita berlari mencari tempat berteduh. Yapp!! Teras salah satu bank menjadi tempat tujuan kita. Aman. J

Hujan masih meraung-raung dengan kasarnya. Menerpa apa saja yang berada di bawahnya. Aku menikmatinya dengan diam. Sepupuku masih asyik mengobrol dengan pacarnya. “pukkpukk” tangan seorang bapak paruh baya membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan mulai bercakap ria. Walhasil, ternyata bank itu sedang membutuhkan karyawan baru dan langsung Walk interview tanggal 22 Mei. Luar biasa, Tuhan memberi jalan disaat yang tak di duga-duga. Aku menyambut hangat tawaran itu. Sepupuku pun menguatkan keputusanku. Meski letih, kita pulang dengan perasaan lega. :D

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.


*Tobe Continue

_Mrs. Dy

Cerpen (part 4): Nasihat Sahabat


Senja mengurai senyumnya. Menampakkan keindahannya di ujung cakrawala, menampilkan keindahan tak bertepi lewat jingganya yang menyinari. Ara masih terduduk di lantai tertinggi perpustakaan. Bukan untuk membaca seperti pemandangan di sekelilingnya. Dia menekuni kegetirannya dengan menulis sambil melihat senja yang tampil dengan sempurna. Nampaknya langit sangat bersahabat. Dia selalu mengerti kala Ara menunggu senja nya.

Dia masih menulis ketika tangan hangat itu menyentuh lembut bahunya. “Tiwik,” pekik Ara setengah berteriak. “Kamu sedang apa di sini?,” Ara menutup note book greeny-nya dan mengalihkan pandangan ke arah sahabatnya.

“Pinjem buku Ra, sekalian baca-baca sedikit tadi. Emangnya kamu jauh-jauh ke perpustakaan cuma numpang curhat!,” Tiwik mencubit lengan Ara.

“Awww.. ihh.. siapa yang curhat,” Ara ngedumel sendiri. Tiwik berdecak riang.

“Uuhhmm,, masih nggak ngaku. Perlu aku baca keras-keras atau......,” Tiwik mengangkat selembar kertas ke udara. Entah bagaimana caranya tulisan yang Ara buat setengah jam lalu berpindah alih ke tangan Tiwik.

“Jangan Wikk..,” ucap Ara sedikit berteriak. Beberapa pasang mata memperhatikan tingkah kedua sahabat ini. Tiwik terbahak menang.

“Makannya lain kali kalau naroh barang hati-hati jeng. Masa kertas sepenting ini kamu selipin di buku ini,” Tiwik menunjukkan buku yang dimaksud. Ara mendelik malu.

“Astaga, ampun deh, itu tadi buku Ara pinjem sebentar. Untuk alas netbook,” Tiwik masih terbahak. “Nggak sengaja itu Wik, untung kamu nemuin, coba orang lain,” ujarnya lega. kali ini Ara mengambil paksa catatan itu. Tiwik menyerahkannya.

“Kamu lagi ada masalah Ra?, suram banget isinya,” Tiwik menjatuhkan badan disamping Ara. “Ceritalah, apa gunanya kamu terus-terusan nongkrongin benda mati kaya gini, ngajak dia bicara tapi nggak menghasilkan solusi apapun,” ujarnya. “Mending kamu share sama aku, siapa tau aku bisa meringankan beban kamu Ra,” Tiwik berkata lembut. Dia tau persis gadis yang kini duduk disampingnya bukanlah orang yang mudah mencurahkan perasaan ke orang lain. Meski kenyataannya dia selalu jadi tempat curahan hati orang-orang. Ara mengulumkan senyumnya tanpa bicara. Nampaknya Tiwik mengerti perubahan gestur tubuh Ara. Dia putuskan untuk melanjutkan membacanya. Ara kembali menyalakan monitor netbooknya, dan kembali menulis dalam diam.

“Apa Ara harus menikah muda Wik?,” ujarnya tiba-tiba. Dia merebahkan tubuhnya pada dinding kursi. Tiwik tak bergeming. Dia membiarkan Ara menyelesaikan ceritanya. “Prisma meminta Ara menikah tahun ini. Dan Ara hanya punya waktu 40 hari untuk memutuskan jawabannya,” Ara menghela nafas panjang. “Apa Ara sudah pantas untuk menjalaninya Wik? Ara takut...,” kalimatnya tercekat dalam riaknya. Kabut dimata Ara mengisyaratkan gelisahnya. Tiwik meraih tangan Ara. Berharap genggamannya dapat memberikan sedikit energi positif untuk sahabatnya.

“Ara masih ragu? Kenapa?,” tanya Tiwik lembut. Suaranya yang ringan dan sifat ke-ibuannya membuat Ara merasa nyaman disisinya.

“Ara takut Wik, Ara belum bisa menjadi istri yang baik,” ratapnya. “Dengan usia semuda ini, Ara takut hanya akan menjadi beban kedepannya,” lanjutnya dengan gamang. Tiwik mengangguk saja. Entah apa yang terlintas dipikirannya. Dia terus menyimak cerita Ara. Ara sangat antusias bercerita. Meski terbata-bata Tiwik terus mendengarkannya tanpa jeda, tanpa memperhatikan buku yang berada di tangannya, tanpa perduli lalu lalang mahasiswa yang masih memadati gedung berlantai empat itu. Ara melepas pandang keluar jendela. Senja mengamatinya hangat. Burung-burung berterbangan diantaranya. Ara memejamkan matanya pelan, merasakan kehadiran senja dan menyimpannya. Sebuah potret yang ingin dia lihat seterusnya. “Aku menyayanginya Wik, sangat menyayanginya,” ujarnya kemudian. “Apa bisa aku bertahan?” Tiwik mempererat genggamannya.

“Aku tau ini sulit Ra,” Tiwik membenarkan posisi dudukanya. Mendekat kepadanya. “Aku tau persis kamu masih harus mengejar karir kamu dengan talenta yang kamu miliki saat ini. Tapi inget Ra, hidup itu berjalan. Waktu tak akan menunggu hingga kamu siap. Dan kamu harus memilih,” Jelasnya setengah berbisik. Alis matanya tegas, menandakan dia menanggapinya dengan serius. Ara menunduk. “Kamu harus bertahan Ra,” Lanjutnya “Buatlah keputusan sebijak mungkin. Tiwik yakin Prisma punya alasan sendiri mengapa dia mengajakmu menikah secepat itu,” Ara mengangguk mengerti. “Apa kamu tau Ra, jarang sekali ada lelaki tegas seperti itu. Kamu beruntung Ra,” Tiwik tersenyum lembut. Dia memeluk tubuh wanita disampingnya. “Dan dia juga beruntung memiliki kamu dan segala yang kamu miliki. Wanita yang multi talent dan tetap menjaga kehormatannya sebagai mahluk Tuhan yang baik. Bidadari bermata jeli,” Ara tersenyum dalam isak tangis di pelukannya. Tiwik, gadis yang selalu bisa melukis damai dalam sketsa hidupnya.

“Thanks Wik, Ara sekarang tau apa yang harus Ara lakukan,” ujarnya dalam haru. Tiwik mengangguk dalam pelukan. “Jangan pernah bosan mendengar cerita Ara. Tiwik sahabat terbaik Ara”.

“Pasti Ra, pasti!”.

Senja berpendar dari porosnya. Perlahan redup berganti awan petang. Langit jingga berubah pekat. Pukul 18.00. Tiwik dan Ara memutuskan untuk segera pulang. Mereka melangkah beriringan. Lorong-lorong perpustakaan tampak lengang. Hanya terdengar lirih suara petugas yang berbincang sambil merapikan buku-buku di meja peminjaman. Suasana yang mulai Ara suka dan Ara nikmati. Senja mengeja rasa dalam cerita. Hadir dalam waktu yang sama. Meski hanya sejenak, Ara telah menjadi bagian dari kisahnya. Senja, di sana terbingkai rindu dalam doa.

_Mrs. Dy

Job Seeker #Part V

Berada di ambang renungan. Apa yang aku lakukan hari ini? Sebuah peristiwa konyol yang membuat aku belajar. Begini kelanjutannya...

Pagi ini aku berangkat menuju Main Office perusahaan yang kemarin memintaku mengikuti pemberkasan terakhir dan formalitas interview. Sudah sejak pagi aku bersiap, berdandan seadanya (tampak sedikit aneh) dan langsung menuju kantor yang letaknya belum aku ketahui secara pasti. Aku meluncur ke kota yang kerap disebut the spirit of java dengan perasaan campur aduk. Antara penasaran dan ragu. Namun, aku mantapkan hati untuk tetap masuk ke dalam kantor yang letaknya persis di pinggir jalan dengan lorong utama yang senyap. Seorang wanita paruh baya yang bergaya menor dengan dandanan dan busana mininya menyambutku. Setelah dipastikan namaku terdaftar di jajaran peserta interview aku diminta masuk melalui pintu samping. Well, aku putar arah dan menuju ke lokasi yang dimaksud. Taraaaaaaaa!!! Keraguanku memuncak saat aku memasuki sebuah gudang yang cukup tua dan kumuh. Aku sedikit terlonjak ketika seorang satpam wanita membuyarkan lamunanku. Emmm lebih tepatnya rasa kagetku. Aku tersenyum ramah sedikit dipaksakan. “Mau interview mba?,” aku mengangguk tanpa bersuara. “Silakan tunggu disini, nanti mba akan wawancara di dalam (nunjuk gudang). Tapi sebelumnya mba bisa parkirkan kendaraan mba di belakang kantor ini paling ujung,” sekali lagi aku mengangguk. Kali ini dengan wajah ambigu menelan ludah dan beristighfar berulang kali.

Perlahan aku keluar menuju parkiran yang dimaksud. Dan WAWW!! Parkiran yang aku tuju ternyata sebuah kebun kotor yang dipaksakan menjadi parkiran sempit di sampingnya. Luar Biasa! aku semakin ragu untuk mengambil keputusan. Disisi lain ini peluang besarku mengahiri masa menganggurku. Setelah dipikir masak aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Yap, aku mengundurkan diri. Lebih tepatnya kabur sebelum berperang. Hahahhahaa

Guys, siapa yang nggak mikir macem-macem kalau saat pertama kali menginjakkan kaki di kantor kita tidak diberi tempat yang nyaman dan kondusif. Mungkin ini terlihat konyol. Tapi ini murni karena aku ingin berhati-hati. Bukankah pertemuan pertama akan sangat menentukan hari-hari ke depannya? “Belum rezeki,” Ujar hatiku. J

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.


*Tobe Continue

_Mrs. Dy

Job Seeker #Part IV



Hari ini aku kembali mengikuti Job fair di kota pendidikan. Ini ketiga kalinya aku mengikuti acara Job Fair setelah awal bulan lalu empat hari berturut-turut aku pusatkan ikhtiarku pada Job Fair di kota Semarang. Alhamdulillah, perusahaan yang memanggilku semua meminta penempatan di Jakarta, Tanggerang, dan area Jawa Barat lainnya. Miris memang! Tapi ini pasti yang terbaik. Mungkin Alloh belum menempatkan rezekiku di perusahaan-perusahaan itu. Mungkin juga Alloh masih memberiku kesempatan untuk beristirahat dengan menghabiskan banyak waktu dengan keluargaku disini. Alloh, maka besarkan hatiku. J

Sebelumnya, aku telah mendaftarkan diri ke beberapa perusahaan di kota pendidikan ini. Aku sadar, aku harus memulainya dari perusahaan kecil-kecil. Asalkan masih di area Jawa Tengah aku akan mencobanya.

Besar harapanku untuk bisa mendapat peluang pekerjaan dalam acara ini. Setidaknya aku telah menyeleksi beberapa perusahaan yang sekiranya ditempatkan di area Jawa Tengah. Dan aku menemukan satu diantara banyak perusahaan yang penempatannya di Solo Jawa Tengah. Aku mencobanya. Orang bilang iseng-iseng berhadiah! :D

Aku mendaftar di Perusahaan yang bergerak di bidang Textil itu. Di pintu masuk Stan terpampang jelas “Perusahaan Textil”. Jujur, aku sendiri sangat asing mendengar perusahaan itu. Tapi dengan tanpa berfikir negatif aku mencoba memasukan CV dan ternyata langsung melakukan test awal. Psikotes. Aku mulai menjawab beberapa soal dalam waktu 10 menit. Cukup berat juga, mengingat semua soal tersebut merupakan soal matematika! Yap.. Untungnya aku dulu penggemar berat pelajaran itu. So, sedikit mudah mengerjakannya.

Saat itu juga perusahaan menyeleksi yang berhak mengikuti tes wawancara. Dan tanpa disangka aku menjadi salah satu kandidat yang masuk dalam tes wawancara tersebut. Leganya... J

Hari ini tepatnya tanggal 15 Mei 2013 aku bisa bernafas lega. Setidaknya, jika aku di terima di perusahaan ini merupakan pijakan awalku dan batu loncatan yang bisa aku gunakan untuk karirku kedepannya. Berharap ada jalan. Mama, doa mama sangat berarti untukku saat ini.. J

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.

*Tobe Continue

_Mrs. Dy

*Just Write..


Malam tadi, tiba-tiba aku terbangun dengan keringat bersimbah lelah. “Astaghfirulloh perutku..” aku memekik dalam gelap. Rasanya baru pertama kali ini aku merasakan ada guncangan maha dahsyat di bagian kanan perutku. “Kenapa ini,” ujarku dalam hati. Aku mencoba memiringkan tubuhku ke sebelah kiri, namun nihil. Rasa sakit ini tak juga menghilang. Aku memekik dalam diam. Kulihat Umi berbaring dengan pulas di bibir tempat tidur. Disampingnya kedua adikku tertidur lelap sambil berpelukan. Entahlah. Pemandangan itu membuat aku bergetar. Mata ini terasa hangat oleh kabut tipis disudut mataku. Rasanya, baru kemarin aku tertidur senyenyak itu disamping ibu. Memeluknya erat pada tubuh kecil dihadapanku. Ibu selalu mengusap lembut rambut dan punggungku. “Astaghfirulloh, mengapa semakin terasa sakit,” Kuangkat perlahan tubuhku bersandar pada tiang tempat tidur. Keringat dingin mulai mengalir di kening dan pelipisku. “Tuhan, jika aku banyak berbuat kesalahan, tolong jadikan rasa sakit ini sebagai penghapus dosa dari kesalahan masa laluku,”. Bayangan sosok Mama hadir dalam setiap inci memoriku. Mama yang nyaris tak lagi ku kenali karena kedekatanku dengan sosok ibu. Sedangkan, Mama yang menjadi penopang hidup hingga aku sebesar ini. Mama yang menjadi nafas untuk aku bertahan hidup. Mama segalanya dalam kehidupanku. Mama, sosok yang hadir menjadi seorang hero saat ibu meninggalkanku selamanya. Apa yang ada dibenakku? Bahkan aku baru menyadari itu saat Mama berniat pergi meninggalkanku? Bagaimana aku membalas jasanya dan menebus kesalahanku selama ini? Tuhan, aku ingin membuatnya bahagia. “Pulanglah Ma, Aku ingin memeluk tubuhmu dalam damai. Mengecup punggung tanganmu dengan suka cita. Aku merindukanmu Ma,” Senyum mengembang di pipiku. Membayangkan sosok Mama hadir disampingku. “Aku janji Ma, aku akan membantu Mama. Aku akan wujudkan semua mimpi Mama”. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rasa sakit ini perlahan menghilang. Aku melangkah keluar. Mengambil air wudlu dan menggelar sajadah panjang. Bermunajad pada Tuhan. Alloh, Inna ma’al ‘usri yusro.

Job Seeker #Part III


Aku senang! Reply dari berbagai perusahaan yang aku lamar mulai berdatangan. Dari perusahaan yang kurang berkelas sampai yang berkelas. Perbankan, perusahaan penyedia kebutuhan konsumen, consultant, hingga perusahaan yang lebih besar. Pertamina misalnya. Sore lalu aku mendapat telp. dari pihak perusahaan untuk mengikuti tes seleksi akhir di kantor pusat pertamina. Biaya akomodasi (transportasi, makan dan hotel) telah dikirim perusahaan. Namun, ketika aku bertanya “Dimana penempatannya pak?,” “Palembang”. Perasaan ini sedikit rancu oleh mimpi dan ketetapan hati. Aku harus memilih. Dan sore itu juga aku harus memutuskan. Dan keputusanku aku memilih untuk mengundurkan diri dari tawaran itu. Pertamina Persero. Salah satu perusahaan yang diimpikan banyak orang, dan aku menolaknya. Mama, maafkan aku. L

Guys, kau pasti tau alasannya. Ya, alasan pertama jelas karena aku tak ingin jauh dari passion masa depanku, orang yang aku harap menjadi calon imamku. Kedua, aku mulai berfikir tentang anak-anakku nanti. Akan seperti apa mereka tanpa aku mendampinginya? Melihat tumbuh kembangnya? Ikhlaskan. Satu kata yang memang harus dilakukan. Aku ikhlas Alloh, harus ikhlas. J

Sebulan sudah aku menjalani profesi sebagai job seeker. Ya, memang tak sepenuhnya benar. Status ku masih menjadi mahasiswa karena aku belum menyelesaikan revisiku. But, tetap saja itu bukan alasan untuk membuatku hanya duduk diam dan mengandalkan jernih payah Mama. Biar bagaimanapun aku ingin membantu meringankan beban Mama, dengan tanpa mengabaikan keinginanku untuk menikah. Aku percaya keduanya dapat aku jalankan sekaligus. Dan aku pasti bisa melakukannya.

Aku sangat menikmati masa-masa ini. Lamaran demi lamaran aku kirim ke berbagai perusahaan, instansi hingga Rumah Sakit. Jika dihitung, entah berapa materi yang aku habiskan untuk berjuang. Namun Mama bilang, itu tak menjadi masalah hingga aku bisa menopang hidupku sendiri. Mama tak sepenuhnya benar. Karena aku bekerja untuknya. Untuk membantunya, bukan hanya menopang hidupku. J

Aku bersyukur Alloh menganugrahkan aku semangat yang tak pernah padam, motivasi untuk selalu ingin berbagi, tidak menjadi wanita yang mudah mengeluh dan terus berfikir positiv dan menjadi energi positiv untuk orang lain. Aku yakin, semua ada jalannya. Rezeki tak akan tertukar. Alloh telah menyiapkan rencana lebih indah di depan sana. Tentunya yang terbaik untukku, keluarga dan masa depanku.

Ya Alloh, Allohumma Yassir walaa Tu’assir

*To be Continue

_Mrs. Dy

Cerpen (part 3): Filosofi Hujan dan Pelangi


Hujan turun dengan derasnya ketika Ara menginjakkan kaki di sebuah kafe kecil di sudut kota. Di belakangnya, tampak seorang lelaki berpawakan tinggi mengikuti derap langkahnya. Tatapannya tegas. Lelaki itu menggunakan kemeja yang tertutup oleh jaket kulit berwarna coklat muda. Hari ini Ara pun tampak berbeda dengan dress panjang berwarna tosca. Keduanya tampak serasi. Bagaimana tidak, jika dilihat dengan kasat mata, pasangan ini memiliki ukuran tinggi yang hampir sama. Penampilan mereka juga tanpa direncanakan  mengenakan warna baju senada. Siapapun pasti mengira mereka adalah sepasang kekasih. Lupakan! Lelaki itu hanya Ara anggap sebagai sahabatnya. Meski sudah beberapa kali lelaki itu meminta Ara menajamkan hatinya. Meminta Ara menerima perasaannya. Ini tentang cinta. Namun Ara masih enggan menerimanya.

Jika di lansir lebih dalam, apa yang kurang dari lelaki itu? Lelaki cerdas dengan berbagai pengalaman kerja dan sesekali menggarap event-event besar di kotanya. Wawasannya yang luas membuat dia sering diterjunkan pada berbagai olimpiade dikampusnya. Pribadi smart, dewasa, cool dan bonus tampang diatas rata-rata yang membuatnya banyak di incar oleh wanita. Terlebih, dia calon wisudawan terbaik. Ah, klise!

Mungkin untuk sebagian orang, lelaki ini adalah lelaki yang nyaris sempurna. Hampir semua hal bisa dia miliki dengan mudah. Maklum saja, keluarganya merupakan salah satu keluarga ternama di kotanya. Ayahnya seorang pemerhati pendidikan. Sedang ibunya seorang wirausaha yang cukup berkelas. Tapi bagi Ara, itu bukan alasan dia bisa menerima cintanya. “Cinta tak bisa di beli dengan uang”. kalimat yang selalu Ara lontarkan pada teman-temannya yang mulai usil bertanya atas tindakan bodohnya.

Angin memburu sepoi-sepoi. Hujan masih terus berkejaran. Ara memilih satu tempat di lantai dua di sudut ruangan. Tempat yang biasa Ara singgahi sendiri untuk sekedar melepas lelah atau menyelesaikan tugas kuliahnya. Kafe langganan Ara ini merupakan salah satu tempat favorit yang bisa membuatnya lebih tenang dan merasa nyaman. Sesampainya diatas Ara mengernyitkan dahi. Tak ada satupun orang di ruang ini. Padahal biasanya kafe ini selalu dipadati pengunjung. ‘mungkin karena hujan,’ batinnya menimpali.

Lilin kecil menyambutnya di atas meja kecil yang telah dipersiapkan. Dengan sigap lelaki itu menyalakan api dan menyulutnya ke atas lilin. Ara menjatuhkan tubuhnya di atas kursi dengan nafas lega.  

“Kau selalu tampak cantik dibawah lilin Ra,” tiba-tiba saja lelaki itu bergumam kecil sesaat setalah terduduk tepat di hadapan Ara. Ara memicingkan matanya.

“Ih, berarti biasanya nggak cantik dong,” kedua insan itu tertawa bersama, membuka percakapan ditengah senja yang seharusnya tampak indah sore ini. Hujan membuat senja bersembunyi di singgasananya. ‘ah senja, kau membuatku kembali mengingatnya,’ desah Ara.

“Apa kabarmu Ra,” Lelaki itu kembali membuka percakapan. “Rasanya sudah lama sekali ya kita nggak ngobrol ringan kaya gini”. Ara tersenyum.

“Aku baik kok, nih buktinya masih bisa bernafas dan ketemu kamu,” ujarnya asal.

“Waah, kamu ini nggak pernah berubah ya, masih aja pinter Ngeles,” dia terkekeh sendiri. “Jadi apa yang mau kamu bicarakan? Nggak biasanya kamu duluan yang ngajak ketemu, biasanya kan aku yang harus merengek-rengek minta ketemu kamu. Yaaaa, maklumlah kamu kan cewek hiperaktif jadi suka sibuk sendiri,” lelaki itu kembali terbahak lepas. Wanita dihadapannya hanya menggeleng dan berdecak lirih. Enggan menimpali.

“Pesan makanan dulu yuk, Ara laper,” ujar Ara yang tengah disibukkan memilih menu makanan dihadapannya. Lelaki itu mengikuti arahannya.

“Coba aku tebak, pasti kamu pesan Hot coffe deh, iya nggak? Ih, nggak baik tau!” ucap lelaki itu. Pandangan masih terarah ke menu ditangannya. Ara menoleh dan buru-buru membatalkan pesanan Hot Coffe yang telah ditulisnya. Lelaki itu tersenyum geli sambil mengambil alih kertas pesanan. “Ya ampun Ra, nggak papa lagi, sekali-kali kan nggak papa. Pakek di batalin segala,” Lelaki itu kembali menuliskan Hot Coffe di kertas pesanan. Ara mendengus kesal.

“Dasar!!!,” buru-buru Ara menyibak kertas pesanan itu. Namun tangan lelaki itu dengan cekatan menarik kertas pesanannya ke udara.

“Kamu cantik kalau lagi marah gini Ra,” lelaki itu memandang mata Ara lekat. “Aku masih sayang kamu Ra,”  ujarnya lirih, nyaris tak terdengar. Ara tak menggubris rayuannya.

“Udah geeh, dipesan. Udah ditunggu tuuuh sama waiters-nya,” ujarnya, menyibak kertas itu kembali dan memberikannya ke waiters.

“Ara, ara...kamu itu!” Lelaki itu memanyunkan bibirnya. Ara tersenyum menang. “Jadi apa yang ingin kamu bicarakan Ra,” ujar lelaki itu tak sabar. Makanan yang kami pesan sudah ludes dilahap. Bahkan Ara memesan Hot coffe untuk kesekian kalinya. Lelaki itu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin dia lelah mengingatkan wanita dihadapannya untuk mengurangi konsumsi kafein. Yang dicemaskan hanya tertawa hambar.

Langit sore menuju klimaksnya. Gerimis masih menyertai di langit kelabu. Ara mulai bercerita. Mimiknya berubah serius, sedangkan lelaki itu terus menyimaknya tanpa suara. Hanya rintik hujan yang beradu dengan suara Ara. Sebenarnya, Ara mulai menyadari perubahan ekspresi lelaki dihadapannya. Namun ia tetap melanjutkan ceritanya.

Hening disana, dimatamu. Ketika aku mengungkapkan perasaanku kepadamu. Ini bukan tentang kebahagiaan, bukan pula kesedihan. Tapi ini soal keputusan. Bukankah aku berhak memutuskan? Maafkan aku, aku tak bisa menerima keputusanmu memilih cintaku

Lelaki itu memalingkan wajahnya keluar ruangan. Berdiri memegang pembatas bambu sambil terus menyimak cerita Ara. Sesekali dia menahan nafas, melihat ke arah pujaan hatinya dan kembali menerawang ke udara.

Hujan, aku bilang aku sarat dengan hadirnya, aku ingin selalu menenangkanmu. Dan kau Ara, kau bagai pelangi yang datang mengindahkannya. Hujan dan pelangi. Itulah aku dan kamu. Karena kita hidup di titik yang berbeda, pada dimensi yang berbeda, bahkan sudut yang berlawanan. Tapi sisi baiknya, kau membuat aku menjadi lebih bermakna, kau tercipta karena aku ada.

Ara terdiam usai menyelesaikan ceritanya. Ia kembali menyesap Hot coffe dihadapannya. Entah sudah berapa cangkir yang dia pesan untuk mengurangi gelisahnya. “Kamu serius Ra mau menikah semuda ini?,” Lelaki itu mulai menanggapi ceritanya. Ara mengangguk mantap. “Shiiittt... Aku kalah cepat!!,” dia mengumpat lirih. Jemarinya menggenggam keras secangkir milk tea pesanannya. Suaranya bergetar menahan emosi yang menyeruak di dinding hatinya. Ara masih bungkam. Dia kembali menyesap minumannya. “Apa salah ku Ra?,” ujarnya kemudian. Ara mengalihkan pandangan kearah lelaki itu, masih dengan tangan masih memegang cangkir di ujung mulutnya. Ara meletakkan minumannya dan memandangnya lekat.

“Ara minta maaf,” kalimat itu tercekat di mulutnya. Lelaki itu balas memandang.

“Tapi mengapa secepat ini Ra,” Ara masih terdiam, dia mengalihkan pandangan ke ruas jalan. Ada getir di sudut mata itu hingga Ara takut dan ragu melihatnya. “Bahkan aku belum membuktikan apapun atas kesungguhanku, aku benar-benar berharap kamu menjadi yang terakhir untuk aku Ra,” Ara masih terdiam. Hatinya bergemuruh menahan tangis. Ia bahkan tak tau akan berapa banyak lelaki lagi yang akan dibuatnya seperti ini. ‘Alloh, beri kekuatan pada hamba-Mu. Aku terlampau lemah menghadapi ini,’ ratapnya menahan getir. Ia kembali menatap lelaki dihadapannya. Lelaki itu tampak sedikit lebih tenang, dia menyesap milk-tea nya perlahan.

“Kamu pasti akan mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari Ara,” kali ini Ara beranikan diri untuk tersenyum, menampakkan lesung pipinya yang samar terlihat. Lelaki itu kembali menatapnya. Dia balas tersenyum dengan senyum yang sedikit dipaksakan, kemudian mengangguk ringan.

“Kamu benar Ra,” Ujar lelaki itu menerawang “kamu yang berhak memutuskan kepada siapa hatimu akan tertambat dan aku hanya seorang lelaki yang menawarkan hati ini atas cintaku,” dia menghela nafas panjang dan kembali melanjutkan “lama aku menunggumu, memang ini tanpa kau suruh. Bahkan secara sadar aku tau sudah sejak lama kau mengusir hatiku dari hidupmu. Tapi aku tak mampu melakukan apapun Ra, hati ini terus mencarimu. Berharap suatu saat nanti kau akan membuka hati,” dia tersenyum kecut mengejek dirinya sendiri. “Mungkin memang hujan hanya bisa bersanding dengan teduh, bukan pelangi,” tutupnya. Ara menyimaknya dengan setia. Mengingat kebelakang, lelaki yang dikenalnya dari sebuah event besar itu, sudah sejak setahun yang lalu memintanya. Namun Ara tak bisa menerimanya. Bukan apa-apa, namun perasaannya enggan menyambut hatinya. Meski lelaki itu tak pernah menyerah meminta cinta Ara. Ara tersenyum getir.

“Apa yang bisa Ara lakukan untuk menebus rasa bersalah Ara?,” Ara menarik tubuhnya berdiri. Memandang pada langit yang masih gelap oleh mendung.

“Berbahagialah Ra,” ujarnya seketika. “Kamu nggak perlu minta maaf, karna dari awal aku yang memulai,” dia tampak tegar dengan ucapannya. “Trimakasih untuk sekelumit kisah ini Ra, aku tak pernah menyesal pernah mencintai kamu, Aku.....” kalimatnya tercekat dalam diam.

“Aku juga merasa terhormat atas perasaan yang kamu beri,” potong Ara. “Mengertilah, cinta adalah keputusan. Dan aku telah memutuskan untuk mencintainya. Tanpa ingin menyakitimu,” Ara kembali terduduk di kursinya. Menyesap sisa Hot coffe terakhirnya dan mengajak lelaki itu pulang.

“Jadi, kita tetap berteman kan Ra,” tanya lelaki itu sambil bersiap. “Waah, sial banget nasib ku kalau nggak dapet dua-duanya,” Ara mengernyitkan dahi.

“Maksudnya?”

“Pertama nggak dapetin cinta kamu dan kedua nggak dapetin sahabat kaya kamu,” untuk kedua kalinya kita terbahak bersama.

‘Terimakasih untuk pengertiannya. Aku yakin kamu akan mendapatkan seseorang yang jauh lebih tepat di sampingmu kelak. Doaku selalu ada untuk bahagia mu,’ batin Ara ditengah gelak tawanya.

“Iya, kita akan selamanya berteman,” jawab Ara riang.

‘Mungkin hujan akan tetap menjadi hujan yang getir. Namun, kau tetap akan menjadi pelangi terindahku. Ara, seperti pelangi kau tak selalu hadir saat hujan datang. Namun aku percaya kau selalu ada dan akan selalu melukis keindahan dalam hidupku. Meski tanpa memilikimu,’ ratap lelaki itu sembari tersenyum tipis.

Masih dalam hujan, kedua insan itu melenggang pulang. Tanpa sadar, di ujung langit sana pelangi muncul dengan senyumnya. Mereka memandang kearahnya. Tersenyum dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pelangi pun semakin pudar dan akhirnya mengihilang. Hujan dan pelangi, mereka punya ceritanya sendiri. 

_Mrs. Dy

Job Seeker #Part II


Hari ini aku kembali ke kota pendidikan setelah beberapa hari ini aku stay di kota Atlas untuk mencari pekerjaan. Angin segar menyambutku di kota gudeg ini. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan di Kampus. Revisi Skripsi, pelepasan organisasi, syukuran dengan teman-teman, dan kumpul dengan keluarga besar collorful. Aku menanggalkan karirku untuk sejenak refresh dengan ikhtiarku. Namun tetap saja, ketika kembali dari kampus atau kumpul dengan teman-teman, mataku kembali tertuju pada setumpuk berkas lamaran kerja dan netbook untuk mencari lowongan pekerjaan. Subhanalloh J

Guys, aku begini bukan tanpa sebab. Aku bersyukur karena memiliki orang-orang dekat yang selalu siap memotivasi hidupku. Mamah, Umi, Abah, Dia, dan Teman-teman. Aku kuat karena mereka menguatkan langkahku. Lantas, mengapa aku harus mengeluh jika aku masih bisa tersenyum untuk membuat hati mereka lega?

Mama dengan doa yang selalu beliau panjatkan untuk anak anaknya. Umi yang selalu bilang, “Rizkimu itu seluas doa yang selalu kamu panjatkan kepada Robb”. Abahpun demikian selalu berkata “Kesabaran dan keuletanmu akan mengantarkanmu pada gerbang kesuksesan dimasa mendatang”. Dia yang ditengah kesibukannya berusaha menyisipkan waktunya untukku dan berkata “aku backup di belakangmu”. Keluarga dan teman-teman yang selalu hadir saat aku membutuhkan semangat adrenalin dalam menempuh perjalanan panjang ini. Bagiku itu cukup menjadi energi positiv dalam darahku. Aku akan berusaha tersenyum saat aku dalam keadaan payah sekalipun. J

Aku adalah orang beruntung! Ya, kenapa tidak. Aku selalu dikelilingi orang-orang yang mencintaiku. Mereka yang selalu ingin membuat senyum dalam hariku. Mereka yang menganggapku ada dan membuat hidupku lebih berarti. Untuk mereka aku harus berjuang. Aku tak akan menyerah sampai benar-benar menemukan pekerjaan yang dapat mengkoneksikan antara mimpi, cita-cita dan masa depanku. Untukmu Mam, untukmu calon imamku, dan untuk kalian yang selalu memberi semangat dalam hariku. Aku siap untuk mengencangkan ikat pinggang dan menyingsingkan lengan bajuku! (Sorry agak lebay) :D

Semoga salah satu dari berkas yang aku kirim mendapat respon positiv dari perusahaan. Amin

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.

*To be Continue

_Mrs. Dy

Job Seeker #Part I


Apa yang kau fikirkan tentang kata “Kerja”? Apakah kau akan bekerja sesuai bidangmu atau memilih untuk mencoba bidang lain yang sesuai dengan kemampuanmu? Pernahkah kamu mempertimbangkan masalah “penempatan” ketika memilih bidang pekerjaan? Sekeras apa perjuanganmu untuk mendapatkan posisi yang kamu incar? Apa saja usahamu untuk meraih itu? Guys, pertanyaan-pertanyaan itu yang kini aku hadapi. Menjadi Job Seeker ditengah kemelut mimpi, cita-cita dan keinginan hati untuk menjadi seorang istri. Ini ceritaku.

Namaku Drara Novia. Aku lebih suka dipanggil dengan sapaan Fie. Lebih simpel dan nggak ribet. Namun kebanyakan orang memanggilku Drara. Why Not lah! Toh nama itu juga bagian dari nama panjangku. :D

Aku dinobatkan lulus Sarjana Strata Satu pada tanggal 08 April 2013. Aku lulusan pertama di jurusanku di priode wisuda mendatang. Lulus dengan status Cumloude dan mendapat apresiasi yang bagus dari orang-orang disekitarku. Keluarga, Teman-teman, Dosen dan orang-orang terdekatku. Aku bahagia! Entah apa yang bisa menggambarkan perasaanku kala itu. Semua terasa begitu mengesankan. Ditambah, gelar S. Ikom sudah melekat di namaku. J

Tapi, disinilah awal kehidupanku dimulai. Ya, The Real World. Merasakan susahnya mengais rezeki yang sesuai dengan harapanku. Mengacu pada pertanyaan pertama, sehari setelah dinyatakan Lulus aku mencoba mencari peluang pekerjaan. Semua media aku borong. Aku juga aktif membuka situs-situs lowongan kerja baik lewat jobstreet, jobBD, Karir.com, maupun mengikuti acara-acara jobfair yang diselenggarakan di area Jawa Tengah. Aku tak pernah mengeluh pada siapapun. Terus melempar jaring demi satu kata “KERJA”. Bahkan setiap hari mataku tak lepas dari  depan netbook untuk mencari job terbaru. Alhamdulillah. Rezeki pekerjaan belum juga berpihak padaku. Meskipun, tawaran kerja ada dimana-mana. Namun, tawaran itu tak sesuai dengan keinginanku. Aku melepasnya.

Guys, ada beberapa alasan yang membuatku berfikir seribukali dalam menyeleksi setiap tawaran job yang datang kepadaku. Pertama, “Penempatan”. Aku seorang gadis berusia 21 tahun yang telah mengenal seorang lelaki yang usianya diatasku. Kita saling mengenal dan memutuskan untuk menyatukan tujuan dalam satu ikatan yang sah. Mungkin terdengar konyol, terlebih tak ada yang tau bagaimana masa depan kita masing-masing. Tapi, bukankah masa depan kita yang menentukan? Aku hanya berusaha lebih mendekatkan diri kepadanya. Merancang mimpi bersama dengan jarak yang tidak terlalu jauh untuk di tempuh. Apa salah jika aku ingin menikah muda?

Kedua, emmmmm... Aku tak tau, mungkin memang itu satu-satunya alasan aku hanya mau mendapat pekerjaan di area Jawa Tengah. Namun, aku tak akan pernah menyesali keputusan ini jika nantinya aku tak dapat bersanding dengannya. Setidaknya, dialah satu-satunya alasan aku ingin berkarir dekat dengan keluarga. Satu-satunya alasan aku ingin lebih cepat beribadah mengabdi menjadi seorang istri yang dekat dengannya. Setidaknya, aku telah berusaha.

Alhasil, ketika aku mengikuti Job fair atau melihat Lowongan Kerja pasti hal pertama yang aku tanyakan “Penempatannya dimana pak/bu?”. Ya, itu usahaku, doaku, dan caraku untuk bertahan dan mempertahankan hubungan ku dengannya. Satu hal. Aku mencintainya.

Ya Alloh, Allohumma yassir walaa tu’assir.

*Tobe Continue

_Mrs. Dy

up